Rintik hujan terdengar seakan bernyanyi, irama yang dihasilkannya cukup membuat Riana merasa sedikit tenang. Bunyi dari monitor hemodinamika dan senatori yang terletak di samping Radit berhasil dikalahkan oleh bunyi hujan yang turun dari tadi. Paling tidak, kekhawatiran Riana menjadi sedikit berkurang.
Tidak ada gerakan yang berarti dari tubuhnya yang terlihat sejak Radit dilarikan ke rumah sakit. Hanya embusan napas yang terlihat dari gerakan kecil dadanya yang naik turun tanda oksigen masuk dengan sempurna.
Riana mendekat, memperhatikan wajah suaminya lebih saksama. Ada mata yang mulai tampak cekung, terlihat pipi yang semakin tirus dari biasanya.
"Begitu menyedihkankah kamu menahan perasaan, Dit? Maaf, mungkin aku yang terlalu egois, aku selalu merasa kalau akulah manusia paling tidak beruntung, tidak dicintai suaminya sama sekali. Padahal Tuhan sayang padaku dengan mengizinkan agar kamu memilihku menjadi istri walau dengan terpaksa. Padahal sayangmu sebagai sahabat harusnya sudah cukup untukku." Air mata Riana menganak sungai. Rasa bersalah kini semakin membuatnya larut dalam kesedihan.
Ketukan di pintu akhirnya mengharuskannya menghapus air mata. Terlihat sosok istimewa yang selalu menyayanginya seperti anak kandung sendiri—Bu Inggrid, ibu dari sahabat sekaligus mertuanya kini.
Pelukan hangat malah membuat Riana menangis tersedu di depan mertuanya.
"Sudahlah, tidak usah menangis. Toh Radit baik-baik saja, ‘kan?" ucap Bu Inggrid sambil tersenyum memandang wajah menantunya.
"Iya, Bu. Tapi ...."
"Tapi apa? Sudahlah, kamu berhak kecewa, Na. Kamu berhak marah karena dia sekarang suamimu, milikmu. Tapi, kamu harus sabar. Cinta itu tidak bisa dipaksa."
Riana menatap lekat ibu mertuanya. "Maafkan Riana, Bu. Mungkin terlalu egois jika memaksakan hatiku pada Radit. Aku yang mencintainya saja belum bisa menerima kalau hatinya bukan milikku, Bu. Apalagi Radit, ia pasti sangat terluka hidup bersamaku. Hidup dengan orang yang tidak ia harapkan."
"Huss, ngawur kamu, Na. Ndak diharapkan bagaimana?"
"Maaf, Bu."
Riana kembali menangis, bingung harus menjelaskan perasaan yang tengah ia rasakan pada mertuanya.
"Aku, i-i-ingin pisah saja, Bu."
Mata Bu Inggrid membesar. Kaget. Tidak menyangka Riana akan memutuskan hal itu dengan mudah. "Kamu baru menikah hari ini dan kamu mau berpisah di hari yang sama? Astagfirullah. Jaga ucapanmu, Riana. Pernikahan tidak segampang itu, pernikahan bukan permainan."
"Maafkan aku, Bu. Tapi ini demi Radit, bukan demi aku. Radit masuk rumah sakit karena terpaksa menikah, padahal ia mencintai gadis lain." Kali ini Riana terlihat sangat hancur, bukan hal yang mudah untuk jujur dan berkata kalau suami yang sangat ia cintai itu malah mencintai wanita lain.
"Kamu sudah salat?"
"Bu." Riana mencoba mendekati ibu mertuanya, tapi ditepis.
"Salatlah dan tenangkan hatimu, ungkapkan semua pada Dia. Ibu hanya manusia yang bisa mendengar, tapi Ibu tidak berhak atas hidupmu. Ceritakan pada Allah, minta ia membantumu. Jika memang kau kuat ingin berpisah dengan Radit, kita bicara nanti setelah Radit sehat." Bu Inggrid memunggungi Riana yang salah tingkah dan bingung harus berbuat apa. Perempuan paruh baya itu meneteskan air mata.
Tubuh Riana semakin lunglai, bukannya mengurangi masalah yang ada, ia malah memperburuk keadaan. Tidak pernah mertuanya itu bicara ketus dan pasrah seperti yang ia lakukan barusan. Memang, pernikahan bukanlah sebuah permainan, tapi jika salah satu bahkan keduanya tidak bahagia. Lantas, pernikahan seperti apa lagi yang diharapkan mereka berdua?
Pelan Riana mundur, menjauh dari ruangan Radit. Ia berlari dengan mata yang basah. Sebenarnya bukan berpisah yang ia inginkan. Namun jika dia tidak bahagia, apalagi Radit yang sama sekali tidak mencintainya, lalu buat apa ikatan suci tanpa cinta yang kini ia jalani?
"Maafkan aku," ucap Riana menunduk saat menabrak seseorang. Ia bahkan tidak melihat wajah seseorang yang ditabrak, malu dengan mata yang basah, malu dengan muka yang bengkak dan sembab.
"Tidak masalah. Kamu baik-baik saja?" Dari suaranya, Riana menabrak seorang lelaki. Suaranya sangat itu sangat lembut, tapi Riana enggan menatap lawan bicara karena hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Riana semakin mempercepat langkah, berlari menjauhi rumah sakit tempat Radit dirawat dan meninggalkan lawan bicaranya.