Seorang wanita cantik berkemeja hitam, dengan dua kancing bagian d**a sedikit terbuka, nampak berjalan dengan santai memasuki pekarangan rumah mewah, sembari memperbaiki tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Sesekali wanita itu menyapa dengan senyuman saat berpapasan dengan seorang pramusaji lain yang juga sedang tersenyum kepadanya. Tetapi tak jarang pula sapaannya itu tak mendapat balasan, ketika beberapa pramusaji tersebut nampak tak menyukai pembawaannya.
Seakan tak peduli, wanita itu pun hanya berlalu melenggang masuk ke dalam rumah tersebut melalui pintu belakang, hendak menuju satu ruangan khusus yang sudah disediakan oleh sang pemilik untuk para petugas pengantar makanan dan minuman. Menaruh segala barang bawaannya, dan mengganti pakaian dengan seragam pramusaji yang sudah disiapkan dalam lemari, kemudian menempelkan satu mini earpiece di telinga sebagai alat komunikasi dengan tim penyajian.
Setelah selesai dengan segala persiapannya, wanita itu pun beristirahat sejenak di atas kursi, sambil menyematkan nametag kecil–yang sudah dia modifikasi dengan kamera kecil di dalamnya–pada saku pakaian di bagian d**a, juga gelang biru muda pemberian dari seseorang saat ia masih kecil, di pergelangan tangan kanan yang selalu dijadikan sebagai jimat keberuntungan oleh Na Ra.
“Sepertinya kau pelayan baru. Apa Tuan Lee yang membawamu ke mari?” tanya seorang pramusaji yang baru saja selesai berganti pakaian.
Wanita itu terdiam sejenak, mencari alasan tepat agar penyamarannya tidak diketahui oleh siapapun, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. “Ya, sepertinya begitu,” jawabnya berusaha terlihat sangat yakin.
Pramusaji dengan nametag Ji Hyeon itu mengerutkan dahi. “Tidak seperti biasanya Tuan Lee membawa pelayan baru di pesta Tuan Oh,” gumamnya sangat pelan, seperti sedang mengungkapkan keheranannya kepada diri sendiri.
“Ya?”
Ji Hyeon seketika menggelengkan kepala, sambil tersenyum ramah. “Ah, tidak, tidak! Aku hanya sedang berbicara pada diriku sendiri,” jelasnya. “Siapa namamu?” tanya Ji Hyeon.
Wanita itu balas tersenyum. “Kim Na Ra. Lalu, siapa namamu?”
Ji Hyeon dengan cepat menunjuk nama yang tertera pada nametag. “Oh Ji Hyeon.”
“Ah ... Senang bertemu denganmu, Oh Ji Hyeon-ssi,” sapa Na Ra begitu ramah. Wanita cantik itu mengedar tatapannya ke setiap penjuru ruangan, menilik-nilik isi di dalamnya. “Bolehkah aku bertanya?”
“Ya, tentu saja. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apa Tuan Oh sering mengadakan pesta kecil seperti ini?” tanya Na Ra.
Ji Hyeon menoleh ke kiri dan kanan, seakan tengah memastikan, bahwa di sana hanya ada mereka berdua saja. Tidak ada yang lain. “Apa kau melihat ini hanya sekadar pesta kecil?” Bukannya menjawab, wanita itu malah balik mengajukan pertanyaan, dan membuat rasa penasaran Na Ra semakin meningkat.
“Kupikir ini hanya pesta para konglomerat biasa. Apa aku salah?” tanya Na Ra memancing.
Ji Hyeon menyilangkan kedua tangan di atas d**a. “Kau terlalu polos, Na Ra-ssi, jika menganggap pesta ini sebuah pesta kecil yang diadakan oleh konglomerat.”
“Apa maksudmu?” tanya Na Ra lagi.
Wanita cantik berambut kecoklatan itu memiringkan posisi duduknya, agar bisa mencondongkan kepala lebih dekat. “Pesta ini hanyalah kamuflase dari pesta yang sesungguhnya,” terang Ji Hyeon setengah berbisik.
Na Ra mengerutkan dahi. “Benarkah? Memangnya, pesta seperti apa yang mereka sembunyikan di balik pesta kecil ini?”
