Satu tahun kemudian.
~~
“Ini, kan, rumah sakit bersalin?” Cita melirik sebentar pada sang mami yang duduk di sebelahnya. Setelah itu, ia kembali berkonsentrasi dengan kemudinya, guna mencari tempat parkir. “Mau ngapain kita ke sini, Mi?” tanyanya kembali pada Sandra.
“Kamu sudah nikah satu tahun, tapi belum isi juga.” Sandra menjawab, sembari terus mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Satu tawa sinis kemudian Sandra lontarkan, saat masa lalu terbersit di benaknya. “Kalau omamu masih hidup, dia pasti jadi orang pertama yang tertawa dan–”
“Mami, sudah!” henti Cita sedikit meninggikan nada bicaranya. Membicarakan mendiang Joana, selalu membuat hati Cita sesak. Sejak kecil, cap anak haram selalu saja diberikan oleh sang oma tanpa pernah mau berbasa-basi. Tidak hanya itu, Joana juga kerap membandingkan Cita dengan Kasih, dalam hal apa pun, tanpa terkecuali.
Karena hal tersebut pula, Cita bahkan tidak merasa sedih sedikitpun ketika Joana terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dan pada akhirnya meninggal dunia. Justru, ada kelegaan di hati Cita, setelah wanita tua itu pergi untuk selamanya.
Tidak ada lagi orang yang akan memaki maminya, menampar, atau menyebar banyak hal buruk tanpa segan kepada orang banyak. Ya, Cita bahagia.
“Kalau memang belum dikasih hamil sama Tuhan, memangnya kita bisa apa?” sambung Cita.
Jelas saja Cita tidak bisa hamil, karena selama menikah Pandu tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Hal itu sudah menjadi kesepakatan mereka berdua, sejak Pandu meminta izin untuk menikah lagi dengan Laura.
“Justru karena itu kita ke sini.” Sandra menunjuk satu tempat kosong, untuk tempat parkir putrinya. “Mami mau pastiin, kalau kondisi kamu itu baik-baik aja. Misal ada apa-apa, kita bisa langsung tangani dengan cepat.”
Cita menghela dan semakin memelankan mobilnya. Sangat berhati-hati ketika berbelok, agar bisa memarkirkan mobilnya dengan sempurna.
“Tapi, kenapa harus di rumah sakit yang jauh begini,” tanya Cita sedikit penasaran. “Di dekat rumah juga ada rumah sak–”
“Mami nggak mau sampai ada yang tahu, andai kamu yang bermasalah di sini.”
Cita berdecak, lalu mematikan mesin mobilnya. “Memangnya, Mami sudah daftar? Atau, sudah bikin janji?”
“Sudah daftar, dapat nomor 10,” kata Sandra lalu keluar dari mobil. Setelah putri semata wayangnya keluar, barulah mereka berdua berjalan bersama memasuki lobi rumah sakit.
“Duduk dulu, biar Mami yang urus semuanya,” titah Sandra sembari menunjuk kursi lobi di depan meja resepsionis.
“Aku ke toilet bentar,” kata Cita segera pergi saat Sandra memberinya anggukan. Apa pun hasil dari pemeriksaan nanti, Cita juga tidak akan peduli. Masih ada hal lain yang lebih penting, dan harus Cita selesaikan daripada memikirkan kehamilan yang tidak mungkin terjadi.
Langkah Cita memelan, ketika baru saja berbelok menuju area kamar kecil berada. Cita mengerjap beberapa kali, untuk memastikan sosok pria yang sedang berdiri di luar sana. Pria dengan kemeja putih yang selalu saja berpenampilan rapi itu, seperti sedang menunggu seseorang.
“Mas Pandu?” tegur Cita setelah berdiri di samping pria itu. “Ngapain di sini? Di toilet?”
Melihat Cita tiba-tiba muncul di sebelahnya, Pandu terdiam. Untuk sesaat, ia masih memproses sosok yang sedang menatap bingung kepadanya. “Cita?”
“Iya, aku Cita,” terangnya lalu menoleh pada bilik kamar kecil yang dikhususkan untuk perempuan. “Ngapain di sini?”
“Oh …” Setelah yakin gadis di depannya adalah Cita, Pandu pun menghela panjang. Namun, mengapa Cita sampai datang ke rumah sakit, yang letaknya sangat jauh dari rumah mereka. Bahkan, rumah sakit yang mereka datangi sekarang, bisa dibilang sudah masuk daerah pinggir kota. “Lagi ngantar Laura kontrol hamil. Sebentar lagi, kan, dia–”
“Dia di sini?” tanya Cita merasa tersentil dengan kabar kehamilan madunya. Selama ini, Cita tidak pernah mau tahu, dan tidak pernah berniat mencari tahu tentang kabar pernikahan kedua suaminya. Lagipula, pernikahan mereka juga bukan berdasarkan cinta, jadi CIta tidak peduli sama sekali dengan semuanya. “Lagi di toilet?”
Pandu mengangguk.
“Mending kalian pergi habis ini,” saran Cita mulai bernada datar. “Aku datang ke sini Mami.”
“Mami ada di sini?” tanya Pandu masih bingung dan tidak percaya. “Ngapain kalian jauh-jauh datang ke sini?”
“Mami mau ngecek, kenapa aku masih belum hamil-hamil juga,” kata Cita terus terang, karena tidak ada yang perlu ia tutupi dari Pandu. “Padahal kita sudah nikah hampir satu tahun.”
Pandu menghela panjang. Sebenarnya, tidak hanya Cita yang dicecar masalah tersebut. Namun, orang tua Pandu juga kerap menyindir secara terang-terangan mengenai cucu.
“Yaaa, mau gimana lagi,” ujar Pandu dengan mengangkat kedua bahunya sebentar. “Mereka yang mau kita nikah, jadi harus bisa terima resikonya. Lagian, kamu juga yang minta untuk nggak disentuh, kan?”
“Kamu nyalahin aku, Mas?”
“Bukan begi–”
“Mas Pandu.”
Panggilan dari arah toilet tersebut, membuat Cita menoleh seketika. Ia menatap wanita hamil nan cantik, yang memberi senyum manisnya pada Pandu. Pantas saja Pandu tidak bisa melepas wanita itu, dan tetap bersikeras menikah dengannya.
“Sayang.” Pandu mengulurkan tangannya, dan segera disambut oleh wanita hamil itu. “Kenalkan, ini Cita. Istriku,” ujar Pandu tanpa ragu, dan tidak merasa canggung sedikit pun. “Cita ini Laura, dan Laura, ini Cita.”
Senyum di wajah Laura pudar seketika. Terlebih lagi, Pandu memperkenalkan Cita padanya dengan ucapan “istriku”. Bukankah, Laura juga istri Pandu? Namun, pria itu tidak mengatakan hal yang sebaliknya pada Cita. Pandu tidak memperkenalkan Laura sebagai istrinya juga.
“Aku Laura,” ujarnya mengulurkan tangan dan terpaksa menyematkan senyum kecil, untuk gadis pilihan keluarga Atmawijaya. Laura tidak menduga, gadis yang dinikahi Pandu ternyata sangatlah cantik, dan tampak masih sangat muda.
Benarkah Pandu tidak pernah tergoda sedikit pun dengan gadis itu? Setelah melihat dan bertemu Cita, Laura jadi merasa tidak percaya diri. Cita bukan hanya cantik, tetapi juga berasal dari keluarga terpandang yang kaya raya.
Sementara Laura?
“Cita,” ucapnya sambil menyambut tangan Laura dengan erat. Namun, Cita tidak menyematkan senyum sama sekali, karena ia tidak suka berpura-pura bahagia. “Cita Lukito. Sudah berapa bulan?” tunjuknya pada perut Laura yang sudah sangat besar.
“Oh …” Laura tertawa pelan, setelah melepas jabat tangannya dengan Cita. Ia mengusap pelan perutnya, lalu berkata, “HPLnya bulan depan.”
“Bulan depan.” Cita mengulang ucapan Laura, sembari mengingat satu hal. Setelah hal tersebut jelas di ingatan, barulah ia berpaling pada Pandu. “Bulan depan, ulang tahun pernikahan kita yang pertama. Mama bilang mau adain makan malam keluarga. Semoga aja, anakmu itu nggak lahir di hari jadi pernikahan kita.”
“Cit …” Pandu berusaha menahan emosinya di tempat umum seperti sekarang. “Laura lagi hamil, jadi bicaralah yang baik-baik.”
Cita beralih pada Laura, tanpa memedulikan Pandu. “Apa bicaraku barusan kasar?”
Laura tersenyum datar. Mendadak serba salah. “Nggak, kok.”
“Kamu dengar sendiri, kan, Mas?” Cita kembali menatap Pandu. “Omonganku barusan nggak kasar. Aku cuma bilang apa adanya. Mama kamu sudah siapin rencana makan malam keluarga untuk kita. Jadi, tolong sempatkan datang untuk setor muka sama mereka, karena selama ini kamu terlalu sibuk ngurusin …”
Cita sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Yang ia lakukan justru melihat Laura. Memindai wanita itu dari ujung rambut lurus yang diikat seadanya, sampai sudut kaki dengan sandal bermereknya. Andai tidak ada Laura, kira-kira pernikahan seperti apa yang akan dijalani oleh Pandu dan Cita?
“Cita, sudah! Kita bicara nanti di rumah,” ujar Pandu sudah menggamit jemari Laura dengan erat. “Aku pergi dulu bawa Laura dari sini.”
“Hm, jangan sampai ketahu–”
“Citaaa …