Trauma

1240 Words
“Hugo!” teriaknya berkecak pinggang. Dengan cepat pria bertubuh seperti raksasa itu masuk ke dalam ruangan sang tuan. “Ya, Tuan?” sahutnya. “Bagaimana? Apa Max sudah menemukan keberadaannya?” tanyanya menatap tajam Hugo. “Dia belum memberi kabar, Tuan,” jawab Hugo. “f**k! Kenapa lama sekali? Cepat hubungi dia!” titahnya lagi. Hugo merogoh ponsel di dalam saku jas hitamnya, kembali menghubungi Max sesuai perintah sang tuan. “Bagaimana, Max?” tanyanya pada Max yang berada di seberang telepon. “Wanita itu ada di rumah sakit St. Maria,” jawab Max dari seberang teleponnya. Usai mendapat jawabannya, Hugo pun mengakhiri panggilannya dan memberitahu sang tuan tentang keberadaan Jeanice. Eryk meminta Hugo keluar dari ruangannya, setelah memerintahkan Hugo mengutus dua orang pengawal untuk menjaga Jeanice. Ia terus merenungi kejadian semalam, terlintas di benaknya bagaimana kasarnya ia kepada Jeanice tadi malam, sampai mengabaikan jeritan dan tangisan wanita itu. Dirinya benar-benar telah merenggut satu-satunya hal yang paling berharga yang dimiliki wanita itu. Akan tetapi, tiba-tiba pikiran gila terlintas di benaknya. Ia merasa tadi malam sangat menikmati sempitnya lubang segitiga bermuda milik wanita itu tadi malam. Sensasinya sangat berbeda dengan milik Rebecca. Entah mengapa tubuhnya merasa candu, ia menginginkannya lagi. Namun, dengan cepat ia menampiknya. “Aakh! Aku pasti sudah gila!” gerutunya sambil mengurai rambutnya. “Kau kenapa?” tanya Vincent yang baru saja tiba di ruangannya dan tengah berdiri di hadapannya, menaruh sebuah dokumen yang harus ditandatangani. Kedatangannya berhasil membuat tubuh Eryk tersentak. “Damn! Kenapa kau tidak mengetuk pintu?” sungutnya pada Vincent, sahabat sekaligus asisten pribadinya. “Aku sudah mengetuk pintu, tapi kau tidak menjawab, aku pikir kau sedang di toilet. Jadi aku langsung masuk saja,” jawabnya santai. Karena mereka memang akan berbicara santai jika tidak ada orang lain selain dirinya. Namun, jika sedang ada orang lain, Eryk dan Vincent akan bersikap profesional layaknya atasan dan anak buah. Bahkan, sampai saat ini Jeanice tidak tahu jika Vincent adalah sahabat Eryk. Eryk tak bergeming, ia meraih dokumen yang diberikan Vincent, dan membacanya. Vincent tersenyum tipis sembari menatap sahabatnya yang nampak kacau pagi ini. Bahkan pria yang selalu berpenampilan rapi itu tidak menata rambutnya pagi ini. Merasa ditatap oleh Vincent, Eryk menatapnya tajam, “Ada apa?” tanyanya sinis. “Jeanice ada di rumah sakit untuk menemani ayahnya, kondisi ayahnya sedikit menurun,” tutur Vincent. “Aku sudah tahu!” balas Eryk ketus sembari menandatangani laporan keuangan perusahaannya. “Dari mana kau tahu? Dia menghubungimu?” selidik Eryk pada Vincent. Vincent mengangkat kedua alisnya sembari mengangguk kecil. “Dia meminta cuti tiga hari ke depan untuk menemani ayahnya,” jawab Vincent. “Kenapa dia meminta cuti padamu. Atasannya kan aku, bukan kau,” gerutu Eryk kesal. “Jika sesuai urutan di struktur organisasi perusahaan, akulah atasannya. Jadi, memang seharusnya dia meminta izin padaku, barulah aku yang akan memberitahumu,” tutur Vincent yang berhasil membuat Eryk mendengus kesal. “Baru saja ditinggal beberapa jam, raut wajah dan penampilanmu sudah kacau seperti ini. Bagaimana jika gadis itu mengundurkan diri dari perusahaan ini. Sepertinya kau akan menggila,” goda Vincent terkekeh, membuat Eryk bertambah kesal, lalu melemparkan bolpoin ke arah sahabatnya itu. “Bulan ini tidak ada bonus untukmu!” ketus Eryk sambil membuka laptopnya, ia sudah selesai menandatangani semua dokumen yang dibawa Vincent. Vincent merogoh ponselnya dari dalam saku dan meletakkannya di sebelah daun telinga, “Selamat pagi, Tuan Robert!” sahut Vincent berakting seolah sedang menjawab panggilan dari salah satu investor sembari meraih dokumen yang sudah ditandatangani Eryk, dan berlalu meninggalkan ruangan itu. *** Di taman rumah sakit St. Maria yang terlihat sedikit ramai dengan beberapa pasien lansia yang sedang berjemur dengan ditemani oleh para perawat, Jeanice duduk termenung di kursi panjang yang ada di sana dengan tatapannya yang kosong, seraya memeluk