Kau Yang Tak Lagi Hangat

1135 Words
Tara langsung mematikan panggilan itu. Ia tak ingin terpancing emosi karna Abimanyu yang mendesaknya memberitahukan di mana dirinya menyimpan buku nikah mereka. Abimanyu terus menghubunginya, seakan tak mengenal kata lelah. Tara yang jengkel pun memilih menonaktifkan ponselnya. Sebegitu besar keinginan lelaki itu untuk mengakhir apa yang ada di antara mereka? Sebegitu tak betahnya lelaki itu bersamanya? Tara tersenyum miris. Hingga saat ini, dirinya tak mengerti mengapa bisa Abimanyu berpaling darinya. Biasanya lelaki berselingkuh karna merasa tak puas dengan pasangan mereka atau sekadar ingin bermain-main. Dalam kasusnya, Tara merasa lelaki itu tak puas dengan dirinya. Mungkin memang dirinya tak layak dicintai. Air mata seakan memberontak untuk dikeluarkan, namun Tara mencegahnya sekuat yang ia bisa. Tara telah berjanji pada dirinya untuk tak membiarkan dirinya tersakiti lagi. Ia harus bangkit seperti yang Eve bilang. Berlagak kuat dan tak peduli demi mendapatkan suaminya kembali. Ya, Tara harus berjuang terlebih dahulu, ia tak mungkin menyerah begitu saja pada keadaan. Dirinya akan berdiri tegak walau dijatuhkan berkali-kali. Masa cucinya hanya tersisa beberapa hari dan selama mengasingkan diri, Tara ingin mencoba lupa sejenak. Melupakan fakta jika dirinya tak lagi diinginkan oleh satu-satunya lelaki yang menjadi pusat dunianya. Ia ingin pergi dari kenyataan, di mana hati lelaki itu bukan lagi miliknya. Ia harus mulai belajar, melupakan keterbiasaan yang membuatnya mulai merasa tak sanggup lagi menjadi mandiri. Kebiasaan di mana dirinya bernapas untuk lelaki itu. Tadi malam, Tara hampir saja kehilangan nyawa karna tak sanggup menahan perih yang menyiksa bathin. Jika saja, lelaki itu tak menariknya, maka mayatnya lah yang akan dilihat Abimanyu hari ini. Mungkin, hal yang akan membuat lelaki itu bahagia karna telah mendapatkan tiket kebebasannya, akan tetapi membuat Tara terlihat semakin bodoh. Beruntung Tuhan masih berbaik hati dan mengirimkan seorang penyelamat. Tuhan seakan memeluk dan melindunginya, memintanya tak lelah berjuang. Sejak semalam, Tara menguatkan diri. Membunuh hati, namun tak raganya. Walau sulit, Tara harus melakukan semuanya. Ia tak kan kalah dari wanita yang merebut suaminya, cintanya kuat untuk membawa lelaki itu kembali ke pangkuannya. Tara memutuskan untuk membersihkan diri dan menikmati masa cutinya. Ia mematut dirinya di cermin. Wajahnya tampak mengenaskan, ia menarik kedua sudut bibir, dan berusaha mengukir senyum yang sudah sejak lama tak pernah lagi ia rasakan ketulusannya saat dipamerkan. Hidupnya menjadi hampa karna kehilangan cinta. Tara menggeleng. “Kamu harus kuat!” ucapnya pada pantulan dirinya di cermin. Saat merasa sudah siap, Tara menyampirkan tas di bahunya, lalu berlalu pergi meninggalkan penginapan. Ia berjalan pelan menuju bibir pantai. Menatap samudera yang begitu luas. Ia membentangkan kedua tangan, memejamkan mata, dan menghirup udara dalam-dalam. Merasa begitu beruntung karna tak bertindak bodoh. Ia akan kehilangan kesempatan memperbaiki diri, menebus dosa, dan juga keindahan dunia jika mengakhiri hidupnya karna hati yang patah. Terlalu mencintai Abimanyu, membuatnya hampir lupa jika dirinya masih memiliki sejuta alasan untuk bersyukur dan berbahagia. Tara memutuskan untuk menyewa sepeda untuk menjelajahi pulau Tidung. Sepeda adalah satu alat transportasi utama di Pulau Tidung selain sepeda motor. Ia memilih sepeda karna akan mempermudahnya menjangkau spot-spot menarik yang terdapat di pulau yang memiliki panjang sekitar lima kilometer itu. “Saya jarang melihat seorang wanita menjelajahi pulau seorang diri. Biasanya rame-rame, sama pasangan, ataupun ikut paket wisata. Berlibur sendiri nggak merasa kesepian, Mbak?” tanya seorang wanita paruh baya, pemilik tempat penyewaan sepeda yang didatanginya. Tara tersenyum. Ia tak mungkin memberitahu wanita asing itu, jika dirinya sedang patah hati dan