“Ya ... pesta pria dengan pria? atau obat-obatan. Mereka bahkan sudah menyewa beberapa pria dan wanita untuk dijadikan seorang b***k pemuas nafsu selama satu malam penuh,” jelasnya lebih mendetail.
Na Ra cukup dibuat terkejut mendengar perkataan Ji Hyeon. “Sepertinya, kau mengetahui banyak hal. Apa ini bukan kali pertama kau menjadi pramusaji di pesta Tuan Oh?“ tanyanya, hendak mengorek informasi lebih jauh lagi.
Ji Hyeon mengangguk. “Ya, sudah beberapa kali aku menjadi pelayan di acara Tuan Oh. Dan pesta kali ini ... Sepertinya hanya mengundang beberapa teman dekatnya saja.”
“Lalu ... Bagaimana dengan Kim Ae Ri? Bukankah dia istrinya?” Na Ra benar-benar mengambil kesempatan ini untuk mengorek lebih banyak lagi informasi.
“Kim Ae Ri bukan istri sesungguhnya. Pernikahan mereka sebatas pernikahan bisnis. Tidak lebih dari itu,” jawab Ji Hyeon yakin.
“Bahkan sama sekali tidak pernah menyentuh Kim Ae Ri?” tebak Na Ra, dan Ji Hyeon memberi jawaban di luar dari perkiraan.
“Ya. Dia tidak tertarik pada Kim Ae Ri. Maka dari itu, istrinya memberi pernyataan, jika Dennis Oh adalah seorang gay.”
Dahi Na Ra mengerut semakin dalam. “Wanita secantik Kim Ae Ri benar-benar gagal menarik perhatian Tuan Oh? Apa kau yakin?”
Ji Hyeon mengangguk. “Sangat yakin, karena Tuan Oh lebih tertarik pada sesama pria. Bukan kepada wanita. Sekalipun penampilan perempuan itu sangat cantik dan menarik.”
Na Ra mengerjapkan mata berulang kali, demi bisa mencerna perkataan Ji Hyeon. “Jadi ... Pesta ‘seks’ yang kau katakan tadi, juga antara pria dengan pria? Bukan hanya pria dan wanita?” tanyanya, meyakinkan pemikiran negatif yang terlintas.
Sayangnya, Ji Hyeon lagi-lagi mengangguk, meng-iya-kan. Membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuh Na Ra meremang. “Benar-benar gila! Konglomerat seperti Dennis Oh benar-benar memiliki kebiasaan di luar nalar manusia! Mengerikan.”
Wanita berparas cantik itu menepuk bahu rekannya, kemudian berkata, “kita di sini untuk mencari uang. Kita di sini hanya sebatas pramusaji sewaan. Jadi, cukup lakukan pekerjaan kita dengan sebaik mungkin, tanpa harus memedulikan mereka-mereka yang memiliki kuasa. Jika ikut campur urusan mereka, tamat sudah riwayat kita, karena koneksi mereka terlalu besar untuk orang-orang kecil seperti kau dan aku.”
Karena terlanjur penasaran, Na Ra pun segera bangkit dari posisinya–untuk mencari tahu fakta-fakta lain di luar sana, merapikan pakaian guna terlihat nyata sebagai seorang pramusaji sungguhan, lalu membenarkan posisi kamera tersembunyi pada nametag dengan meluruskan penjepit pada saku. Tersenyum kepada Ji Hyeon sembari mengembuskan napas panjang.
“Cukup lakukan pekerjaan kita sebaik mungkin, tanpa memedulikan kejadian di sekitar,” ulang Na Ra, seperti sedang menyemangati dirinya sendiri. “Baiklah ... Haruskah kita mulai pekerjaan kita malam ini, Ji Hyeon-ssi?”
Ji Hyeon pun ikut berdiri dari posisinya dengan semangat penuh, kemudian berkata, “ayo kita mulai pekerjaan di malam yang panjang ini.”
***
Menyamar menjadi seorang pengantar makanan demi mendapat berita eksklusif yang sedang naik daun saat ini, malah menuntun Na Ra menemukan berita-berita laim yang mencengangkan di luar dugaan, dari para eksekutif muda. Entah itu perihal percintaan mereka, atau informasi seputar perusahaan-perusahaan besar yang sedang dikelola.
