000:MITA-AWAL MULA

923 Words
‘PLAK!’ Aku terjerembab di sofa. Tangan kiriku menangkup pipi yang panas akibat tamparannya. Mataku menatapnya nanar, pun air mata mengalir dengan derasnya. Lidahku … kelu. Ya Allah, apa salahku? Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Wajahnya merah bak terbakar. Kedua tangannya mengepal erat, pun gemetar. Xavier Sagara Zalman, suamiku. Ia yang baru saja melepaskan tamparan perih di wajahku. *** Beberapa saat sebelumnya. Suara panel kunci yang terbuka sampai di telingaku. Kutatap ponsel dengan id-nya di layar. Tombol merah lantas kutekan, dan gawai itu kuletakkan di atas nakas. Cepat aku melangkah, keluar dari kamar, menapaki anak-anak tangga yang membawaku ke lantai dasar. Ia pulang. Aku punya kabar bahagia untuknya. Wajahnya yang nampak letih tak membuatku urung memeluknya. Menenggelamkan wajahku di dadanya. Menghindu dalam-dalam perpaduan aroma parfum yang kian memudar dan keringatnya. Aku suka wangi ini! Sangat! “Aku lapar,” ujarnya. Kedua tanganku otomatis melepasnya, menatapnya bingung. Satu, sudah seminggu belakangan ia selalu pulang dengan raut kelam. Namun, baru kali ini ia tak menanyakan kabarku. Dua, ia lapar? Ini sudah pukul sebelas malam, dan suamiku pulang dalam keadaan lapar? Setiap kali lembur, Mas Saga pasti mengenyangkan perutnya di kantor. Sampai di rumah, ia akan langsung naik ke ranjang. Justru aku yang kerap mengomelinya agar mandi terlebih dulu. “Oh, oke. Mas mandi dulu aja, biar Mita masakin sesuatu,” tanggapku. Tak menunggu jawabannya, aku pun berbalik hadap, hendak menuju dapur. Tapi … baru akan kumulai langkah, ia berdecak. Respon itu membuat jantungku seolah terlepas dari tempatnya. “Mas?” cicitku. “Dasar istri ngga berguna! Apa saja kerjamu seharian sampai memasak untuk suamimu saja kamu lalai? Hah?” hardik suamiku, tepat di depan wajahku. Wajahnya kaku. Sorot matanya membuatku beku. “Kenapa nangis?” Kuseka air mataku. “Mas! Kamu ngga pernah pulang selarut ini dalam keadaan belum makan. Lagipula hanya perlu sedikit waktu untuk memasak,” balasku, meski tak jelas terucap karena terhalang isak. Ya, memang percuma mencoba menghapus derai saat hatiku teramat kalut. “Mau ngasih aku makan apa kamu? Yang tidak layak? Yang sudah berkali-kali dihangatkan? Atau yang sudah basi? Oh, atau jangan-jangan mau kamu racuni aku agar aku menyusul Kakek dan Papa lalu SEMUA HARTAKU JATUH KE TANGANMU DAN KELUARGAMU YANG TAMAK ITU!” “MAS!” *** Bentakan itu, yang tak sengaja keluar dari mulutku … yang akhirnya membuahkan tamparan ini. Ia bahkan tak nampak iba melihatku. Tak pula terlihat merasa bersalah. “Keterlaluan kamu, Mas,” tangisku. “Aku yang keterlaluan?” desis Mas Saga seraya mencengkeram kedua pipiku. Rasanya begitu menyakitkan. “Om kamu yang membunuh Kakek dan Papa! Dan aku yang keterlaluan kamu bilang?” “Om Rasen ngga mungkin melakukan itu, Mas,” bantahku. “Harusnya aku curiga kenapa tiba-tiba ia mengungkit amanah abangnya, membuat Kakek pun teringat janji itu! Sialan! Bodoh sekali! Harusnya aku curiga sedari awal!” “Mas Saga!” “Aku ngga akan lagi membiarkanmu dan keluargamu mengambil apapun yang kupunya! Tidak akan, Mita!” “Apa maksud kamu, Mas?” “Apa maksudku? Sudah jelas daritadi kukatakan jika KALIAN MEMBUNUH KAKEK DAN PAPA! TULI KAMU? Atau memang begitu keadaannya, kamu menyerahkan dirimu agar kalian lebih mudah merampas apa yang kupunya?” Aku kelu. Aku memang sudah mendengar desas-desus yang tak benar tersebut. Mereka bilang, Om Rasen melakukan sesuatu hingga menyebabkan saham Zalman Holdings anjlok dalam semalam. Aku masih ingat saat pagi itu suamiku panik dan meninggalkan rumah tanpa sempat menghabiskan sarapannya. Belum beranjak tengah hari, aku dikabarkan jika Kakek dan Papa mengalami kecelakaan dan keduanya menghembuskan napas terakhir di TKP. Kala itu, mereka tengah dalam perjalanan untuk menemui seorang investor, mencoba meminta bantuan dana dan pengaruh beliau untuk kembali menstabilkan nilai saham. Sejak kejadian itu, berbagai spekulasi tentang kecelakaan tersebut terus saja muncul. Termasuk tentang temuan kepolisian bahwa mobil mewah yang membawa keduanya tiba-tiba mengalami malfungsi pada sistem rem otomatis. Belum sempat kami berpikir, pengacara Kakek membacakan wasiat mengenai pengganti posisi yang selama ini diduduki papa mertuaku. Adalah Om Rasen – pamanku sendiri – yang didaulat menduduki tahta itu. Bukan Mas Saga! Suamiku tetap sebagai CEO yang wajib melaporkan kinerjanya pada Om Rasen sebagai Komisaris Utama. Dan hari ini, sebuah tajuk berita ramai di semua media. Tentang dugaan keterlibatan Om Rasen dalam pembunuhan Kakek dan Papa. Sungguh, aku tak pernah menyangka jika akan seperti ini reaksi Mas Saga. Pria yang aku andalkan, aku cintai, aku percayai, justru lebih mendengarkan gosip tanpa dasar. Bahkan bertanya baik-baik perihal kebenaran hal tersebut pun tidak Mas Saga lakukan. Justru tamparannya yang mendarat lebih dulu. Tentu saja, aku … sakit hati. “Ceraikan aku, Mas!” pintaku, dengan air mata yang berderai. “Apa kamu bilang?” balasnya. “Aku minta cerai! Kamu memukulku, menghinaku, meneriaki aku! Kamu melakukan semua hal yang kubenci!” Mas Saga menunduk, mencengkeram rahangku. Sangkin kerasnya, aku sampai meringis. “Sakiiit!” “Sakit? Hatiku jauh lebih sakit ditipu istriku sendiri. Tau kamu?” geram Saga. “Mulai saat ini, aku mentalakmu Belvina Paramita. Dan aku mau kamu meninggalkan rumah ini. Mengenai harta yang kita miliki dalam pernikahan, pembagiannya akan aku serahkan pada pengacaraku. Kamu pun silahkan mengirimkan wali hukummu! Sekarang kamu bebas! Silahkan pergi dan jangan pernah tunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!” Ia melepaskanku kasar. “Aku tidak butuh hartamu!” balasku. “Tidak usah bersusah payah mengurus harta gono-gini segala! Sikapmu saat ini sudah membuatku muak, Mas!” Mas Saga menyeringai sinis. “Kamu pikir, kamu bisa apa tanpa belas kasihan dariku? Tanpa hartaku? Aku tetap akan memberikannya. Karena aku jijik menyisakan apa pun tentangmu, termasuk harta yang menjadi hakmu!” “Br3ngsek kamu, Mas!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD