Sebuah Video
“Tunggu ... ini mirip jam tangan papa.” Angga berbicara seorang diri. Matanya membulat sempurna saat melihat jam tangan yang mirip dengan milik papanya di sebuah video di i********:.
Saat berselancar di media sosial ia tak sengaja melihat sebuah video pernikahan dengan nuansa tak terlalu mewah, tapi cukup membuat dua mempelai merasa bahagia. Awalnya hanya karena iseng menonton dan mengabaikannya. Namun, tiba-tiba fokus Angga hanya terlihat pada jam tangan itu, juga jari-jari berwarna putih yang terdapat beberapa bulu halus di bagiannya.
Video itu berasal dari t****k, yang kemudian diunggah di i********: oleh akun bernama Selly Anggraini.
[Love you till the end.]
Begitu caption yang ditulis oleh akun Selly yang dilihat oleh Angga. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu awalnya mengabaikan video itu, karena menurutnya sudah hal yang lumrah zaman sekarang semua hal diposting di sosial media.
Namun, hatinya terlalu cemas untuk membiarkan pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya melebur begitu saja. Hingga ia memutuskan untuk memutar ulang video itu dan kembali melihat benda yang tak asing dilihatnya setiap hari.
“Ah, come on ... itu nggak mungkin papa.” Angga berkata lirih pada diri sendiri. Ia menggeleng kuat untuk meyakinkan diri bahwa papanya bukan tipe lelaki yang menjual kepercayaan anak istrinya untuk perempuan lain di luar sana.
“Papa sama mama baik-baik aja selama ini. Gue sama adik-adik juga dekat sama papa kayak biasa. Fix lah, pasti orang lain.”
Angga terus meyakinkan diri bahwa memang tak ada celah dan alasan untuk papanya mendua. Hubungan mama dan papa selalu manis dan romantis meski umur mereka tak lagi muda. Bahkan Inaya yang usianya sudah kelas dua Sekolah Dasar masih sering meminta digendong papa, anak itu memang semanja itu dengan papa.
“Putar lagi, guenya yang agak pusing kali ya abis belajar,” ucap Angga seorang diri.
Spontan ia duduk di kasurnya dari posisi yang tadinya berbaring. Ia memutar berkali-kali video itu dan melihat dengan jelas jam tangan yang dipakai lelaki dalam video itu persis seperti milik papanya.
“Ga, papa beli jam baru. Ini limited edition.” Angga bahkan masih ingat saat papanya dengan bahagia menunjukkan jam tangan baru yang dibelinya saat perjalanan bisnis ke luar negeri.
Dalam video itu, ada seorang perempuan dalam balutan baju pengantin dengan wajah menoleh ke samping tersenyum bahagia. Ia melingkarkan sebelah tangan ke pinggang sang suami dari belakang.
Sementara sang lelaki tak terlihat wajah aslinya, bahkan kepalanya. Hanya tangan yang diangkat sedikit ke atas dengan posisi membelakangi. Tangan yang memperlihatkan cincin di jarinya, dan tangan si istri di bawah posisi tangannya. Angga tak mengenalnya, hanya saja jam tangan yang melingkar di tangan lelaki itu sangat dikenali Angga.
Debar dalam jantung Angga kian bertalu kala ia menscreenshoot layar dan memperbesar gambar itu. Benar. Itu arloji yang setiap hari dipakai oleh papanya.
Berbagai firasat buruk di terus merajai hatinya. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan di benak Angga sekarang adalah apa benar itu papanya? Kenapa papanya ada di video itu, dan siapa wanita yang memeluknya begitu erat?
Tentu bukan mamanya, karena sang mama tak memiliki postur tubuh setinggi itu. Wanita dalam video itu memiliki postur tubuh yang tinggi dengan badan yang langsing, kulit sangat putih dan pakaian nikahnya sedikit terbuka tanpa jilbab.
Nindita, mama Angga memang tak gemuk, tapi juga tak lagi langsing seperti dulu. Wajar karena perempuan itu sudah melahirkan tiga orang anak yaitu, Angga dan dua adiknya yang bernama Khanza dan Inaya. Wajah Nindita tirus dan perawakannya mungil, bahkan Angga lebih tinggi darinya. Kulitnya kuning langsat, tak seputih seperti perempuan di video itu.
Nindita juga tak pernah memakai pakaian terbuka seperti itu, ia masih sangat cantik dengan selalu memakai kerudung di kepalanya. Apalagi ia memang tak suka bermain sosial media.
Angga terdiam seorang diri, detik itu juga pikiran buruk menghantuinya. Ada ketakutan yang tak bisa dijelaskan yang tiba-tiba hinggap dalam dadanya. Dua hari yang lalu, papanya memang izin untuk pergi ke luar kota untuk alasan pekerjaan untuk waktu satu minggu. Ditempatkan di posisi yang penting di perusahaan ia bekerja, membuatnya kerap kali harus lembur atau melakukan meeting di luar kota. Seperti sekarang ini, sudah dua hari ia tak pulang ke rumah. Nindita dan anak-anaknya sudah sangat mengerti, meski seringkali si bungsu Inaya menangis saat papanya pergi.
“Gue harus tanya ke papa.” Remaja kelas dua SMA itu terus bermonolog.
Angga langsung mencari nomor papanya dan melakukan panggilan. Mungkin lelaki berusia empat puluh lima tahun itu sudah tertidur, tapi Angga tak peduli itu. Ia tak bisa tidur jika belum mendengar dari papanya sendiri.
Meskipun yang dirasakan Angga hanya sebuah firasat buruk, tetap saja ia butuh penjelasan. Firasat buruk itu semakin menjadi-jadi ketika satu panggilan tak dijawab oleh Bima.
