Cinta tak selalu tentang kata-kata indah. Mulut bisa mengatakan banyak hal indah, akan tetapi semua itu tak bermakna jika hanya sekadar omong kosong yang akan menghilang tertiup angin begitu keluat dari mulut kita. Cinta seperti itu yang kini Tara rasakan. Cinta lelaki itu, tak lagi sehangat mentari, debaran jantungnya tak lagi semerdu simfoni yang menghanyutkan. Tara bertanya-tanya mengapa lelaki itu selalu marah bila ditanya dan tak sudah berada di dekatnya.
“Jadi ... kamu akan lembur lagi malam ini, Mas?”
Lelaki itu mengangguk sekilas sembari mencari pakaian gantinya di lemari kamar mereka. Tara berjalan mendekat, ikut mencari di antara pakaian lelaki itu. “Kamu mencari pakaian yang seperti apa, Mas?” tanyanya menoleh pada Abimanyu sekilas.
“Kemeja yang kamu hadiahkan di ulang tahun ke tiga puluhku. Kamu tahu di mana kemeja itu?” Abimanyu tak menghentikan gerakannya menyingkirkan pakaian demi pakaian yang ada di sana. Tara tersenyum, ia menghapal dengan benar di mana letak pakaian lelaki itu, sedetik kemudian ia menemukan pakaian yang lelaki itu cari, lalu mengulurkannya.
“Kemeja yang ini?”
Abimanyu mengangguk, lalu segera menyambarnya. Tara kembali duduk di tepi tempat tidur dan mengamati suaminya dalam diam. Mereka sudah menikah selama lima tahun, namun setahun ini lelaki itu mulai menunjukkan perubahan. Entah dirinya yang hanya perasa atau memang cinta telah memudar, hingga lelaki itu sudah jarang menyentuhnya. Sebulan sekali itu sudah angkat yang cukup banyak. Aneh, entah mengapa pernikahan yang tadi terlihat baik-baik saja, mulai terasa ganjal. Ia mempercayai lelaki itu, meski instingnya terus berkata jika ada sesuatu yang dalam dalam hubungan mereka. Sesuatu telah terjadi, namun Tara tak tahu apa itu.
“Tadi malam, kamu nggak pulang juga bukan, Mas?”
Abimanyu mengangguk sembari mengenakan kemejanya. “Aku menginap di kantor dan pulang pagi-pagi sekali hanya untuk berganti pakaian. Aku harus mengaudit cabang kami di Surabaya, aku harus memeriksa semua berkas yang masuk ke ruang audit.”
Tara mengangguk mengerti. Kini, lelaki itu jauh lebih sibuk dari sebelumnya, tak ada waktu sama sekali untuk sakadar berbagi cerita, tak juga untuk makan bersama. Jelas-jelas dirinya diabaikan, namun Tara masih begitu mempercayai Abimanyu.
“Aku akan menyiapkan sarapanmu, Mas,” ucap Tara seraya berdiri.
Abimanyu menggeleng. “Aku akan sarapan di kantor.” lelaki itu terlihat begitu ingin cepat-cepat pergi darinya, terlihat begitu tersiksa bila mereka bersama. Setahun sudah Tara menjalani pernikahan yang pelik ini. Terlihat bagai dua orang yang terpaksa bersama.
“Kamu nggak mengantarku lagi ke kantor?” tanya Tara sembari mengekor di belakang Abimanyu. Dirinya sedari tadi sudah siap berpakaian, namun Abimanyu yang kini lebih banyak bersolek. Memakan waktu lebih lama darinya untuk bersiap ke kantor.
Lelaki itu terlalu memperhatikan penampilannya, ingin tampil lebih tampan, ia bahkan mulai rutin ke gym untuk membentuk tubuhnya. Padahal, dulu Tara pernah mengajak lelaki itu bersama-sama untuk mendaftar di salah satu pusat fitness, namun dengan keras lelaki itu menolak. Alasannya sibuk dan ia ingin segera beristirahat begitu sampai di rumah. Oleh karna itu, Tara yang pergi ke gym seorang diri. Akan tetapi, sekarang Abimanyu sudah mendaftar di tempat fitness yang berbeda dari tempat langganannya. Tara mengetahuinya karna tak sengaja menemukan kartu member di dalam saku celana pria itu. Tara hanya bisa tersenyum miris dan tak menanyakan alasan di balik lelaki itu tak memberitahukannya hal sesederhana itu
“Untuk apa kamu punya mobil kalau nggak digunakan, Tara? Lebih baik dijual aja,” ucap Abimanyu datar tanpa menoleh Tara yang berjalan mengikutinya dari belakang.
