Lea merengut dan menyentuh bibirnya yang terasa kebas. Entah sudah berapa lama dirinya mendapatkan pelatihan tak berguna dan tak bermoral dari Leon. Mata Lea mulai terasa basah, ia benar-benar merasa tersiksa. Terhitung hampir satu minggu dirinya tinggal di kamar mewah yang sama sekali tak boleh ia tinggalkan. Dirinya terkurung dalam sangakar emas, bak burung cantik yang dipatahkan kedua sayapnya.
Jujur saja, bukannya Lea tidak memikirkan cara untuk melarikan diri dan menerima semua ini dengan lapang d**a. Tapi inilah rencana Lea. Untuk sementara, Lea akan terus bersikap seperti penurut sembari mengumpulkan informasi dan mengumpulkan dana untuk melarikan diri dari sangkar emas ini. Sedikit banyak, kini Lea tahu di mana dirinya berada. Ternyata Leon adalah seorang pengusaha kaya raya dari Italia. Ya, kini Lea tengah berada di negara Itali.
Negara dengan sejuta pesona yang eksotis. Lea sendiri tidak terlalu tahu mengenai negara ini. Benar, Lea tidak familiar dengan negara ini. Bahkan Lea tidak berpikir jika dirinya akan bisa menginjakkan kaki di negara ini. Lebih tepatnya Lea tidak pernah bermimpi untuk pergi jauh dari tanah kelahirannya. Apalagi Lea tiba di sini karena sebuah insiden yang tidak mengenakan.
Lea menghela napas. Terlepas dari semua itu, kini Lea tengah meratapi hidupnya. Dari pagi hingga sore, dari tidur hingga makan, semuanya harus dilakukan di dalam kamar. Parahnya lagi, Lea tidak dibiarkan bernapas lega karena Leon selalu saja datang untuk mengganggu Lea dengan segala macam tingkahnya yang m***m dan kurang ajar. Sungguh, Lea penasaran. Apa isi kepala pria itu hanya diisi dengan hal-hal m***m dan hal yang tidak berguna saja?
Seperti saaat ini. Pagi-pagi Leon membangunkan Lea. Dan secara langsung menemani sarapan serta segera mengajari Lea bahasa Italia, yang rumit. Saking rumitnya, lidah Lea terasa bisa terbelit kapan pun, dan Lea harus berlatih hingga waktu makan siang. Sungguh, setengah hari itu sangat melelahkan. Kepalanya terasa akan meledak kapan saja, karena sudah kelebihan kapasitas. Lea sama sekali tidak memiliki bakat dalam hal belajar seperti itu. apalagi Lea dipaksa untuk mempelajari bahasa yang sebelumnya tak pernah Lea kenali.
Namun ternyata Lea belum bisa bernapas lega, setelah otaknya dipaksa untuk bekerja hingga terasa mengepul, rupanya Leon sudah memiliki cara lain untuk menyiksanya. Rencana tersebut dilaksanakan begitu Lea selesai menghabiskan makan siangnya, Leon melanjutkan pelatihannya. Pelatihan yang sepenuhnya berbeda dari sebelumnya. Karena pelatihan kedua ini, berupa pelatihan cara berciuman yang baik dan benar. Oh sungguh, ilmu yang sangat tidak berguna menurut Lea. Terkutuklah Leon dengan semua ide dan ancaman gilanya!
Sungguh, jika saja Leon tidak memberikan ancaman yang mengerikan, Lea sama sekali tidak akan mau melakukan hal ini. Gila saja, Lea harus berciuman dengan seseorang yang bahkan baru Lea kenali selama beberapa hari. Apalagi mereka sama sekali tidak memiliki hubungan sebagai kekasih. Mereka hanya sebagai seorang tuan dan tawanan.
Ya, Lea sudah mengakui jika dirinya adalah seorang tawanan. Ayolah, Lea sama sekali tidak memiliki keberanian sebesar gunung untuk melawan Leon. Sudah cukup Lea mencoba untuk melawan Leon secara terang-terangan. Tentu saja, Lea telah belajar dari pengalamannya. Lea tidak mau hidupnya berakhir menjadi wanita panggilan yang melayani pria berbeda setiap harinya. Setidaknya, kini Lea akan mengikuti apa yang diinginkan oleh Leon, sampai nantinya Lea menemukan cara yang tepat untuk melarikan diri dari sini.