Tak hanya itu. Bahkan ketika dalam keadaan bekerja pun, Na Ra masih bisa mendapatkan informasi penting mengenai persoalan pribadi beberapa pengusaha muda yang tidak pernah diketahui khalayak umum, atau bahkan tersentuh awak media. Padahal malam ini, Na Ra cukup dibuat sibuk oleh permintaan-permintaan para tamu undangan, yang silih berganti memanggil para pelayan yang ada.
“Apa kau wanita itu?” tanya seorang pria berbadan tegap, usai menghentikan Na Ra dengan menarik lengannya cukup kasar, hingga gelas di atas nampan hampir terjatuh jika saja ia tidak cepat-cepat menahannya.
“Apa maksudmu?“
Pria tampan itu memperhatikan penampilan Na Ra dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian melirik gelang biru muda yang melingkar di tangan. “Apa Lee Min Woo yang menyuruhmu berdandan seperti ini?” tanyanya.
Na Ra mengerutkan dahi, kebingungan. ‘Apa Lee Min Woo yang pria ini sebutkan adalah orang yang sama dengan Tuan Lee yang Ji Hyeon maksud?’ tanyanya membatin. “Memangnya ... Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Na Ra memberanikan diri.
Pria itu menggeleng dengan ragu, sembari menilik tubuh Na Ra. “Jika kau memang wanita pilihan Min Woo ... sepertinya itu tidak salah,” jawabnya.
Na Ra menatap skeptis. “Dasar pria c***l!!!” gerutunya, sembari melangkah pergi dari tempat tersebut.
Namun sayangnya, belum sampai sepuluh langkah ia pergi dari tempat semula, pria bersetelan jas hitam tadi malah berjalan mengikutinya dari belakang, menarik pergelangan tangan Na Ra lagi, tepat saat wanita itu selesai menaruh nampan di atas meja.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku!” pinta Na Ra dengan suara tertahan, agar tidak menarik perhatian orang lain.
“Jangan terlalu larut dalam peran sebagai pramusaji, Nona. Ini bukan tugasmu!” jawab pria itu dengan santai, dan masih menggenggam pergelangan tangan Na Ra.
“Tugasku mengantarkan pesanan para tamu, juga mengisi gelas kosong di meja utama sana dengan minuman. Tidak ada yang salah! Jadi kumohon, lepaskan tanganku sekarang juga!” pinta Na Ra penuh penekanan.
Karena tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, pria itu malah menarik paksa tangan Na Ra hingga hampir terseret–jika saja wanita itu tidak mengimbanginya dengan berlari kecil, membawanya naik ke lantai dua, tempat di mana Dennis Oh sudah menunggu.
“Seleramu untuk wanita panggilan kali ini benar-benar sangat unik, Dennis! Tidak seperti biasanya!” gumamnya sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
Setibanya di lantai dua, pria tampan yang akrab disapa Lee Johan itu menarik handle pintu salah satu kamar di hadapannya, mendorong Na Ra cukup keras hingga wanita itu tersungkur, kemudian menutupnya kembali, dan berdiri tak jauh dari sana.
Sementara di dalam kamar, Dennis Oh yang sudah terlihat sangat mabuk, tiba-tiba menggendong tubuh wanita itu dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Menekan kedua pipinya dan memasukkan secara paksa satu gelas penuh alkohol ke dalam mulut Na Ra, kemudian mengungkungnya. Bergerak cepat untuk mencium bibir wanita itu secara brutal, sembari menikmati setiap inci rongga dalam mulut yang terasa begitu hangat di lidah.
Na Ra yang semula berontak tak karuan pun perlahan mulai melemah, diikuti rasa pening yang begitu menusuk, dan kesadaran menurun, akibat toleransi alkohol dalam tubuhnya yang sangat rendah. Mulai terhanyut dengan permainan yang sedang dilakukan oleh pria di atasnya, hingga membuat Na Ra–tanpa sadar–membalas ciuman tersebut untuk mengimbangi, meraba d**a bidang lelaki itu dengan sensual, hingga sesuatu yang mengeras di bawah sana tiba-tiba terasa di area sensitif Na Ra, dan membuat wanita itu seketika melenguh tanpa sadar.
‘Kenapa aku hanya diam dan tidak bisa menolak?’
***