Riana menatap rumah kayu yang masih berdiri tegak dengan kuat di depannya. Ada rasa haru dan rindu yang datang silih berganti di pikirannya. Air mata yang tadi sudah kering kembali jatuh tanpa bisa dicegah. Hanya dengan melihat rumah itu hati Riana kembali lemah. Inilah rumahnya, di sanalah seharusnya ia pulang. Bukan di rumah mewah bernuansa biru kepunyaan Radit.
Seseorang paruh baya membuka pintu, menatap Riana dengan mata yang dipicingkan dan digosok berkali-kali. Wanita itu memutuskan ke luar rumah pada akhirnya, lalu perlahan tersenyum menatap gadis di depannya. Tidak lama ia memeluk Riana dan pecahlah tangis Riana di pelukan wanita paruh baya itu. Ia Bibi Ainun, Bibi yang membesarkan Riana sejak ibunya dipanggil sang kuasa.
Pelukan itu diurai pada akhirnya, seakan paham dengan hati keponakan yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Riana diajak masuk ke rumah dan dipersilakan duduk di ruang keluarga. Tangis Riana kembali menganak sungai, lalu perlahan surut dan tertinggal isak tangis yang perlahan lahan menghilang dan habis.
"Bibi ke belakang dulu, kamu duduk di sini dulu, ya," pinta Bi Ainun tersenyum dan mengusap kepala keponakan kesayangannya beberapa kali, lalu beranjak ke dapur yang temaram karena cahaya lampu seadanya.
Riana hanya mengangguk pelan, lalu mengeluarkan tisu dari dalam tas kecilnya dan menghapus jejak air mata yang merusak riasannya yang sederhana itu. Rumah kayu yang sederhana itu membuatnya begitu nyaman, hatinya sedikit terobati saat duduk di ruang itu. Ruangan yang hanya dihuni oleh dia dan Bi Ainun sejak kecil. Namun, di sinilah kebahagiaan sederhana itu datang. Setelah memutuskan menikah dengan Radit, segala upaya ia pinta agar Bi Ainun ikut dengannya, tapi tetap saja wanita paruh baya itu menolak karena ingin bertahan di rumahnya yang sederhana saja.
Bi Ainun kembali mendekati Riana, di tangan yang sudah keriput itu ada teh hangat dengan kepulan asap yang masih menari-nari. "Minum dulu, Na," ucap Bi Ainun dengan suara yang bergetar. "Setelah lebih tenang, kamu cerita semuanya sama Bibi, setuju?" sambungnya tersenyum dan kembali mengusap kepala Riana dengan penuh kasih sayang.
Teh hangat tadi sudah berpindah, pelan Riana menyeruput kehangatan teh itu sambil menutup mata. Rasanya sangat istimewa hingga beban di hati sedikit berkurang dan terbitlah senyum di bibir mungil gadis berkulit putih itu.
"Bi, maaf kalau aku pulang tiba-tiba, a-aku ingin bicara sesuatu yang amat penting," ucap Riana ragu-ragu. Ia kembali menatap wajah penuh kerutan di depannya dengan mengembuskan napas panjang. "Maaf, tapi aku harus lakukan ini semua, Bi. A-aku ingin berpisah saja dengan Radit," ungkapnya pada akhirnya tanpa melihat ke arah Bi Ainun.
"Kamu yakin, Na?" tanya Bi Ainum mengelus punggung ponakan satu-satunya itu dengan pelan, ia paham betul apa yang dirasakan Riana saat ini. Seorang Riana tidak akan menyerah jika memang sudah tidak ia sanggupi.
Riana menatap Bi Ainun sekali lagi, lalu menjawab mantap, "Sangat yakin, Bi," ucap Riana menunduk lagi, tidak berani menatap wajah Bi Ainun terlalu lama, takut ia akan kecewa dan merasa sedih lebih yang dirasakan Riana.
"Tatap mata Bibi, Na," ucap wanita tua itu mulai khawatir dengan kondisi Riana yang memang tampak lebih kurus dari pada biasanya.
Riana tidak menjawab, ia hanya menunduk semakin dalam. Tubuhnya mulai bergetar menahan kesedihan yang sering kali ditahan. Tidak lama isak tangis terdengar lagi, Riana kembali larut dalam kesedihan dan sakit yang tidak bisa ia tahan.
"Bibi hanya akan bertanya sekali saja. Dengarkan. Kamu masih mencintai Radit, suamimu?" Pertanyaan itu membuat Riana spontan menatap Bi Ainun. Manik mata yang hitam itu menatap sayu pada keponakannya. "Bibi tahu, kamu masih sangat mencintai Radit, 'kan, Na?" tanyanya menegaskan.
Isak tangis Riana akhirnya memenuhi ruangan lagi, suara tangis itu lebih keras dari sebelumnya. Bi Ainun hanya bisa menatap khawatir pada keponakan yang sangat ia cintai itu. Tanpa menyentuh, tanpa menenangkan Riana, Bi Ainun meninggalkan Riana seorang diri di ruang keluarga. Membiarkan Riana berteman dengan sedihnya dulu, agar kesedihan itu meluap dan terbang hingga tidak tersisa. Jika sedih itu telah pergi, Riana pasti akan mampu berpikir kembali dan tentu memiliki keputusan sendiri untuk hidupnya.
***
Jarum jam tidak berhenti berdetak, waktu akan terus berlalu. Bahagia dan sedih yang datang bukanlah salah takdir. Perihal hati kitalah yang memegang kunci, kita yang mengendalikan mau dibawa ke mana sebuah perasaan. Berpikir positif akan membuat hati lebih damai, manusia punya pilihan untuk hidupnya sendiri, begitu juga Riana. Akhirnya setelah melepas semua tangis, sesak di hati perlahan hilang, ia pun bahkan bisa mengurai sebuah keputusan.
Riana menengadah, menatap langit yang terlihat cerah hari ini. Wajahnya tidak lagi terlihat menyedihkan. Ada senyum yang kini jelas terbit di bibirnya, air wudu telah meresap ke kulit wajahnya beberapa waktu lalu untuk meminta dan memohon pada-Nya untuk sebuah keputusan yang pasti. Air wudu nan pasrah pada sang Ilahi membuat Riana lebih merasakan ringan kini, ia tampak lebih tenang.
Gadis itu duduk di kamarnya, kamar yang ia tinggalkan sejak menikah dengan Radit beberapa bulan lalu. Kembali ia membuka satu per satu album masa lalu yang berisikan kenangan yang penuh dengan Radit. Air matanya memang tidak lagi mengalir, tapi hatinya masih menyisakan getir. Namun, Riana hanya memperlihatkan senyum sederhana setiap melihat kenangan mereka berdua yang tercetak dan di tata rapi di album yang diberi nama RR (Radit dan Riana).
"Jangan terlalu lama melihat itu semua, kenangan terkadang membuat hati manusia dibolak-balik seenaknya. Jangan lakukan jika akan membuat hatimu sakit, Na," ucap Bi Ainum yang sudah berada di pintu kamar Riana.
Riana tersenyum menatap wanita kesayangannya itu. "Tidak, Bi. Riana hanya ingin mengenang bagaimana dulu bertemu, mengenal, dan menjadi bagian yang penting dalam hidup Radit. Rasanya baru kemarin kami kenal," ucap Riana masih menatap fotonya yang berseragam putih abu-abu bersama Radit yang tersenyum di samping Riana.
"Semua sudah takdir, Na. Bertemu, bersama, lalu hatimu memilihnya. Jadi jangan salahkan terus hatimu, kasihan dia." Bi Ainun kini duduk mendekat, memperhatikan satu per satu foto yang tersusun rapi di album kenangan itu.
Album itu memang hanya berisikan kenangan mereka berdua, semua tersusun rapi dari awal pertemuan, hingga akhirnya mereka duduk di pelaminan sebagai suami istri.
"Iya, hatiku tidak salah, 'kan, Bi? Memilih sahabatku sendiri untuk menjadi cinta di hati," ucap Riana tersenyum dan memeluk Bi Ainun dengan sangat erat.
"Jadi sudah kamu putuskan?" Bi Ainun membalas pelukan Riana dengan pelukan lebih hangat, lalu mengurai pelukan itu dan menatap mata keponakannya dengan tatapan paling serius.
"Sudah. Semoga ini yang terbaik ya, Bi," ucap Riana tersenyum sambil menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat.
"Apa? Semoga keputusanmu benar, Nak," ujar Bi Ainun mulai khawatir saat melihat manik mata Riana yang berkaca-kaca.
"Hatiku sepertinya juga butuh kebahagiaan, 'kan, Bi? Mungkin dulu aku seorang yang terlalu memaksakan hati. Mentang-mentang paling mengerti Radit, mentang-mentang paling dekat. Aku merasa kalau akulah wanita pilihan Allah untuknya. Ternyata aku salah, semua hal yang aku punya tidak mampu mengubah hati Radit. Jadi, aku memutuskan dengan bismillahirahmanirahim, kami berpisah saja, Bi." Riana kali ini tampak tegar dengan keputusannya. Tidak lagi ada air mata, tidak lagi ada wajah sendu yang menyedihkan itu.
Bi Ainun mengembuskan napas pelan, lega dengan keputusan yang diambil oleh keponakannya, walau harus berpisah dan akan mendapatkan status baru, tapi ia tahu Riana punya pilihan atas hidupnya dan ia hanya bisa berdoa keputusan itu adalah jalan terbaik untuk Riana kembali bisa tersenyum seperti dahulu.
"Jika itu yang membuatmu bahagia, jalani dengan baik. Bibi mendukung. Tapi, apakah kamu sangat yakin dan tidak ingin memikirkan hal ini sekali lagi?" tanya Bi Ainun menatap Riana dan masih berharap keputusan itu diubah.
"Sudah matang, Bi. Sejak masalah yang terus-menerus tiada akhirnya itu, rasanya memang aku tidak pantas menjadi pendamping Radit. Hatiku tidak sekuat baja, Bi. Pernikahan yang aku impikan tidak berjalan dengan baik. Bahkan sampai sekarang, Radit tidak pernah menyentuhku. Radit menjadi orang asing setelah kami menikah. Jadi, biarkan ia kembali seperti dulu, menjadi sahabatku saja, mungkin itu lebih dari cukup," jelas Riana dengan tegas.
Bi Ainun kini menangis, tidak menyangka pernikahan keponakan satu-satunya yang singkat itu bisa dilalui dengan sekuat dan setegar itu. Karena sejatinya, melepaskan yang dicintai tidak segampang kenyataannya. Ia tahu akan ada hati yang harus terus ditusuk dengan paksa, tapi jika tidak ada cinta, rumah tangga akhirnya akan hancur juga.
"Jika memang sudah bulat, bicarakan baik-baik pada Bu Inggrid, Nak. Kalian bertemu baik-baik, berpisah pun harus lebih baik," ucap Bi Ainun menghapus air matanya.
Riana menangguk dengan senyuman. Jari lentiknya nan putih kini mengusap air mata Bi Ainun.
"Maafkan Bibi, Na. Bibi gagal menjadi orang tuamu," ucap Bi Ainun di sela tangisnya yang membuat tubuh tua dan kurus itu berguncang hebat.
"Tidak ada yang salah, Bi. Bukankah hidup punya pilihan? Jika melepaskan adalah bahagia buat hatiku, buat hati Radit juga. Mungkin itulah satu-satunya jalan terbaik." Gadis itu berkali-kali memperlihatkan senyum dan ketegaran. Hatinya seakan kini lebih kuat dari sebelumnya, walau pun lubang di hati masih belum tertutup sempurna, tapi keputusan tetap saja keputusan yang harus dijalani apa pun risikonya.