menginginkan waktu sendiri untuk menenangkan diri dan memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pernikahan yang akan segera berakhir itu? “Nggak semua wanita membutuhkan teman untuk berpetualang, Bu. Ada saatnya, seorang wanita membutuhkan waktu sendiri untuk menikmati hidup dan bersenang-senang,” Tara tersenyum ramah pada ibu tersebut. “Syukurlah ... Ibu takut, kalau kamu sedang patah hati makanya memilih berlibur sendiri.” Tara tertawa, menutupi kegundahan hatinya saat mendengar kata patah hati yang keluar dari mulut wanita paruh baya di hadapannya itu. “Kalau patah hati, harus banyak makan, Bu. Kata orang, dengan makan, kita bisa cepat tidur dan saat tertidur, kita bisa melarikan diri sejenak dari pahitnya kenyataan hidup.” “Wah ... kalau gitu, Ibu jadi pengen jadi Putri Tidur yang bisa melarikan diri dari kenyataan. Diingat-ingat, enak juga jadi orang yang bisa melupakan permasalahan dengan tidur.” Wanita paruh baya itu tergelak, “kalau ibu. Kadang tidur pun, masalah kebawa mimpi.” Tara tergelak melihat wanita di hadapannya. Andai saja, tidur adalah solusi mudah untuk melupakan segalanya, maka tak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin terbangun dan bertemu dengan hari esok. Nyatanya, mimpi tak selalu indah, ada kalanya menyeramkan dan masalah bisa mengikuti kita ke alam mimpi. Mau tak mau, kita memang harus bisa menerima apa yang terjadi. Sama seperti Tara yang tak mungkin bisa terus-terusan menghindar. “Saya juga sering bawa masalah ke alam mimpi, Bu.” “Aduh, Mbak ini bisa aja. Cantik dan enak diajak bicara. Pacar atau suaminya pasti betah banget sama Mbak, ya. Saya aja yang perempuan merasa asyik ngobrol sama Mbaknya.” Tara tersenyum tipis. Jika memang dirinya enak diajak bicara, mengapa Abimanyu tak lagi ingin mengobrol santai dengannya? Jika memang fakta itu benar, tak mungkin Abimanyu terus-terusan mendiamkan dirinya dan menganggapnya tak ada, bukan? Nyatanya, lelaki itu mulai bosan pada dirinya dan mencari apa yang tak didapatkannya pada wanita yang lebih muda darinya. Tara harus menelan pil kepahitan, jika memang dirinya tak lagi menarik. “Nggak kok, Bu. Biasa aja.” “Suka merendah lagi,” wanita itu terkekeh pelan, “oh ya, Mbak. Kalau capek naik sepeda keliling pulau, Mbak bisa nyobain snorkeling atau water sport. Banyak mainan yang Mbak bisa nikmati seperti banana boat, water sofa, dan banyak lagi. Dijamin pulang dari Pulau ini, Mbaknya langsung seger lagi, kayak habis dicas, baterenya penuh lagi.” “Makasih banyak, Bu atas refrensinya. Saya akan mencoba semuanya.” Ibu tersebut mengangguk-angguk dan membiarkan Tara pergi membawa salah satu sepedanya. Tara mengayuh sepeda, seakan kembali ke masa lalu. Dulu, dirinya dan Abimanyu suka kencan dengan bersepeda mengelilingi daerah Monas. Saat lelah, keduanya akan duduk di pinggir jalan sembari menikmati berbagai camilan yang mereka temui. Tawa bahagia akan menghiasi wajah mereka, tawa yang entah mengapa tak pernah lagi ada di wajah mereka. Tara menikmati pemandangan sembari merasakan hangatnya tiupan angin laut yang menyentuh wajahnya. Aneh, dulu dirinya menyukai kegiatan bersepeda dan tak pernah merasa sehampa ini. Mengapa sekarang rasanya begitu berbeda? Walau ia menemui gelak tawa dari banyak orang yang ada di sekitarnya, dirinya malah merasa sunyi sendiri. Ia tak mampu lagi menikmati hal-hal kecil yang dulu mampu menciptakan kebahagiaan pada hatinya. Apakah karna tak ada Abimanyu di sisinya? Sungguh hebat pengaruh lelaki itu pada hidupnya, membuat hal yang biasa menjadi luar biasa, dan membuatnya tak mampu lagi merasa. Tara menghentikan kayuhan sepedanya dan menatap kosong lautan di hadapannya. Ia tak mau lagi merasa semakin menyedihkan dengan melakukan hal yang tak lagi mampu membuat hatinya merasakan perasaan yang seperti dulu lagi. Tara tersenyum tipis, dirinya seakan tak bisa lepas dari cengkraman Abimanyu, cinta yang dimilikinya begitu besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD