Luci dan Darma mematung di depan sebuah ruangan serba putih tempat Elea terbaring koma. Mata wanita berusia empat puluh satu tahun itu sembap. Tanda bahwa dia terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Darma tak jauh berbeda, meski dia kelihatan lebih tegar, tetap tidak bisa menutupi raut kesedihan di mimik wajah tua itu.
Mereka tidak pernah menyangka hal itu akan menimpa Elea. Putri semata wayang mereka.
Selama ini Darma bekerja sebagai salah satu buruh pabrik tekstil. Sedangkan Luci membuka jasa cuci dan setrika baju di rumah. Meski bukan orang kaya, tetapi penghasilan mereka cukup untuk menyekolahkan Elea di sekolah elite. Sebab putri mereka termasuk salah satu siswi berprestasi yang selalu masuk dalam tiga besar tiap semesternya. Sesuatu yang sangat membanggakan dan membuat pasangan suami istri itu semakin giat bekerja.
Kini, putri kesayangan itu sedang koma. Biaya perawatan terus berjalan sementara penghasilan mereka tidak mencukupi. Untuk saat ini masih bisa ditanggulangi karena ada bantuan dari pihak sekolah, juga dana dari hasil penggalangan yang diadakan oleh teman-teman Elea. Namun.., bagaimana jika Elea tidak bangun dalam waktu lama. Tiap detik yang berlaku saat ini bagai anak panah menusuk jantung.
Darma dan Luci harus berpikir lagi bagaimana mereka mencari uang dengan jumlah fantastis secara terus menerus. Sementara upah dari buruh pabrik tidak terlalu besar. Jasa cuci baju juga beberapa hari ini terhenti dikarenakan Lusi lebih sering melihat Alea di rumah sakit.
“Pa, kita harus bagaimana?” tanya Luci pada suaminya. Selalu itu yang Luci katakan pada Sang suami. Bukan maksud memberi tekanan pada suaminya. Iapun tahu bagaimana resahnya Darma.
Tidak ada kejelasan dari dokter kapan Elea akan bangun dari koma. Jadi mereka tidak bisa memprediksi uang yang harus mereka siapkan.
“Mau bagaimana lagi, kita jual saja rumah kita. Papa nggak tega liat Elea terbaring lemah seperti ini,” sahut Darma.
“Tapi mereka cuma mau bayar tujuh puluh lima juta. Itu jauh di bawah pasaran.”
Ya, orang yang menawar rumah mereka tidak mau menambah harga. Sedangkan tidak ada pembeli lain. Mereka juga sangat membutuhkan uang tersebut.
“Jadi, apa kita punya pilihan lain untuk saat ini?” Darma balik bertanya.
Kini Luci diam. Suaminya itu benar, mereka tidak punya pilihan lain selain menjual rumah yang selama ini mereka tinggali dengan harga murah.
Air mata kembali mengalir di pipi Luci. Dia sama sekali tidak punya jalan keluar. Selain itu mereka juga tidak punya sanak keluarga untuk dimintai tolong. Tetangga-tetangga mereka juga ekonominya tidak jauh berbeda.
Saat mereka sedang dilanda kebingungan, beberapa teman Elea datang menjenguk. Tidak lain adalah Renaldi, Putri, Rury dan Ayu.
“Tante!” Mereka langsung menyalami Darma dan Luci saat melihat keduanya sedang duduk termangu.
“Bagaimana keadaan Elea, Tan?” tanya Rury.
Lusi menggeleng. “Dokter bilang Elea koma, nggak tahu kapan bisa siuman. Hiks ....”
Luci tidak bisa lagi menahan air mata.
Rinaldi dan yang lain hanya bisa saling pandang. Mereka juga tidak tau cara menghibur dua orang tua Elea. Sebagai teman, mereka bisa ikut merasakan kesedihan Luci dan Darma. Tetapi untuk memberi bantuan lebih jauh pun mereka tidak bisa.
Rinaldi menoleh, melihat tubuh Elea dari balik kaca tembus pandang yang ada di pintu. Tubuh kekasihnya itu terbaring lemah dengan beberapa alat menempel di badan juga selang masuk ke tenggorokannya. Dalam hati dia menyesali apa yang terjadi.
Pemuda itu sudah tahu apa motif Alika melakukan hal tersebut pada Elea. Semua itu ada hubungan dengan dirinya karena ternyata selama ini Alika menyukainya. Rinaldi menyesali dan merasa bersalah untuk itu. Meski sesungguhnya ia tak pernah mengharapkan hal ini.
“Lalu temen kalian itu gimana?” tanya Darma menanyakan tentang Alika. Dia juga sudah tahu pelaku yang menyebabkan Elea koma saat ini. Pihak sekolah sama sekali tidak menutupi yang sebenarnya meski akan mempermalukan nama baik sekolah. Tindakan seperti itu sudah tidak bisa ditolerir lagi dan pasti sudah masih tindakan kriminal.
“Alika di DO, Om. Dia juga lagi menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Takutnya dia memang punya kepribadian yang terguncang. Masa iya tega ngebunuh temennya Sendiri. Kalo orang normal, mana mungkin,” tutur Ayu mengungkapkan apa yang dia pikirkan. Gadis itu nampak sangat kesal.
“Om sama Tante fokus aja sama Elea, ya. Urusan Alika udah ditangani pihak sekolah. Orang tuanya juga kayaknya bolak-balik ke kantor polisi,” imbuh Rinaldi meyakinkan. Dia tidak mau Luci dan Darma terlalu memikirkan banyak hal. Sedangkan di sini ada Elea yang lebih membutuhkan uluran kasih sayang dari orang tuanya.
Darma mengangguk. Sudah tiga hari ini dia tidak masuk kerja. Untung saja mandornya sangat pengertian dan memberi waktu cuti untuk menjaga Elea.
“Ya udah, Om, Tante. Kalo gitu kita pulang ya? Besok-besok kita ke sini lagi. Kalo Elea udah sadar tolong kasih tau kita ya, Tan?”
Keempat orang itu pamit pulang. Mereka pikir percuma terlalu lama berada di sana karena sang teman pun belum sadar. Mereka berniat akan kembali menjenguk saat Elea sudah sadar nanti.
***
“Di, Lo yakin si Alika itu normal?” tanya Putri saat di perjalanan pulang.
Rinaldi menautkan kedua alis mendapat pertanyaan seperti itu. “Maksud Lo?”
“Ya, kali menurut gue Alika itu punya gangguan jiwa, deh. Kalian pikir aja, dengan santainya dia nunjukin pisau yang dia gunakan untuk ngancam Elea. Gila, nggak tuh?”
“Oh iya, bahkan itu pisau dia pinjam sama mamang bakso depan kantin kita,” timpal Ayu membenarkan ucapan Putri. Sejak itu sekolah tak lagi tenang. Mereka berlomba mencari fakta meski sekolah sebenarnya meminta mereka untuk tenang.
“Tapi orang tuanya bilang Alika itu sehat dan normal,” sela Rury.
“Memangnya mereka pernah bawa Alika ke psikiater? Nggak kan?” Putri masih kekeh menganggap bahwa Alika mengidap gangguan jiwa.
Rinaldi diam saja mendengar perseteruan ketiga gadis di sampingnya. Mungkin hanya dia yang menganggap kalau Alika itu bukan gila, tetapi dia terlalu terobsesi dengan rasa cinta pada seorang pria, tidak lain adalah dirinya sendiri.
“Gue nggak tega banget liat Elea,” celetuk Rinaldi tiba-tiba. Dia sangat menyayangi kekasihnya itu.
Elea yang polos dan apa adanya membuat dia selalu kepikiran dengan gadis yang baru tiga bulan menjadi pacarnya tersebut.
Putri, Rury dan Ayu terdiam. Mereka juga mana mungkin tega melihat Elea yang biasanya ceria kini hanya terbaring tanpa bisa melakukan apa-apa di brankar rumah sakit. Apalagi dokter tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar. Tentu akan menjadi beban berat bagi orang tuanya.
“Kalian tau nggak? Gara-gara perbuatan Alika yang menjijikkan ini, peringkat sekolah kita di nasional menurun drastis.” Rury yang tidak pernah ketinggalan berita memberi tahu informasi yang dia dapatkan dari orang tuanya yang bekerja sebagai salah satu staf kementerian pendidikan.
Yang lain tidak menjawab. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Padahal selama ini sekolah mereka adalah sekolah yang paling direkomendasikan dengan akreditasi terbaik. Tetapi ini semua hancur karena perbuatan salah satu siswa. Pihak sekolah juga tidak bisa menghentikan kabar-kabar yang beredar di masyarakat luas. Kini mereka sedang fokus menuntaskan masalah yang menimpa Elea. Lalu membuat efek jera pada Alika dengan bantuan pihak berwajib. Dengan begitu, semoga saja kepercayaan masyarakat yang sempat luntur pada lembaga pendidikan terobati.