Tara tersenyum lirih. Padahal, dulu lelaki itu suka mengantar dan menjemputnya meski mereka masing-masing memiliki mobil sendiri. Akan tetapi, setahun belakangan ini, Abimanyu selalu menyuruh Tara pergi sendiri dengan banyak alasan. Mulai dari rapat, mau langsung mampir ke cabang, dan banyak alasan tak masuk akal lainnya. Hingga Tara mulai lelah bertanya dan meminta, ia memutuskan kembali menjadi wanita mandiri yang tak mau menggantung diri dengan seorang lelaki, meski lelaki itu adalah suaminya sendiri yang seharusnya mau menjaga dan memperlakukannya bak ratu. Lagi-lagi Tara membenci isnting kewanitaannya yang mengatakan ada yang tak beres dengan pernikahan mereka. Ia mempercayai Abimanyu dengan seluruh jiwanya, hingga ia tak ‘kan terkecoh dengan pemikirannya sendiri.
“Aku hanya rindu pergi kerja bersamamu. Menyetel radio, bernyanyi bersama, dan sesekali bercanda tawa di dalam perjalanan kita,” ucapan Tara membuat langkah Abimanyu terhenti.
“Apa kamu tahu, ke mana semua kenangan itu pergi, Mas? Ke mana semua kebahagiaan yang kerap mewarnai kebersamaan kita? Aku rasa, aku telah menghilangkannya.”
Abimanyu membalik tubuh dan menatap Tara penuh amarah. “Aku hanya nggak mau pergi bersamamu dan kamu mulai mendramatisir keadaan?” ia menatap wanita di hadapannya tak percaya. Tara dapat melihat kilatan amarah di dalam sepasang netra di hadapannya.
“Aku nggak bermaksud mendramatisir keadaan, Mas.” Tara tersenyum masa, “aku hanya heran, kenapa sekarang kita semakin menjauh? Jika aku ada salah, katakan saja, Mas.”
“Kau memang konyol!” teriak lelaki itu. Tara tak mengerti akan amarah yang tak berusaha lelaki itu sembunyikan darinya. Apa pertanyaannya memang terdengar begitu konyol?
“Di mana letak kekoyolannya, Mas? Aku mencintaimu dan kamu tahu itu, kan?” Tara menangkup wajah lelaki itu dengan kedua tangannya, namun apa yang diperbuatnya tak mampu menurunkan sedikit emosi lelaki itu. Abimanyu malah mengempas kasar tangannya.
“Mengajakku berantem di pagi hari seperti ini nggak terdengar konyol bagimu?” lelaki itu menatap Tara tajam, “aku pikir, memang otakmu yang bermasalah!”
Tara mematung. Lima tahun sudah mereka menikah dan tak pernah sekalipun lelaki itu kasar padanya. Tak juga berani membentaknya, namun Abimanyu yang sekarang dikenalnya bukanlah lelaki yang dinikahinya lima tahun lalu. Tara seakan bersama dengan lelaki asing yang benar-benar tak dikenalinya. Berulang kali Tara berpikir dan tak menemukan alasan apa pun yang membuat hubungan di antara mereka memburuk. Tara tak tahu mengapa harus ada jarak di antara dua hati yang saling mencinta, kedua tubuh yang berdekatan, atau memang sejak awal tak pernah ada cinta? Hanya dirinya sendiri yang terbuai dalam kebahagiaan semua yang disebut—cinta bertepuk sebelah tangan. Semuanya begitu sulit Tara terima.
Tara segera mengejar langkah lelaki itu dan mencengkram pergelangan tangannya. “Kamu berubah, Mas.” Wanita itu meneliti sepasang mata di hadapannya, tak ada lagi kehangatan, Tara hanya melihat kekosongan di sana, bagai tengah menatap mata milik boneka. Kosong.
Perlahan Tara mengendorkan cengkraman tangannya. “Kamu yang berubah, Tara!” lelaki itu segera berlalu pergi meninggalkannya.
Mendadak kaki Tara terasa lemas, ia terkulai di lantai. Pikirannya mulai sibuk memikirkan berbagai hal yang tak dimengertinya. Apakah benar jika dirinya yang telah berubah, hingga lelaki itu menjauh darinya? Atau memang perasaan terlalu rapuh, hingga tak ada jaminan apa pun yang berani mempertanggung jawabkannya. Nyatanya, cinta bukanlah perasaan abadi yang tak ‘kan hilang dimakan waktu. Rasa yang banyak diangung-agungkan orang itu dapat berubah dan juga menghilang dari hati. Dirinya, adalah bukti nyata, di mana tak ada keabadian dalam cinta. Tara menipu dirinya sendiri dengan mengatakan hubungan mereka baik-baik saja.
Sikap tak acuh lelaki itu membuatnya semakin yakin jika cintanya tak diinginkan. Dirinya tak lagi dianggap dan luka di hatinya menganga semakin lebar. Sesakit inikah cinta?