Hei, jangan pikir Lea sebodoh itu untuk menerima semua perlakuan ini dengan begitu saja. Lea tentu saja sudah memikirkan beberapa cara untuk melepaskan diri dari cengkraman Leon. Lea tentu ingin segera kembali ke Indonesia. Lea ingin bertemu dengan bunda, serta adik-adiknya di panti. Terlebih, Lea sudah sangat merindukan Dante. Benar-benar merindukannya. Saking rindunya Lea, setiap malamnya Lea merasa begitu tersiksa oleh rasa rindu ini.
“Kenapa berhenti? Apa kau ingin mendapatkan hukuman lagi dariku?” Lea yang duduk di pangkuan Leon segera menggeleng. Ia tentu tahu, jenis hukuman apa yang dimaksud oleh Leon. Hukuman mengerikan yang membuat bulu kuduk Lea berdiri dan bergoyang dengan hebohnya.
Baru beberapa hari yang lalu, Lea mendapatkan hukuman mengerikan dari Leon, dan Lea tak mau mengalaminya lagi. Memikirkan hal itu, membuat betis kirinya berkedut. Bayangan hewan lunak mendesis yang bergerak dikakinya beberapa hari yang lalu, sungguh membuat Lea kesulitan untuk tidur. bayangan menakutkan itu terus-terusan datang menghampiri mimpinya, dan memaksa Lea untuk terus terjaga sepanjang malam. Tentu saja, Lea juga takut jika sewaktu-waktu ular itu kembali masuk ke kamar dan kembali tidur bersamanya di atas ranjang. Membayangkannya saja, sudah terasa menakutkan.
Ya, benar. Leon menghukum Lea dengan cara membuat Lea hampir mati ketakutan saat terbangun dari tidurnya. Walaupun dalam keadaan pandangannya yang kabur, Lea masih bisa melihat dengan jelas jika seekor ular berukuran sebesar lengan bagian atasnya, tengah merayap dan menindih tubuhnya. Sudah bisa dipastikan jika Lea tidur beberapa waktu dengan ular tersebut, karena Lea juga terbangun akibat rasa sesak yang mendera dadanya. Lea benar-benar membenci hewan itu. sungguh benci sampai-sampai Lea tidak ingin mendengar namanya.
“Padahal Sky tampaknya menyukaimu,” ucap Leon dengan nada mencemooh.
Lea kembali menggeleng. Dalam hati dirinya mengumpat, “Sky apa?! Dia itu hanya seekor ular yang menjijikan! Terkutuklah hobi anehmu! Katanya orang kaya, kenapa malah memelihara ular? Kenapa tidak hewan lainnya saja? Mungkin kucing oren atau bahkan sekalian saja memelihara singa.” Lea berulang kali mengutuk hobi Leon yang mem bgyang memelihara ular albino berukuran cukup besar itu. Sungguh, menurut Lea hobi Leon itu terasa sangat aneh.
Tampaknya Tuhan tak senang jika Lea yang sopan mulai mengumpat kasar. Karena beberapa saat kemudian, Lea mulai meringis kesakitan. Rasa sakit pada kaki kirinya kembali kambuh. Bahkan rasa sakitnya terasa lebih parah daripada biasanya. Rasa sakit yang begitu menggigit itu dengan mudah membuat Lea terisak. Lea benar-benar tidak tahan dengan rasa sakit yang ia tanggung ini.
Leon yang melihat tingkah aneh Lea, segera mengetahui alasannya. Tapi pria itu sama sekali tidak beraksi. Leon seakan-akan tidak peduli, pria tampan itu malah terlihat bersandar dengan nyaman untuk mengamatin wajah Lea dalam diam. Menurut Leon, wajah Lea ini cukup menghibur dengan dirinya. Jadi, ia sama sekali tidak memiliki niatan untuk meringankan rasa sakit yang diderita oleh Lea.
