"Hanya sebuah ucap, bahkan kamu tak mampu mengungkap."
***
"Oke, jadi Mbak bisa langsung kirim deskripsinya ke email saya, kira-kira satu minggu deh udah kelar," tutur Senaru pada seseorang yang berbicara dari sebrang lewat air pods pada telinga kirinya, gadis itu sibuk mengemudi seraya membahas sesuatu dengan klien yang memesan ilustrasi untuk sebuah majalah anak-anak. "Oke, Mbak. Sama-sama." Panggilan berakhir, Senaru menarik air pods dari telinga dan meletakannya di dash board.
Ia menatap dua tumpuk pizza yang tergeletak di permukaan jok sisi kiri, tadi Senaru sempat take away pada drive thru dari Pizza Hut yang kebetulan dilewatinya, Senaru menatap arloji yang sudah menunjukan pukul delapan malam lewat sepuluh menit.
Tak disangka hari deadline pengerjaan sebuah komik dari tim yang beranggotakan empat orang tersebut menyita banyak waktu dan tenaga akhirnya selesai juga meski masih ada beberapa project selanjutnya, peran Senaru sebagai artist yang baru meretas sekitar dua tahunan sangat dihargai.
Setidaknya ia sudah menetaskan beberapa karya monetize untuk klien yang memesan ilustrasi atau commish padanya, sebab Senaru tak hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaannya sebagai komikus di kantor, ia juga membuka freelance untuk pembuatan ilustrasi pada cover yang kini menjamur di sosial media.
Mobil yang Senaru kemudikan berbelok memasuki pelataran sebuah gedung studio dua lantai yang biasa digunakan anak-anak Kalopsia latihan, tadi sebelum pulang dari kantor Senaru sempat menghubungi nomor Jarrel, tapi tak diangkat, mungkin Jarrel sibuk, jadi Senaru beralih menghubungi Bella—yang mengatakan kalau Jarrel ada di studio—tengah melangsungkan latihan untuk performa lusa di acara award sebuah stasiun televisi nasional.
Tanpa melupakan kotak pizzanya Senaru turun seraya memamerkan wajah ceria, hari ini double penyemangat menemani perputaran kehidupannya. Pertama, skripsi Senaru diacc. Kedua, deadline komik yang mencapai waktu berbulan-bulan itu akhirnya selesai.
Dari pintu depan terdengar sepi, ternyata saat Senaru masuk orang-orangnya memang sedang beristirahat di ruang depan. "Hai, semua. Udah pada makan belum?" sapa Senaru yang mengejutkan semua orang, ada empat personel Kalopsia—selain Jarrel—yang duduk di ruangan tersebut. Di antaranya Asraf serta Richie yang berperan sebagai gitaris, Luki sebagai bassis, dan Naka sebagai drumer. Keempatnya berjejer di sofa seperti anak SD yang menanti kedatangan guru mereka.
Dari keempatnya hanya Asraf yang beranjak untuk menghampiri Senaru, tapi yang lain tetap tersenyum—terutama saat Senaru meletakan dua kotak pizza di meja. "Nih kalau belum pada makan, udah apa belum pokoknya mesti dimakan."
"Wah, pizza!" Bola mata Naka berbinar, si pemilik gaya rambut wavy ala-ala Korea itu lantas membuka kotak paling atas dan meraih salah satu potongannya, sebut saja Naka adalah personel paling muda dari keempat temannya, tapi paling hyperaktif juga. "Dalam rangka apa, Na?"
"Skripsi gue hari ini diacc dong." Senaru tersenyum lebar.
"Congrats ya, Na." Tanpa basa-basi Asraf yang sudah beranjak sejak tadi memeluk Senaru di depan teman-temannya, ketiga laki-laki itu sekadar saling menatap seraya mengedik bahu, mereka enggan ambil pusing atas tindakan Asraf yang sebut saja 'sudah biasa' itu jika bertemu Senaru, tapi entahlah jika di depan Jarrel ia berani melakukannya atau tidak.
"Makasih, Raf." Pelukan tersebut telah terpisah.
"Congrtas, Na. Sukses terus lo," Richie berkomentar.
"Sekarang bisa fokus gambar-gambar terus dong, Na. Lain kali gambar muka gue yang mesti lo ganti jadi Kim So Hyun, Na. Biar cewek gue enggak ngelihatin drama Korea terus." Luki turut ambil bagian.
"Lah itu mah emang elonya aja yang burik," seloroh Richie begitu saja, mereka hanya terbahak saling menghina.
Senaru turut serta terkekeh, semua teman-teman Jarrel selalu hangat, tapi entah mengapa tak berpengaruh pada laki-laki itu, padahal di awal hubungan Jarrel selalu paling perhatian sampai saat ia memasuki belantika musik Indonesia menggawangi Kalopsia, karakternya mulai berubah, mungkin karena Jarrel memang sebegitu sibuknya sampai berakhir cuek terhadap Senaru.
Gadis itu mengedar pandang mencari sesuatu. "Dari tadi gue enggak lihat Jarrel, dia di mana?"
"Di atas sama Bella," sahut Asraf.
"Oh, ya udah gue mau ke atas dulu ya. Jangan lupa dihabisin makanannya." Ia bergerak menghampiri anak tangga yang membawanya menemui lantai dua dari studio tersebut, ruangan atas tak dilengkapi pintu, jadi setelah menapak anak tangga teratas bisa langsung menemukan apa pun yang ada di sana—termasuk Jarrel serta Bella yang duduk berseberangan di sofa.
Tampak Jarrel sibuk membumbungkan asap rokoknya seraya bersandar di sofa, sedangkan Bella sibuk berbicara dengan seseorang di ponsel, keduanya kompak menoleh tatkala menemukan Senaru datang.
"Eh, Naru," tutur Bella yang kini beranjak, "gue lagi ngasih tahu Jarrel biar nggak mabok terus, besok Kalopsia udah mesti gladi resik di Senayan, habis itu masih ada schedule syuting video klip buat lagu baru mereka sama banyak lagi deh pokoknya, kasih tahu biar Jarrel jangan mabok lagi ya, Na." Bella seolah melempar semua tanggung jawabnya pada Senaru, tak perlu mendengar permintaan Bella pun Senaru sudah sering melakukannya—melarang Jarrel agar tidak menyentuh alkohol, tapi tetap saja sang kekasih sembunyi-sembunyi sampai kesusahan sendiri. "Gue turun ya." Bella pamit pergi, kini hanya ada sepasang manusia di ruangan itu, Senaru masih bergeming di dekat tangga seraya bersidekap menatap datar kekasihnya.
Jarrel meloloskan batang rokok dari bibir, ia membaca situasi semacam ini, ditekannya ujung yang tersulut api tersebut pada permukaan asbak hingga benar-benar lesap, Jarrel mengangkat kedua tangan seraya menatap Senaru. "Done, Babe."
"Telen aja sekalian, mana tahu enak itu rokok, bikin kamu hidup lebih lama." Senaru mendekatinya, baru saja datang ia sudah disuguhi pemandangan seperti itu. Notifikasi ponselnya berbunyi tepat ketika Senaru duduk di samping Jarrel, gadis itu merogohnya dari saku celana, ia menemukan email masuk yang memperlihatkan sebuah form berisikan deskripsi tentang ilustrasi request dari klien yang meneleponnya tadi.
Senaru manggut-manggut memperhitungkan sesuatu dalam pikirnya, ia membuka galeri sekadar mengecek beberapa ilustrasi mentah yang masih sebatas goresan touch pad, tapi bukan pada ponsel Senaru mengerjakannya, anggap saja gambar yang ia lihat adalah cetak biru.
"Di bawah ada pizza, Ja," ucap Senaru tanpa menatap lawan bicara yang mulai sibuk menyingkap rambut Senaru dari leher sisi kanan ke kiri, laki-laki itu menyukai bagian seperti ini, favoritnya jika harus melihat leher jenjang Senaru yang polos tanpa juntaian liontin atau aksesoris apa pun, terlebih jika di kedua cuping telinga Senaru terpasang anting-anting panjang, bagi Jarrel semakin menarik untuk ditelusuri—seperti sekarang—saat Jarrel merapatkan tubuhnya dengan Senaru yang lebih fokus pada urusan ponsel. Sebabnya Jarrel tak pernah mengizinkan Senaru mengikat rambut apa pun keadaannya selain bersama Jarrel, ia tak suka orang lain menatap leher jenjang kekasihnya begitu saja.

"Hallo, Mbak. Saya udah terima deskripsinya di email ya, btw nggak ada yang lebih detail dari itu karakteristik dari muka si tokoh-tokohnya? Misal si A ada tahi lalat, atau si B matanya sipit, biar ada ciri khasnya, Mbak." Senaru mulai berbicara panjang lebar di ponselnya saat Jarrel justru sibuk mengecupi leher polos Senaru, tanpa ragu mulai menggigit kecil sampai gadis itu terganggu dan beranjak, sialnya Jarrel menarik Senaru agar gadis itu kembali duduk.
Sekalipun Senaru tengah berbicara dengan kliennya Jarrel tampak tidak peduli, ia telanjur dipancing melihat leher gadis itu, sudah terlalu candu. Senaru menoleh pada Jarrel seraya menggeleng, memberi isyarat penolakan sebelum kembali berbicara pada kliennya, tapi Jarrel tetap tak peduli, ia semakin giat mengajak Senaru berinteraksi.
Ia tak segan mendekap pinggang Senaru dan terus mengecupi lehernya seraya sesekali menyingkap helaian rambut yang mengganggu, aroma body mist Senaru masih membaui indra penciumannya meski gadis itu sudah melakukan segudang aktivitas seharian ini, tapi tetap tak melunturkan aroma wangi tubuhnya yang semakin membuat Jarrel meradang.
"Okey, Mbak. Jadi, bisa diulang lagi ya deskripsinya, terus kirim ke email saya, kalau detail lengkap kan jadi lebih gampang dikerjakan, makasih, Mbak. Maaf mengganggu waktunya." Panggilan berakhir dan leher sisi kanannya sudah sangat basah oleh ulah Jarrel. "Kamu nggak bisa berhenti, Ja? Aku lagi telepon, kamu kebiasaan deh."
"Kenapa sih?" Jarrel merasa tak ada masalah apa pun atas apa yang ia lakukan pada Senaru, selama ia senang melakukannya—kenapa tidak?
"Aku lagi telepon, bahas masalah kerjaan, yang kamu lakuin tadi mengganggu, Ja."
"Sorry, tapi aku suka ngelakuin itu dan enggak perlu denger persetujuan atau penolakan kamu, Na. Karena kamu punyaku, ini hak mutlak," sanggah Jarrel seraya mengusap bibir Senaru.
"Ja—"
"Nggak, nggak bisa. Harus bisa, emang kenapa?"
"Eja."
"Nana." Jarrel melirik leher Senaru lagi, belum ada bekas memerah di sana, kenapa Senaru mesti terus-terusan melarangnya? Ia kembali mendekat, tapi Senaru bergeser menegaskan jarak mereka, paling tidak sejengkal, tapi Jarrel tersenyum miring seolah menegaskan hal tersebut bukan masalah besar.
Senaru merapikan rambutnya hingga semua menutupi leher. "Aku udah ngelihat kamu baik-baik aja, sekarang aku pamit pulang ya takut Tante Monika nungguin, kalau kamu udah kelar langsung pulang, jangan mabuk."
"Pulang?"
"Iya, pulang." Senaru mengecup pipi kiri Jarrel sebelum beranjak. "Inget ya jangan mabok lagi, pokoknya enggak boleh. Aku pergi sekarang." Ia berjalan menghampiri anak tangga.
"Nana." Jarrel menahannya, ia beranjak menghampiri saat gadis itu berdiri di dekat anak tangga.
"Ya, apa lagi?"
"Kamu nggak bisa pergi gitu aja, Na. Sini kamu." Ia menarik Senaru dan menghempas tubuhnya pada permukaan tembok di dekat tangga, yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak saat bibir Jarrel membungkam lembut milik perempuannya, sedikit menyusahkan saat tubuh mungil Senaru mesti mengimbangi tingginya Jarrel yang membuat gadis itu sampai menengadah.
Jarrel melepaskan bibir perempuannya, tapi bukan berarti ia berhenti, laki-laki itu menunduk menghampiri leher Senaru lagi seraya mengumpulkan rambutnya ke belakang.
"Engh—Eja." Senaru mendesis merasakan kulitnya terasa ditarik saat gigi-gigi Jarrel mulai beraksi disertai sapuan lembut yang mengurangi intensitas rasa sakitnya, terdengar derap langkah seseorang menapaki anak tangga. "Ja, ada orang."
Jarrel tak bereaksi, ia sibuk melukiskan warna di leher Senaru sebelum suara sesuatu yang jatuh membuat aktivitas keduanya terhenti, Jarrel berdecak disertai ekspresi yang berubah masam, ia tak suka segala hal yang meng
ganggu kesenangannya. Jarrel dan Senaru sontak melongok ke arah tangga, mereka menemukan Asraf tengah berdiri menatap kaget keduanya setelah mendengar desahan Senaru, pecahan gelas kaca bersama cairan cokelat beningnya terkapar miris di permukaan anak tangga.
***