Tara mengemaskan seluruh barang-barangnya. Setelah puas menikmati liburannya, ia memutuskan untuk kembali menghadapi kenyataan yang tak mungkin bisa dihindari. Siap tak siap, ia harus belajar menerima arti dari kehilangan dan juga melepaskan. Tara harus berdiri dan bangkit dari keterpurukan. Ia sudah memikirkan semuanya dan mempersiapkan diri jika memang harus melepas satu-satunya cinta yang ia sukai.
Perjalanan singkatnya mampu membuka pikiran Tara. Hidup terlalu indah untuk disia-siakan dan terlalu bodoh untuk tenggelam dalam kesedihan. Di sinilah Tara sekarang, setelah perjalanan pulang dari Pulau, ia hanya bisa mematung di depan rumah yang selama ini memberikan kehangatan bagi dirinya. Bangunan itu seakan tak lagi mau menyambut kedatangannya dan Tara mulai meragukan, betulkah ini tempatnya pulang?
Tara menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Ia masuk ke dalam rumah dan terkejut begitu menemukan Abimanyu duduk di ruang tamu dan menonton televisi. Tara mengingat-ingat hari, takut-takut patah hati mulai membuatnya pikun, hingga ia lupa jika hari ini sebenarnya adalah akhir pekan, di mana biasanya mereka berdua libur dari pekerjaan.
Hari Sabtu dan Minggu yang dulu kerap menjadi waktu favorit mereka, di hari-hari itulah keduanya bisa menghabiskan waktu lebih lama. Terkadang mereka mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, atau sekadar duduk menonton film-film yang mereka sukai. Mereka akan bercerita dan sesekali bercanda tawa. Sofa yang ditempati Abimanyu sekarang telah membingkai banyak kenangan di antara mereka.
Ada terlalu banyak cerita tentang mereka di rumah itu, di setiap sudutnya, dan setiap perabot yang mengisi tempat itu. Terlalu banyak, hingga Tara merasa pengkhiatan lelaki itu hanyalah ilusi semata. Hanya sebuah mimpi buruk yang menakutkan.
Tara berjalan melewati sofa yang ditempati Abimanyu. Ia tahu, jika lelaki itu mengetahui kepulangannya, akan tetapi, lelaki itu tak ingin menyapa ataupun menoleh ke arahnya. Tara hanya dianggap angin lalu. Mungkin, memang seperti itulah arti dirinya bagi Abimanyu. Tak lagi penting, bagai udara yang tak dapat dilihat, namun dirasakan kehadirannya.
Tara semakin mempercepat langkahnya. Dirinya akan menjadi cerminan lelaki itu, berusaha dingin dan mengabaikan persis seperti apa yang lelaki itu inginkan. Berpura-pura terdengar lebih masuk akal untuk menghadapi hubungan mereka yang sekarang. Tara menyusun kembali pakaiannya ke dalam lemari, mengemas oleh-oleh yang dibelinya untuk Eve, lalu membuka pakaiannya hendak membersihkan diri.
Suara pintu yang terbuka membuat Tara segera mengambil kembali pakaiannya dari lantai. Ia terkejut dan entah mengapa dirinya tak lagi ingin lelaki itu melihat tubuh polosnya. Lelaki itu terpaku di ambang pintu, menatap Tara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pandangan keduanya saling bertemu. Aneh, mengapa dulu orang yang terasa begitu dekat, mulai terasa asing. Ada jarak tak kasat mata yang memisahkan mereka. Orang yang dulu kerap memberikannya kenyamana, kini menjadi satu-satunya alasan rasa sesak yang kerap hadir merakusi bathinnya. Tara tak lagi mengenal lelaki itu. Mereka adalah dua orang yang tak ingin saling berdekatan, berlagak asing, dan tak lagi ingin bersama.
“Untuk apa kamu menutupi tubuhmu seperti itu?” tanya Abimanyu memecahkan keheningan di antara mereka. Tara segera menyambar handuk yang tadi dibuangnya ke tempat tidur dan melilitkannya pada tubuhnya.
Tanpa menjawab Tara hendak segera meninggalkan lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi, akan tetapi lelaki itu dengan cepat mencengkram pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya. Jantung Tara berhenti berdebar, lalu berdegub liar. Ia tak mampu mengontrol hatinya sendiri yang tak bisa melupakan lelaki itu.
“Apa alasanmu marah padaku, Tara?”
Tara tersenyum tipis tanpa menoleh pada lelaki itu saat mendengarkan pertanyaan konyol yang keluar dari mulut lelaki itu. Apa pedulinya lelaki itu akan perasaan dan suasana hatinya? Mengapa kini, ia menanyakan alasannya merasa marah? Lelaki itu sungguh pandai berpura-pura, Tara akan merasa sulit mengimbangi akting lelaki yang seharusnya mendapatkan nominasi sebagai aktor terbaiak se-Indonesia.
“Lepaskan tanganku, Mas. Aku mau mandi,” Tara menghempaskan kasar tangan lelaki itu.
Tara segera berlari ke kamar mandi dan menyembunyikan dirinya di sana. Ia tak mau lelaki itu melihat kesedihan yang seharusnya tak ada di wajahnya. Dirinya tak seharusnya memperlihatkan kelemahannya dan sudah semestinya lelaki itu terus menjauh. Jika tak ada lagi jalan untuk kembali bersama, lelaki itu tak perlu sok bersikap baik hanya untuk mendapatkan sesuatu darinya. Tara tak lagi bisa mempercayai Abimanyu dan kebaikan lelaki itu tak lagi terasa benar seperti dulu. Apa yang ada di antara mereka hanyalah ilusi.
Tara segera menghidupkan shower dan berjongkok di bawah guyuerannya, ia hendak menyamarkan isak tangisnya. Hatinya pedih. Walau dirinya mencoba untuk tegar dan terus maju, akan tetapi tak semudah itu. Melihat wajah Abimanyu membuat Tara kembali lemah. Ia tak dapat membayangkan bagaiman bisa lelaki itu kuat berakting seakan semuanya baik-baik saja, saat tak ada lagi perasaan yang tertinggal untuknya. Lelaki itu memang mahir berpura-pura, mengabaikannya, pura-pura sibuk, dan selalu terlihat tak ada masalah.
Air mata Tara mengalir semakin deras karna rasa pedih yang berkecambuk di hatinya. Berulang kali ia memukul-mukul pelan dadanya, berharap sesak dapat berkurang. Tara menutup mulut dengan kedua tangannya, hendak mengurangi isak tangis pilunya agar tak dapat didengar oleh Abimanyu yang mungkin kini masih berada di kamar mereka.
“Kenapa kamu bisa meninggalkan cinta kita, Mas?”
Menit demi menit telah berlalu. Tara terperanjak begitu menemukan Abimanyu yang duduk di tepi ranjang, masih menantinya sembari memainkan ponsel. Lelaki itu segera meletakkan ponsel di tempat tidur begitu melihat kehadiran Tara. Tara menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, mencoba menguatkan hatinya sendiri.
Tara memasang wajah datar dan berjalan ke arah meja rias, duduk di sana dan mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Mata Abimanyu terus mengikuti gerak-geriknya, akan tetapi Tara mulai belajar untuk tak terpengaruh, walau hatinya tak demikian.
“Di mana buku nikah kita? Aku sudah mencarinya di mana-mana, tapi nggak bisa menemukannya,” ucap Abimanyu dengan putus asa, sedang Tara tersenyum tipis. Kini, Tara mulai bisa mengerti Abimanyu yang baru. Lelaki itu hendak cepat-cepat pergi darinya.
“Aku pikir, Mas sudah menemukannya,” ucap Tara berusaha santai, “ah ya ... aku lupa. Mas saja sulit menemukan pakaian kesukaan Mas. Mas terlalu bergantung padaku. Mungkin, ini saatnya untuk mulai memperhatikan apa yang ada di rumah ini, agar Mas bisa lebih mandiri,” lanjut Tara tanpa melirik ke arah Abimanyu. Ia menyisir rambut basahnya dan berusaha mengabaikan keberadaan lelaki yang kerap memperlakukannya demikian.
Abimanyu segera berdiri dan mengambil tempat di samping Tara. Wanita itu tersenyum pada pantulan wajah lelaki itu di cermin besar depan mereka. Abimanyu meneliti wajah wanita yang selama ini tak pernah sekalipun terlihat dingin. Ia terperanjat, tak menyangka Tara bisa bersikap sok mandiri dan seakan tak ingin didekati olehnya.
“Aku perlu buku nikah kita untuk meng-update data pribadi, Tara. Pihak HR meminta semua orang mengumpulkannya,” Abimanyu mencoba menjelaskan.
Sesungguhnya, ada ketakutan yang menyelimuti hati Tara, akan tetapi ia tak bisa terus memaksa. Perlahan, saat hatinya sudah siap, ia akan menghadapi lelaki itu dengan berani. Akan ada saat di mana bibirnya tak kan bergetar karna menahan gejolak di dadanya.
“Akan kuambilkan,” ucap Tara seraya berjalan ke arah lemari baju mereka, membuka laci yang ada di sana, lalu mengeluarkan apa yang dicar-cari Abimanyu.
Tara dapat melihat kedua mata lelaki itu berbinar senang melihat dua buku nikah yang diulurkan Tara olehnya. Entah disebut apa hubungan mereka ini. Lelaki itu bukan menanyakan kabar ataupun ke dirinya menghilang beberapa hari ini, lelaki itu malah menanyakan hal yang seharusnya ditanyakan pada orang yang sudah lama tak kau temui.
“Makasih, Tara.”
Tara tersenyum, mengangguk sekilas. Sedetik kemudian, Abimanyu berlari pelan meninggalkan Tara sendiri. Tara terduduk lemas di ranjang kosong mereka yang terasa begitu dingin. Inilah dirinya, istri yang tak lagi diinginkan.