Sedangkan Lea yang tersiksa oleh rasa sakit, melarikan tangannya menuju kakinya. Sembari mengingat-ingat, Lea mencoba untuk memijat dengan teknik yang selalu dipakai Dante. Karena Dante selalu bisa membuat kakinya terasa jauh lebih nyaman ketika rasa sakit yang menyerang kakinya. Lea terus memijat dengan harapan rasa sakitnya bisa berkurang sedikit saja. Sayangnya bukannya membaik, rasa sakit itu malah semakin menjadi. Sungguh sial bagi Lea. Kini isak tangis Lea semakin keras.
Lea mendongak menatap Leon dalam keburaman pandangannya. Apa pria ini sama sekali tidak mau menolongnya? Ah mungkin Lea yang harus meminta bantuannya lebih dulu. Setelah tinggal dan bertemu dengan pria ini, Lea tau jika pria ini merasa sangat superior dan selalu ingin berada di atas orang lain. Pada akhirnya, dengan tergagap Lea memohon sembari mencengkram kemeja yang dikenakan Leon, “Le-Leon, tolong.”
“Apa?” tanya Leon singkat.
“Ka-kakiku sakit,” jawab Lea sembari menempelkan kepalanya di d**a Leon. Napas Lea mulai memberat karena menahan rasa sakit yang teramat.
“Ya, aku tahu hal itu. Aku tidak buta, sampai-sampai aku tidak mengetahui apa yang terjadi. Lalu memangnya aku harus apa?” Leon tetap tak tergerak. Ia malah terlihat lebih santai dari sebelumnya. Leon tampak menikmati ekspresi kesakitan Lea.
“Sebaiknya kau nikmati saja, resapi rasa sakitnya. Tanamkan ingatan rasa sakit itu baik-baik pada benakmu. Anggap saja itu hadiah yang pantas karena kau telah membangkang padaku. Bagaimana, apa hadiah ini cukup? Atau aku juga harus memanggil Sky agar menemanimu menikmati hadiah yang menyenangkan ini?” tanya Leon dengan suara yang terdengar begitu menjengkelkan di telinga Lea. Sayangnya Lea tidak memiliki waktu untuk merasa jengkel saat ini.
Dengan napas yang mulai terputus, Lea menggeleng cepat. Lea menyadari jika Leon pasti marah karena tingkahnya tadi. Tapi bagaimana lagi, bibir Lea telah mati rasa, dan Lea benar-benar tak tahan lagi. Tak ada pilihan lain selain melepas tautan bibir mereka. Lea memaki Leon dalam hati. Apa pria m***m itu tak sadar, jika Lea belum pernah melakukan kegiatan itu dengan siapa pun? Wajar saja, jika Lea harus beradaptasi. Bahkan Leon tidak memberikannya waktu untuk bernapas dengan tenang.
Sayangnya Lea tak memiliki banyak waktu untuk memikirkan kemarahannya, kepalanya kini mulai terasa pening karena rasa sakit di kakinya yang semakin menjadi. Ini sakit yang paling parah daripada sebelum-sebelumnya. Bahkan bibir Lea bergetar pelan saat dirinya berusaha meminta pertolongan pada Leon. “To-tolong, sakit.” Lea menangis dengan suara yang begitu menyedihkan. Seharusnya itu lebih dari cukup untuk menyuntuh hati Leon.
Sayangnya, Leon sama sekali tidak terlihat tergerak. Netra indah bewarna hijau bening milik Leon kini malah tampak keruh saat melihat wajah pucat Lea. Sedetik kemudian, seringai kejam muncul di wajah rupawan Leon. “Hm, sepertinya rasa sakitmu ini tidak akan membuatmu mati. Selagi kaumasih bernapas dan tubuhmu masih bisa digunakan, ini bukan masalah bagiku. Sekarang cobalah untuk tenang dan nikmati rasa sakitnya,” ucap Leon dengan nada santai dan tidak peduli.
Leon memang berpikir jka ekspresi kesakitan Lea kali ini terlihat begitu menyedihkan, tapi juga menghibur dirinya. Tentu saja, Leon tidak berbohong jika kini dirinya tengah memberikan pelajaran pada Lea. Leon memang sedikit kesal karena Lea mengganggu waktu senang-senangnya saat menciumnya. Sebenarnya Leon juga tahu, Lea masih belum terbiasa dengan kegiatan intim tersebut. Leon tidak lupa jika Lea adalah seorang gadis perawan yang masih polos.
Tapi Leon tetap merasa tidak merasa puas, meskipun dirinya mengatahui hal tersebut. Leon ingin Lea berusaha keras untuk membuatnya senang. Di sini, bukan Leon yang harus memanjakan Lea. melainkan Lea yang harus memanjakan Leon dengan semua perlakuan manisnya. Ingat, di sini Leon yang memegang kuasa. Lea sudah sepatutnya mengikuti apa yang ia perintahkan.
Sayangnya, Lea sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Leon. Bagi Lea, Leon adalah pria berengsek yang tidak memiliki hati. “b******k!” maki Lea dalam hati. Bagaimana bisa Lea berpapasan dengan manusia tidak punya hati seperti ini? Ya Tuhan, seharusnya Engkau membuat manusia seperti Leon ini membusuk di neraka.
“Ah tapi, untuk kali ini kuberikan sebuah pengecualian. Berikan aku penawaran terbaikmu, maka aku akan membuat rasa sakit itu menghilang,” ucap Leon sembari mengamati Lea yang mulai kehilangan kesadaran. Tampaknya rasa sakit yang menyerang Lea kali ini sangat parah. Tapi Leon harus memanfaatkan kondisi Lea saat ini untuk meraup keuntungan besar.
“Hah … hah … Le-Leon a-aku sungguh tidak bi-sa ber-pikir dengan baik saat ini. ini terlalu menyakitkan. To-long bantu aku lebih dahulu. Ringankan rasa sa-kit ini. Dan mari bicarakan i-tu nanti. aku janji, aku tidak akan la-gi membangkang.”
Leon tertawa dan menggeleng saat mendngar ucapan Lea tersebut. Leon diam-diam melarikan tangannya untuk merogoh ponsel yang ia simpan di saku celananya. “Sayangnya, aku tidak mau melakukan hal itu. Biarkan aku ingatkan sesuatu Le. Di sini, aku yang memangang kuasa. Itu artinya, akulah yang membuat peraturan di sini, jadi, kau harus mengikuti apa yang aku inginkan. Aku tidak akan menolongmu tanpa imbalan apa pun. Aku harus mendapatkan kontrak lisan saat ini juga. Jika kau kesulitan berpikir, maka akan kubantu. Bagaimana jika kau menawarkan untuk patuh dan menyerahkan dirimu seutuhnya padaku?”
Kesadaran Lea telah hilang setengahnya, fokus benar-benar buyar saat ini. sisa kesadarannya bahkan terasa hilang timbul saat ini. dan Leon tentunya menyadari hal tersebut. Ini tentu saja adalah kesempatan yang menguntungkan bagi Leon. Leon tidak mungkin melepaskan kesempatan baik ini, ia menyeringai kejam saat sudah yakin jika kini situasi berpihak padanya.
Dengan sebuah rencana dalam kepalanya, tentu saja Leon tengah berada di atas angin. Kini Leon hanya perlu memberikan sedikit dorongan saja, dan apa yang ia inginkan, akan ia dapatkan dengan mudah. Leon mengulurkan tangannya, lalu menekan tulang bagian belakang lutut Lea. Reaksi Lea sungguh luar biasa, Lea meringis dan mulai menangis semakin karena rasa sakit yang terasa semakin menggigit saja. Keringat dingin bahkan mulai terlihat mengucur deras di sekujur tubuh Lea. Tanda jika Lea memang tengah mati-matian menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya.
Betapa kejamnya Leon melakukan hal itu padanya. Dasar manusia kejam! Bagaimana dirinya tetap bersikap santai saat melihat Lea dalam kondisi seperti ini? Oh, ayolah, kini Lea benar-benar tengah tersiksa oleh rasa sakit. Lea terengah. Rasa sakitnya sungguh luar biasa. Lea memejamkan matanya mencegah keringat yang mengucur dari kening dan pelipisnya masuk ke dalam matanya. Tentu saja, Lea tidak mau menambah rasa sakit pada tubuhnya sendiri. Wajah Lea yang dibanjiri keringat kini terlihat semakin pucat. Tidak perlu diragukan lagi, jika kini Lea memang merasa sangat tersiksa dengan rasa sakit yang ia terima.
“Bagaimana Lea?” tanya Leon dengan suara pelan tapi masih terdengar jelas oleh Lea, karena Leon memang berbisik tepat di samping telinga Lea. Deru napasnya saja bisa Lea dengar dengan jelas. Embusan napasnya terasa membelai daun telinganya dengan lembut. Visi Lea saat ini sudah membayang. Tinggal menghitung mundur sampai Lea benar-benar kehilang kesadarannya. Tapi Lea sangsi bisa tidur dengan tenang dengan rasa sakit ini. Lea yakin, rasa sakit ini tidak akan membiarkan Lea jatuh tak sadarkan diri.
Rasa sakit ini akan tetap membuat Lea terjaga dan merasakan siksaannya. Lea mencengkram kemeja Leon semakin kuat, ia tak memiliki pilihan lain selain mengangguk lemah. Ia sudah kehilangan tenaga untuk menjawab pertanyaan Leon secara normal. “Aku tidak terlalu mengerti bahasa isyarat Lea. Berikan jawaban yang jelas, atau aku tidak akan menolongmu. Kesepakatan kita mungkin akan batal begitu saja.”
Lea membuka sedikit matanya dan menjawab serak, “A-aku mau. Tolong hilangkan rasa sakit ini, aku mohon!” Lea mulai terisak sembari meringkuk dalam pangkuan Leon. Lea sudah tidak memiliki cara untuk mengungkapkan bagaimana sakit yang tengah ia tanggung ini.
Gotcha!
Leon menyeringai, ia menyimpan ponselnya. Lalu memanggil Ken untuk masuk ke dalam kamar. Ia memberikan isyarat pada Ken yang kini berdiri di dekatnya untuk segera mendekat dan melakukan tugasnya sesegera mungkin. Ken mengangguk patuh. Ia berlutut dan mengeluarkan jarum suntik dari saku jas hitam yang ia kenakan. Dengan terampil, Ken meraih kaki kiri Lea dengan lembut dan menyuntikkan obat pada kaki Lea tersebut. Dalam diam, Ken mengamati bekas jahitan yang memanjang di betis kiri Lea. Bekas luka yang cukup mengerikan. Ken juga menyayangkan luka mengerikan tersebut terukir di betis mulus milik Lea.
Setelah Ken menyutikkan obat, Ken bangkit dan mengamati reaksi Lea. Setelah mendapatkan suntikan tersebut, rupanya isak tangis Lea berangsur menghilang, dan tubuhnya tampak lebih rileks. Leon kembali memberikan isyarat agar Ken pergi meninggalkan dirinya dengan Lea. Mengerti dengan apa yang diinginkan oleh tuannya, Ken dengan tertata menunduk memberikan hormat sebelum segera undur diri secepat kilat.
Leon sendiri menunduk dan mengamati wajah Lea yang terlelap dengan tenang. Tak mau menghabiskan waktunya terlalu banyak dan memilih menggendong Lea mendekat menuju ranjang. Dengan perlahan, Leon membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan lembut. Kelembutan Leon berhasil membuat Lea tetap tenang dalam tidurnya.
Ya, Leon bisa melihat dengan jelas jika kini Lea tampak terlelap dengan damai. Bahkan tidurnya kali ini lebih terlihat nyenyak daripada tidurnya yang malam-malam yang sebelumnya. Keringat dingin tampak masih membasahi keningnya, rambutnya yang panjang bahkan terlihat lepek karenanya. Dengan lembut, Leon menyeka keringat dan anak-anak rambut yang menempel pada kening dan pip Lea.
Setelahnya, Leon mengusap pipi Lea yang terasa begitu lembut. Ia menyeringai sembari berbisik, “Istirahatlah. Karena malam ini kupastikan dirimu akan bertekuk lutut, Lea. Aku pastikan itu.”
Leon menunduk lalu menanamkan sebuah kecupan pada bibir Lea yang merekah indah. Kini sudah dipastikan kemenangan sudah berada di tangannya. Tinggal menunggu waktu hingga dirinya merayakan kemenangannya. Leon tidak bisa menahan seringainya dan berbaring di samping Lea, lalu memeluk pinggang Leon dengan erat. Ah, Leon merasa sangat senang saat ini. Ia memejamkan matanya, menyambut mimpi indah di alam bawah sadarnya.