dirinya sendiri. Sesekali air matanya kembali luruh merenungi apa yang dialaminya tadi malam. Namun, dengan segera ia menghapusnya, takut jika ada seseorang yang dikenalnya melihat dirinya sedang menangis. Tadi malam usai Eryk tertidur, sambil menahan perih di inti tubuhnya, ia berjalan tertatih ke kamarnya dan mengemas semua pakaiannya, lalu kembali pulang ke rumah kecilnya usai membersihkan tubuhnya. Pagi ini, setelah mendengar kondisi sang ayah yang sedikit menurun, Jeanice bergegas ke rumah sakit dan menelepon Vincent, meminta cuti selama tiga hari ke depan untuk menjaga ayahnya, sekaligus menghindar dari Eryk. Wanita itu sungguh tak tahu harus bersikap bagaimana saat berhadapan dengan tuannya yang b*rengsek itu. Setelah perasaannya jauh lebih tenang, ia kembali ke bangsal VIP tempat sang ayah dirawat. Sejak ia terikat kontrak dengan Eryk, pria arogan itu memerintahkan Vincent untuk memindahkan ayah Jeanice ke bangsal VIP. “Kau dari mana saja, Nak?” tanya Ferdinand Haleigh kepada putri semata wayangnya, suaranya terdengar lemah. Jeanice menghampirinya, mengulas sebuah senyuman palsu untuk sang ayah. “Aku baru saja pergi makan siang di luar, Dad,” jawabnya berbohong. Padahal sejak kemarin sore belum ada makanan apa pun yang masuk ke dalam perutnya. “Daddy bagaimana? Apa sudah merasa lebih baik?” tanyanya mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Daddy baik-baik saja, Nak … ada apa dengan matamu? Kau menangis?” tanyanya pada sang putri yang kedua matanya nampak sembab, terlihat sedikit memerah dan berair. Melihat Jeanice yang hanya terdiam menunduk, diraihnya tangan sang putri, “Daddy baik-baik saja, Sayang. Jangan bersedih, Daddy berjanji akan kembali sehat, dan melindungi putri kesayangan Daddy seperti dulu. Daddy tidak akan meninggalkanmu sampai Daddy melihat putri tersayang Daddy menjadi pengantin tercantik di dunia,” imbuhnya tersenyum, mencoba menghibur Jeanice yang mulai terisak. Wanita itu mengangguk dan menghapus air mata di kedua pipinya. Mendengar perkataan sang ayah, ia sendiri ragu, apa suatu saat nanti ia akan merasakan rasanya menjadi seorang pengantin seperti harapan sang ayah. Sedangkan, saat ini dirinya sudah trauma pada pria karena kejadian semalam. “Kau pergi bekerja saja, Daddy sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Jangan sampai tuanmu yang baik itu memecatmu,” titahnya. “Baik? Dia itu pria b*rengsek yang sudah menodai putrimu ini, Dad,” gerutunya dalam batin. Kedua netranya kembali mengembun. “Tidak, Dad. Aku sudah izin cuti tiga hari ke depan,” jawab Jeanice tersenyum getir. “Itu terlalu lama, Nak,” kata Ferdinand. “Tidak masalah, Dad,” jawab Jeanice lagi tersenyum manis menatap sang ayah. Matanya mulai terasa mengantuk karena semalaman tidak dapat tertidur, wanita itu pun membaringkan tubuhnya di atas sofa, dan terlelap. Eryk yang baru saja selesai meeting bergegas pergi ke rumah sakit untuk membahas masalah semalam dengan Jeanice. Namun, setibanya ia di sana, ternyata wanita itu sedang tertidur lelap sampai tak menyadari kedatangannya. Melihat ada yang masuk ke dalam bangsalnya, Ferdinand yang sedang duduk di tempat tidurnya sambil membaca majalah bisnis pun mengernyitkan dahi, menatap pria yang memiliki tinggi badan 190 sentimeter itu. “Selamat siang,” ucap Eryk dengan sikapnya yang dingin, sambil meletakkan parsel yang berisi beberapa jenis buah di atas nakas. “Ya, selamat siang. Maaf, Anda mencari siapa? Apa Anda salah masuk ruangan?” tanya Ferdinand. Pria paruh baya itu memang tak mengenal Eryk sama sekali, karena ini adalah pertama kalinya Eryk mengunjunginya di rumah sakit. “Aku Eryk Harrison Schwarz,” jawabnya dengan volume suara yang dikencangkan sambil melirik Jeanice yang nampak terlelap, berharap wanita itu terbangun dari tidurnya. Namun, Jeanice tak menunjukkan pergerakan sedikit pun. “Maksudnya, Anda Tuan Eryk, CEO di perusahaan tempat putri saya bekerja?” tanya Ferdinand lagi, mencoba memastikan. Eryk hanya mengangguk kecil dengan wajah dingin dan datar. Tak nampak sedikitpun senyuman di wajah tampannya itu. “Jeanice!” panggil Ferdinand kepada putri cantiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD