Ren yang melihat Aliana begitu bukannya tenang malah bertambah ngeri dengan ekspresi yang Aliana mainkan. “Sungguh hebat sekali dia mengubah ekspresi wajahnya dalam seperkian detik saja, dari tadi yang menatap tajam dan lihat saat ini ia malah menatap dengan wajah menakutkan seperti itu, wow menarik Aliana malah seperti seorang psikopat,” pikir Ren yang terkagum-kagum dengan perubahan raut wajah Aliana dan gesture tubuh yang terlewat santainya. Sedangkan raut wajah Ren sendiri saat ini hanya menatap tercengang ekspresi tidak percaya.
Brian belum merespon sama sekali ucapan Aliana, ia hanya diam dengan tatapan tidak dapat dikatakan ia puas dengan ucapan Aliana tadi. Lalu tiba-tiba ekspresi wajah Aliana berubah begitu saja dengan tersenyum manis membalas memandang Ren yang terkejut dengan balasan tatapan Aliana padanya. Senyuman itu sampai membuat kedua mata Aliana menyipit lucu dan manis.
Ren tentu saja gelabakan dan mengedip-ngedipkan matanya berkali-kali. “Ayo kita pulang,” ajak Aliana tiba-tiba.
Aliana melangkankan kakinya mendekat pada Brian dan Ren, lalu ia melepaskan cekalan tangan Brian pada tangan Ren dan menggantikan tanganny untuk menarik Ren berjalan keluar dari ruangan UGD itu.
Brian bergeming mengehela nafasnya berat, ia tidak bisa mengungkapkan sebenarnya begitu saja pada Aliana dan ia tidak ingin adiknya juga terseret pada masalah ia sembunyikan sudah beberapa tahun ini. Sebuah kebodongan besar yang ia kumpulkan fakta-faktanya dan menjadi sebuah sejarah menyakitkan yang tidak ingin Brian lihat ataupun dengar terjadi lagi di masa depannya.
Saat Aliana akan menutup kembali pintu ruangan itu dengan tangannya tanpa berbalik, Brian dapat melihat senyum yang terbit di bibir Aliana, senyuman yang tidak dapat dikatakan manis melainkan senyuman menyeramkan yang Aliana tunjukkan dari samping saat ia sengaja menolehkan wajahnya setengah dalam ruangan yang masih terdapat Brian di sana. “Kau dapat saja menyesal Ren jika mengetahui semuanya, percuma kau menyembunyikannya dariku karena aku tau semuanya,” tutur Brian saat Aliana dan Ren sudah benar-benar keluar dari pintu.
“Entah siapa yang aku takuti saat ini, dan entah siapa yang harus aku lindungi, aku pun masih ragu tapi kau adikku kau tidak boleh terlibat di dalam lingkaran yang seperti angin hitam ini,” seru Brian lirih.
Sedangkan Aliana membawa Ren berjalan melewati lorong menuju pintu meja penjaga dan tidak jauh dari sana ada pintu keluar dari rumah sakit itu. Sebenarnya Ren merasa sedikit takut pada Aliana tetapi ia takut sahabatnya itu baik dan tidak memiliki masalah yang membuat ia terlibat masalah yang besar hingga orang-orang mencarinya. Dirinya tidak menolak jika ia khawatir pada Aliana.
Sedangkan tidak jauh dari kedua orang itu adalah satu orang berpakaian hitam duduk di kursi tunggu lobi rumah sakit berbaur dengan pasien-pasien lain yang sedang menunggu menebus obat mereka dibagian apotek yang memang berada di lobi rumah sakit itu.
“Al, kau tidak seharusnya berbaur dengan mereka,” ucapnya pelan sambil memperhatikan langkah kedua orang yang sedang ia intai sendari tadi.
“Sebentar lagi, tunggu aku, aku akan menghampirimu dan melindungimu dan kita akan berjuang bersama,” lirihnya sambil tersenyum menundukkan kepalanya ke bawah. Kemudian ia berdiri dari duduknya kembali mengikuti Aliana dan Ren keluar dari rumah sakit. Tetapi ia lupa jika Brian masih ada di belakang dan Brian melihat tindakannya yang membuat Brian menatap curiga pada punggung yang kini ikut pergi mengikuti langkah Aliana dan Ren dari belakang beberapa langkah lebih lambat.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Brian dalam raut curiganya masih memandangi pungung adiknya pergi menjauh dari tempatnya tadi.
Sedangkan Aliana dan Ren saat ini sedang menuju halte bus yang dekat dengan rumah sakit, tapi sebelum dia benar-benar keluar dari halaman rumah sakit. Aliana menyadari satu mobil yang terparkir di depan rumah sakit itu seperti mobil yang mereka kenali.
"Ren jika aku seorang sosiopat, apa kamu masih mau berteman denganku?" tanya Aliana tiba-tiba, tangannya masih memapah Ren agar Ren bisa berdiri dengan benar.
Ren mendengar pertanyaan Aliana yang aneh langsung menoleh dan keningnya berkerut berpikir.
"Memangnya kamu Sosiopat? kamu itu malaikat kalau kata aku," kata Ren sambil terkekeh untuk mengalihkan kebingungannya.
"Sepertinya tidak, tapi saat ini aku sangat ingin menghancurkan ban mobil seseorang. Apa itu termasuk ke dalam sosiopat?" tanya Aliana dengan tatapan polosnya bertanya pada Ren yang masih digandengnya.
Ren terkekeh sambil meringis menahan sakit dipunggungnya.
"Itu namanya iri bukan sosiopat, memangnya mobil siapa yang ingin kau hancurkan?" Pada akhirnya Ren meladeni ucapan Aliana yang kadang memang diluar dugaan.
"Mobil oranglah pokoknya, kalau akukan belum punya mobil," jawab Aliana dengan nada tak peduli, tapi malah membuat Ren kesal mendengarnya. Ren ingin memukul kepala Aliana tapi sadar tangannya sendiri saja saat ini diapit oleh Aliana untuk dibantu berjalan, lagi pula tangannya terlalu sakit untuk dia angkat lebih tinggi.
"Makanya cepat kaya biar bisa membeli mobil," gerutu Ren.
"Hey aku sekolah saja tidak, saat ini aku diam di rumah saja masih diteror, bagaimana aku mau kaya kalau begini terus," balas Aliana sedikit kesal dengan ucapan Ren.
"Sebenarnya apa sih masalahmu sampai kamu diteror, atau kamu pernah mencuri barang seludupan mafia ya? atau kamu menyelamatkan b***k hasil perdagangan manusia, atau kamu anggota mafia yang diburu? atau kamu pernah mengintip mafia transaksi? atau kamu pernah membunuh anggota mafia? eh tapi yang terakhir seperti tidak mungkin, orang badan letoy begini mau bunuh orang," ujar Ren sambil melihat Aliana yang berdiri di sampingnya. "Seperti tidak mungkin, ahahaha." Tawa Ren membuat Aliana mendengus kesal.
Aliana tidak tahan untuk tidak mencubit pinggang Ren yang terdengar cerewet terus berbicara padanya.
"Bisa diam tidak, orang terus melihat kearah kita. Mulutmu ini seperti perempuan saja, sudah sana masuk lagi aja ke rumah sakit minta operasi ganti kelamin," ucap Aliana dengan nada kesal pada Ren.
"Auwh! Jangan bicaranya pedas tapi tanganmu jangan sambil mencubitku juga Al! Sakit sekali ya Tuhan...." Ren merengek kesakitan pada Aliana akibat cubitan pada perut sampingnya.
"Sudah duduk, jangan banyak bicara nanti aku sumpal mulutmu dengan kaos kaki kalau terus berbicara." Aliana memerintahkan Ren untuk duduk di bangku halte sedangkan dia berdiri di samping tempat duduk Ren.
Ren pun menurut tapi, "tapi punggungku sakit lebih baik aku berdiri saja, kamu aja yang duduk." Ren menolak duduk dan malah meminta Aliana yang duduk di bangku tadi.
"Jangan sok menjadi pahlawan! Kamu sedang sakit, dan aku lagi baik hati menawarkan tempat duduk. Kamu duduk atau aku cubit lagi?" ancam Aliana, dan itu mempan. Ren dengan dengusan kesalnya pun akhirnya benar-benar menurut duduk dibangku halte yang lumayan ramai itu.
"Al?" panggil Ren dari duduknya, dan tangannya menarik ujung baju Aliana bagian samping, dia terlihat seperti anak kecil saat menarik baju Aliana yang berdiri.
"Hmm?" Aliana hanya merespon dengan berdehem.
"Al?"
"Aliana...."
"Al Al." Ren terus memanggil-manggil Ren dan menarik-narik ujung baju yang Aliana kenakan karena Aliana tidak menoleh padanya.
"Apa sih Ren, astaga kau ini aku jadi terlihat seperti ibu saja!" gerutu Aliana sambil menoleh pada Ren yang memegang ujung bajunya, sedangkan Ren menatapnya sambil mendongak dengan pandangan berbinar.