“Nggak, gue harus liat papa langsung. Kalau memang dia lagi sama perempuan lain, mungkin akan ketahuan.” Masih saja Angga dengan keresahannya. Ia menutup panggilan suara dan melakukan panggilan video call.
Sekali.
Dua kali.
Angga bahkan menggenggam erat ponselnya, merasa geram karena Bima tak kunjung mengangkat panggilan video call darinya.
“Angkat, Pa ... angkat!” Ia terus berkata lirih.
Angga menarik napas lega saat Bima menerima panggilannya. Ia ingin menyerbu dengan pertanyaan, tapi entah mengapa mulutnya terkunci. Tenggorokan tercekat rapat hanya untuk bertanya siapa lelaki dan perempuan di video itu.
“Ada apa nih telepon papa malam-malam?” tanya Bima dengan tenang.
Angga berpikir sejenak, ia bingung harus menjawab apa, karena jika tak ada hal yang mendesak ia tak pernah menghubungi papanya di malam hari. Biasanya juga mama sudah menelepon setiap malam, atau mereka akan ngobrol bersama-sama sambil menonton televisi.
“Kangen, Pa.” Angga akhirnya memberi alasan. Alasan yang sama sekali tak masuk akal.
“Kan baru dua hari, Ga.”
“Emang nggak boleh kangen?” tanya Angga lagi masih menyembunyikan apa yang sebenarnya ingin ditanyakan. Hatinya sungguh tak tenang dan terus bertanya-tanya tentang apa yang baru saja dilihatnya. Ia tak ingin percaya, tapi ada sesuatu yang membuat keyakinannya terasa kuat.
Hubungan Angga dan papanya memang sangat hangat, layaknya keluarga impian. Jadi, ia tak ingin merusak hubungan itu hanya karena spekulasi yang belum jelas.
“Boleh, tapi kok tumben telepon malam-malam? Tadi kan mama udah telepon,” kata Bima.
“Iya, tadi Angga di kamar, sibuk ngerjain PR makanya nggak turun ke bawah,” ujar Angga lagi.
“Pa ...,” panggil Angga.
“Ya?”
“Rambut papa kok acak-acakan banget, nggak kayak biasanya.” Angga bertanya kejanggalan yang ia lihat. Ia menaruh rasa curiga dan ketakutan yang semakin besar.
Bima terlihat mengenakan kaus berwarna putih. Rambutnya terlihat acak-acakan berbeda dari biasanya.
“Papa capek, tadi tiduran, terus dengar suara telepon dan papa kebangun.”
Angga kembali menatap papanya. Biasanya saat bangun tidur saja rambut Bima tak pernah terlihat seperti itu kusutnya. Lelaki berusia tujuh belas tahun itu kembali menatap Bima, ia melihat kaus yang dipakai papanya juga terbalik. Itu terlihat seperti bukan papanya yang selalu rapi.
“Owh.” Hanya itu yang ditanggapi Angga. Melihat papanya malam ini sangat aneh di matanya membuat Angga tak puas dan terus bertanya dalam hatinya.
“Tidur, Ga. Besok Senin.” Bima berkata lagi. Jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas, tidur lebih awal dan bangun lebih awal tentu akan menjadi kebiasaan yang baik. Selama ini Bima selalu mengajarkan anak-anaknya seperti itu.
“Iya, Pa.”
Angga mengangguk. Ia tak jadi bertanya tentang apa yang baru saja bersarang dalam hatinya. Ia berpikir, tak mungkin papanya yang sangat harmonis dengan keluarga itu melakukan kecurangan di belakang mama. Tidak mungkin. Ia sendiri melihat mama dan papa selalu romantis meski umur mereka sudah tak lagi muda.
Jika pun ingin bertanya, biarkan nanti saat papanya pulang dan bertanya secara langsung. Angga hanya melihat jam tangan papanya di video itu, bukan wajah lelaki itu. Bisa jadi itu bukan arloji limited edition seperti yang dikatakan papanya. Bisa jadi banyak juga orang memilikinya dengan beranggapan bahwa itu adalah limited edition.
“Sayang, masih lama ya? Ini malam yang kita tunggu.”
Baru saja Angga ingin mematikan sambungan telepon, tiba-tiba ia mendengar suara seorang perempuan. Manja, dan itu terdengar menjijikkan di telinga Angga.
Bima sempat menoleh ke belakang. Lalu, kembali menatap layar ponsel dengan wajah ketakutan. Namun, setelah itu Bima tersenyum pada Angga dan mengucapkan salam.
“Siapa itu, Pa?” tanya Angga. Namun, sayang panggilan langsung dimatikan oleh Bima. Sementara Angga masih bertanya dan berteriak tertahan, “Pa, jawab! Siapa itu?”
Angga melempar ponsel ke kasur dengan kasar. Lalu, memijit keningnya yang terasa berdenyut. Semua hal yang terjadi dan yang ia lihat malam ini benar-benar membuatnya sakit kepala.
Angga terpaku di tempat tidurnya. Bahkan ia belum menjawab salam dari papanya. Hati lelaki remaja itu terus bertanya, terus ragu pada papanya, lalu yakin bahwa papanya orang baik. Ragu. Takut. Yakin. Tiga rasa itu berperang dalam pikirannya.
Angga tak mungkin salah mendengar. Suara manja itu begitu nyata. Suara itu berhasil membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia terus saja membalikkan badannya ke sana sini, lalu mengecek ponselnya kembali. Kemudian pikirannya terus kalut dipenuhi pertanyaan untuk papanya. Terus seperti itu hingga pukul dua pagi hari, lelaki itu belum bisa terpejam sedetik pun.