Siapa Pelakunya

1162 Words
Aliana lupa bahwa hukum untuknya adalah melupakan perasaannya pada Brian. Resiko dari ia berani mencintai terlalu dalam adalah rasa sakit dan sulitnya mengikhlaskan rasa cinta itu sendiri. Di dalam saat kepergian Aliana, tanpa Aliana sadar Brian yang tangannya masih menutup mata Ren menatap punggung sempit itu pergi tanpa berbalik sedikit pun keluar dari ruangan UGD tempat mereka berada. Tatapan mata Brian tidak bisa diartinya karena yang ia tunjukkan hanyalah tatapan tanpa ekspresi melihat pintu tertutup dari luar. “Al? Kok diam Al?” tanya Ren tiba-tiba karena ia tidak mendengar lagi suara Aliana berceloteh padanya dan faktanya ia tidak bisa melihat jika Aliana sudah tidak lagi ada di ruangan tersebut. Brian yang mendengar pertanyaan adiknya itu kembali melihat Ren yang lukanya masih dijahit oleh suster. “Dia baru saja keluar,” jawab Brian karena yang dicari oleh Ren sudah tidak berada di dalam ruangan itu. “Ha~? Kenapa keluar Bri? Dasar tidak bertanggung jawab padahal lukaku karena dia,” gerutu Ren yang sedikit tidak terima Aliana tidak berada di ruangan itu bersamanya untuk menunggunya. “Maksudmu?” tanya Brian penasaran, pertanyaan itu begitu saja keluar dari mulutnya dan pikirannya benar-benar melayang pada kejadian beberapa waktu lalu saat ia masih baru akan berangkat ke kampus dan mendengar pembicaraan kedua orang tuanya dengan seseorang melalui sebuah panggilan telpon. Ren menyadari kebodohannya karena keceplosan mengatakan alasan ia terluka. Sedikit panik tetapi tidak terlalu terlihat, Ren kemudian dengan cepat berpikir untuk mengatakan sebuah alasan yang tidak membuat Brian curiga apalagi bertanya lebih lanjut. “Itu, satu hari yang lalu aku membantu Aliana membersihkan halaman belakang rumahnya karena aku kasihan padanya tapi aku malah terluka karena ia tidak sengaja menggoreskan pisau yang ia pegang karena aku mengagetkannya dengan cacing yang aku temui di tanah,” jelas Ren dengan karangan bebasnya tapi bernada serius sedikit nada kesal di sana. Brian terlihat berpikir mendengar penjelasan dari adiknya itu. Ia ingin percaya pada ucapan Ren tadi tetapi ada yang mengganjal di pikirannya. Ia sedikit mengingat ke belakang di kejadian masa ia remaja. “Al…‼‼ LEPASKAN CACING DI TANGANMU ITU…!” suara teriakan seorang remaja perempuan yang tidak lain adalah Erisa, Erisa berlari-lari menghindari kejaran Aliana yang sangat cepat sambil membawa satu ekor cacing besar di tangannya sambil ia angkat untuk menunjukkan pada sang kakak yang sudah ketakutan bercampur kegelian melihat hewan kecil panjang berbadan lunak tersebut. “AHAHAHA…! KAKAK JANGAN TAKUT! AYO KEMARI!” teriak Aliana yang tidak kalah keras meminta kakaknya untuk berhenti menghindarinya. “TIDAK…! KAU BUANG DULU CACING DI TANGANMU!” teriak Erisa lagi. Sangat kebetulan dengan Brian yang baru saja datang ke rumah dua remaja yang sedang kejar-kajaran tersebut. Brian berdiri di pintu belakang melihat halaman belakang yang ada dua remaja, yang satu berlari mengejar dengan membawa cacing di tangannya yang ia angkat tinggi untuk menunjukkan pada sang kakak yang sedang berlari menghindari adik nakalnya itu. Erisa takut pada cacing berbeda dengan Aliana yang pemberani. Sedangkan Brian yang menonton hanya terkikik melihat tingkah laku kakak beradik tersebut. Brian mengangkat sebelah alisnya berpikir jika ia tidak salah mengingat yang takut pada cacing adalah Erisa bukan Aliana. Brian mencurigai Ren berbohong padanya. “Kau yakin Aliana takut pada cacing?” tanya Brian memastikan perkataan yang adiknya itu ucapkan tadi adalah sebuah fakta. “Ya, Alianakan memang takut cacing,” ungkap Ren dengan percaya diri. Nyatanya ia tidak benar-benar tahu tentang ketakutan Aliana sebenarnya. “Lalu karena Aliana takut dan ia melukaimu dengan pisau di tanganya begitu?” tanya Brian memastikan lagi. “Begitulah, ia ketakutan dan tanpa sengaja melukaiku itu saja,” jelas Ren lagi dengan nada menyakinkan agar sang kakak tidak lagi bertanya dan curiga padanya. “Apa masih lama sus?” tanya Brian dengan nada dingin pada suster yang sedang menggunting benang yang digunakan untuk menjahit luka milik Ren. “Sebentar,” jawab suster tanpa mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan di depannya. Setelah itu suster terlihat tengah memberikan perban lagi pada luka milik Ren. Suster mepester kain kasa yang sudah dilipat dan ditempelkan pada luka Ren. Karena suster sedang menempelkan kain kasa dan tidak lagi menggunakan jarum, Brian pun melepaskan tangannya yang digunakan untuk menutup mata Ren tadi. “Kok rasa pedas ya mataku,” ujar Ren setelah tangan yang menutup matanya sudah ditarik lagi oleh yang punya tangan, Ren membuka matanya dan mencoba berkedip karena terlalu lamanya Brian menutup matanya. “Kak tanganmu tadi tidak pedaskan?” tanya Ren hanya sekedar bercanda untuk menghilangkan rasa gugupnya dan mengalihkan pikiran Brian yang pasti masih memikirkan tentang darimana ia mendapatkan luka itu tadi. “Tanganku sehabis memegang air keras jika kau ingin tau,” celetuk Brian yang tentu saja ia berbodong jika ia benar-benar menyentuh air keras tentu saja tangannya sudah meleleh dari tadi. “Kau bisa saja berbohongnya padaku, aku bukan anak SD yang bisa kau bodohinya jika kau lupa,” ucap Ren mengingatkan kakaknya. Suster beranjak dari tempat mereka dan meninggalkan Rend an Brian, kini Ren sudah duduk tetapi masih berada di atas brankar. “Karena itu juga aku ini kakakmu dan hidup lebih lama darimu, kau juga tidak bisa berbohong padaku,” ucap Brian dingin dengan tatapan tertuju menatap lekat Ren, sedangkan Ren yang mendapatkan tatapan mengerikan dari Brian, terpaksa bungkam dan tidak berani untuk angkat bicara. Ren bahkan meneguk ludahnya seakan tenggorokannya saat ini sangat kering sehingga dengan susah payah ia meneguk ludahnya sendiri. “Aku tau kau berbohong tentang darimana kau mendapatkan lukamu itu,” tutur Brian dengan nada bicara serius. “Lalu Kakak akan apa? Kakak akan marah pada Aliana? atau akan marah padaku?” tutur Ren menebak apa yang akan Brian lakukan selanjutnya setelah mengetahui bahwa Ren benar berbohong atas ucapannya tadi. “Aku minta kau menjelaskan yang sebenarnya terjadi, darimana kau mendapatkan lukamu ini? Dan kenapa berhubungan dengan Aliana? Aliana tidak takut dengan cacing aku mengingat itu, yang takut pada cacing adalah Erisa. Jangan coba-coba untuk berbohong? Karena aku sudah tau semua kebohongan yang selama ini hidup berdampingan denganku,” ucap Brian dengan dingin dan serius, kini aura Brian sungguh seperti seorang yang sedang mengintrogasi tahanannya. “Mak-maksudmu? Darimana kau tau jika Aliana tidak takut cacing?” tanya Ren dengan terbata karena ia tidak mengerti dengan apa yang sedang Brian ucapkan padanya. “Aku tidak mengerti, kenapa kau bisa seserius ini, ini lukaku dan tentang aku dan Aliana. Bukannya kau membenci Aliana dan kau sendiri tidak pernah ingin ikut campur atau pun tersangkut urusan sedikit saja dengan Aliana,” papar Ren mengingatkan posisi Brian yang sangat membenci Aliana. “Tidak penting dan aku punya alasan,” balas Brian singkat. “Untuk saat ini sebaiknya kau ceritakan padaku apa yang terjadi mengapa kau mendapatkan luka ini dan apa hubungannya dengan Aliana?” tanya Brian lagi, ia terus menekan Ren untuk berbicara dan menjelaskan semua yang ia ingin tahu dari Ren. Ia ingin menghubungkan semua agar benar jelas dan memutuskan apa yang harus ia lakukan selanjutnya karena semua itu harus ia lakukan mengingat semuanya akan bertambah buruk jika ia biarkan. (b) ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD