4

984 Words
Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama. "Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu. "Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di d**a. Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila. Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih. "Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!" Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang. "Kamu sejak dulu selalu nolak dijodohkan sama Mira kok sekarang tiba-tiba mau, Ras?" Ibu mengerutkan kening, ia menunduk dan mendaratkan ciuman di kepala Qila. "Kalian harus nikah. Ibu tidak mau pisah sama Qila!" Tegas ibu terlihat jelas tak mau dibantah. Tatapannya lekat pada Mas Rasya yang menyentak napas kuat, terlihat sangat keberatan. Keluarga ini menurutku semuanya keras kepala. Bapak kalau sudah marah biasanya sering mendiamkan Mas Rofi atau Mas Rasya sampai berhari-hari. Sementara ibu, kalau sedang marah biasanya akan terus ngomel-ngomel. Kalau si monster yang adalah kakak suamiku itu, kalau sedang marah seperti ayahnya, selalu sinis dan banyak diam. Satu-satunya di keluarga ini yang tak suka marah hanya Mas Rofi. Suamiku itu kalau sedang marah masih bisa tersenyum. Ah, pokoknya beda kalau dibandingkan keluarganya yang lain. Mas, apa kamu hidup senang di sana? Aku menghela napas panjang saat teringat wajahnya untuk terakhir kali yang tampak sangat marah. Ingatan wajah kesakitannya saat menyentuh d**a dan menepis kuat tanganku tak juga lekang dalam ingatan meskipun sudah menyoba membuangnya. Mas, maafkan aku. "Tapi aku tak mau nikah sama dia, Pak!" Tuding Mas Rasya ke wajahku, membuatku tersentak kaget. "Dia itu aib!" Tudingnya lagi ke wajahku. "Malu aku kalau sampai nikah sama dia! Dan lagi, dia tak becus melakukan apa-apa. Lebih baik aku nikah sama Mira saja yang paling gak dia bisa masak!" Mas Rasya beda sekali dengan Mas Rofi yang selalu menurut ucapan bapak dan ibu.  "Jangan begitu, Rasya!" Bapak tampak kesal. Aku sendiri terus terisak.  Tiba-tiba saja, Mas Hanif berdiri lalu mendaratkan tinju bertubi-tubi ke wajah Mas Rasya. Mas Rasya dengan cepat membalas. Mas Fadil ikut berdiri dan melayangkan pukulan ke perut Mas Rasya. Dua lawan satu, Mas Rasya kalah telak. Ibu berteriak-teriak menyuruh berhenti. Bapak mendekat dan berusaha melerai tapi si kembar jago karate itu terus beraksi. Tangannya yang terkepal terus menghantam wajah dan perut Mas Rasya dengan membabi buta, membuat wajah Mas Rasya lebam kebiruan. "Hentikan! Hentikan!" Ibu berseru panik. Qila dalam gendongan ibu menangis keras. Bug. Bug. Bug. "Bilang gitu lagi sama adek gue! Ayo bilang lagi!" Tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Mas Rasya. Lelaki itu hendak membalas, tapi lagi-lagi serangan bertubi-tubi menghantamnya. "Gue bunuh lo sampai berani buat adek gue nangis lagi!" kata Mas Hanif sangat emosional. Meskipun Mas Rasya selalu jahat, tapi aku tak tega melihat ibu terus menatap ngeri sambil berteriak histeris. "Mas! Sudah maaas!" Teriakku pada kedua kakak kembarku yang terus melayangkan tinju ke wajah Mas Rasya. "Apa yang salah dengan ucapanku?! Memang dia aib!" Tegas Mas Rasya, membuat Mas Hanif kembali melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajahnya. Ibu menjerit-jerit, sementara bapak terus mencoba melerai. Dua kakakku itu memang sangat emosional. Mungkin karena aku bungsu adik satu-satunya. Dulu, pernah, saat masih kuliah dan aku ternyata menjadi taruhan pacarku, ia memberi pelajaran pada cinta pertamaku itu sampai masuk rumah sakit.  "Ayo bilang lagi! Gue buat lo dead sekarang juga!" Ganti Mas Fadil yang berkata.  Mereka memang kembar. Tapi begitu mudah membedakannya. Mas Fadil yang mempunyai mata jernih sepertiku berpenampilan lebih kalem. Sementara Mas Hanif seperti preman. Rambutnya panjang sebahu dengan tindik berkilauan di telinga. Berbeda dengan saudara kembarnya yang berambut cepak dan tak berpenampilan neko-neko. Beberapa tetangga yang datang mendekat, membuat Mas Fadil dan Mas Hanif akhirnya mau melepaskan mangsanya. Keduanya kembali duduk lalu menyentak napas kuat. Bersamaan. "Tidak ada apa-apa. Hanya masalah keluarga." Bapak yang menjawab. Dengan ramah mengangguk pada tiga lelaki tua yang langsung melangkah keluar.  Mas Rasya menyentuh pipinya.  "Aku tak setuju adikku menikah dengannya." Mas Hanif menatap ibu. Meskipun dia sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tapi pada orang tua dia sopan. Itu ajaran papa dan mama. "Kalau tidak setuju, biar Qila di sini!" Tegas ibu, memberi tatapan tak mau dibantah. "Qila butuh ibunya." Aku menimpali. Kakak kembarku mengangguk bersamaan. "Kalau begitu ibu akan tuntut Puspita karena telah membuat Rofi meninggal!" Bukan aku juga yang tersentak kaget, tapi bapak dan Mas Rasya juga. Begitu pun kedua kakakku. "Bu, Puspita menantu kita." Bapak memandang ibu. "Sekarang tidak lagi! Ibu akan tuntut dia jika pergi bawa Qila! Tinggal pilih, nikah sama Rasya atau masuk penjara!" Aku terisak-isak, memandang ibu dengan tatapan tak percaya. Kalau aku dipenjara, bagaimana dengan Qila? Duh Gusti .... Mas Rasya menegakkan tubuh, mulutnya yang memar terbuka seakan hendak bicara, tapi dengan tatapannya ibu menyuruhnya diam. "Kalian pulang sekarang. Pus, masuk kamar!" kata ibu tak mau dibantah. Kuulurkan tangan ke arah Qila yang balas mengulurkan tangan kemudian membopong bocah menggemaskan ini menuju kamar. Aku terisak sejadi-jadinya.  *** Entah berapa lama aku menangis dengan Qila terus menyusu. Tahu-tahu mataku memberat, dan kembali terjaga saat mendengar bunyi ketukan. Sinar matahari transparan yang memanjang dan jatuh di bawah jendela menandakan hari telah berganti. Ternyata, aku tidur dari sore dan lupa menutup jendela. Bunyi ketukan kembali terdengar. Kukenakan jilbab lalu berjalan menuju pintu. Saat pintu mengayun membuka, aku menganga melihat Mas Rasya di depan mata. Tangannya yang terangkat seolah ingin kembali mengetuk pintu kamarku dengan cepat ia letakkan ke bibirnya sendiri lalu berkata pelan, nyaris menyerupai bisikan. "Ayo cepat." "Ke mana, Mas?" Hiiits. "Cepat mumpung ibu bapak masih tidur." "Maksudnya Mas apa?" "Kuantar ke rumahmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD