Invinite

1134 Words
“Memangnya ada orang lain di sini?” tanya Angel pada akhirnya, karena kata pamannya sendiri tadi, ia baru saja membeli bangunan itu berserta isi dan tanahnya, dan sedang tidak ada yang mengurusinya. “Ada, dia orang lama yang bekerja dengan tuan yang baru saja,” balas sang paman tersenyum dan mengelus kepala Angel dengan sayang. “Oh, baiklah,” ucap Angel kecewa karena ia belum boleh menyentuh peralatan itu. “Kau pasti akan mendapatkan pelajaran yang sangat kau inginkan itu,” seru sang paman sambil tersenyum pada keponakannya yang ikut tersenyum senang pada sang paman. .... Sedangkan Erisa, Salsa kecuali Brian merasa bersalah karena mereka melupakan Aliana yang tertinggal di mobil, sedangkan Brian meresa mereka bertiga menjadi penjahat untuk Aliana di hadapan dua orang asing tersebut. “Alianna Awari, terimakasih tadi sudah peduli padaku dan membantuku keluar dari mobil,” ujar Aliana sambil ia memperlihatkan senyumnya menyimbolkan ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu khawatirkan. Aliana juga menyambut jabatan tangan dari Ressa, sedangkan laki-laki yang dikenal dengan nama Ariskalii Kenan itu hanya memperhatikan interaksi kakak sepupu dan orang yang ia kenal dengan nama Alianna Awari itu. “Yaudah kalau kamu tidak masalah, aku sama Kenan pergi dulu. Bye bye Alia...” pamit Ressa pada sekelompok anak muda itu, lalu Ressa menyeret adik sepupunya secara paksa menjauh dan menuju mobil mereka. “Maaf Alia, mbak tadi beneran kelupaan kamu ketinggalan” seru Erisa dengan nada menyesal, Erisa juga menyentuh pundak adiknya yang jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri. “Mbak juga, keasikan sampai lupa, maaf ya…” ujar Salsa menimpali kalimat dari Erisa. Lalu ia melihat ke sampingnya tempat keberadaan Brian berdiri acuh dengan keadaan. “Sean juga kenapa kau tidak ingat kalau Aliana juga ikut dan tertinggal di mobil! Huh!” bentak Salsa pada adiknya, kesal dengan ketidak perdulian Brian. Padahal dirinya sendiri juga bersalah, telah mengajak orang tetapi tidak bertanggung jawab, hanya karena Aliana tertidur dan mereka melupakan Aliana begitu saja. “Syukur saja Aliana tidak kekurangan oksigen karena terkurung di dalam mobil,” seru Salsa. Sedangkan Brian hanya membuang muka acuh pada perdebatan dan kemarahan dari kakaknya itu. “Udah mbak, aku tidak apa-apa kok, lihat aku baik-baik saja. Salah aku sendiri yang tertidur di perjalanan bukan salah kalian,” jelas Aliana menengahi agar perdebatan tidak berlanjut dan amukan dari Salsa bertambah panjang, karena hal itu akan membuat Brian akan semakin jengkel pada dirinya. Brian hanya memutar bola matanya jengah, sebenarnya ia tidak ingin disalahkan oleh Salsa dan Aliana pun membelanya dan mengakui sendiri kesalahannya. Ia tahu ia keterlaluan tidak membangunkan Aliana padahal ia sadar Aliana tertinggal. Tetapi ia tetap berperi kemanusia karena ia membuka lobang atap untuk udara tetap masuk dan bersikulasi dengan baik untuk Aliana di dalam. Tetapi Brian tidak membuka pembicaran untuk membela dirinya di hadapan Salsa walau ia sudah disalahkan. Karena kecanggungan pada Aliana, Akhirnya Aliana angkat bicara, “terus bagaimana? Apakah kita akan langsung pulang atau main lagi?” tanya Aliana pada siapapun yang ingin menanggapi pertanyaanya, tetapi di dalam hatinya ia berharap untuk pulang saja karena hatinya yang sudah terlalu lelah. “Pulang sajalah kumohon pulang, hatiku sudah lelah jika terjebak di kondisi seperti ini dalam waktu yang lama, bisa-bisa stressku bertambah saat besok aku UN,” keluar Aliana dipikirannya. “Kurasa kita lebih baik pulang saja, kasian Aliana hari senin dia akan ujian,” jawab Salsa mengerti dengan kondisi Aliana yang takut ia kelelahan. “Aku setuju, Alia kita tidak apakan langsung pulang saja, tidak bermain ke pantai dulu? mbak khawatir kau akan kelelahan nanti dan dapat memperngaruhi kesehatanmu,” ucap Erisa menambah ucapan Salsa tadi. “Aku tidak ikut ke pantai saja sudah lelah mbak,” rengek Aliana di dalam pikirannya. Ingin rasanya kalimat itu ia ucapka, tetapi ia masih menjaga hati kakaknya tersebut. “Kita ke bukit sebelum pulang mau?” tawar Brian, tawaran tersebut tentu saja tidak meminta untuk persetujuan Aliana, ia menatap wajah Erisa. “Kita pulang saja,” kata Salsa, sedangkan Aliana, ia hanya diam memperhatikan apa yang akan dilakukan Brian selanjutnya. Ia tidak ingin berdebat, ia benar-benar lelah untuk berdebat walau sebenarnya resiko berbicara dan tidak berbicara sama saja lelahnya. “Sayang mbak… besokkan free kami juga jarang-jarang bisa free,” ujar Brian membalas ucapan Salsa yang langsung tidak setuju jika mereka pergi sebentar singgah ke sebuah bukit yang menjadi objek wisata untuk para muda mudi, sambil menyebut dirinya dan Erisa. “Terselah kamu deh,” seru Salsa menyerah karena ia tahu adiknya itu memang jarang untuk keluar pergi belibur karena kesibukannya. Tanpa tahu tujuan sebenarnya dari Brian mengajak mereka pergi ke bukit itu sedangkan gelap menyapa mereka. “Iya?” tanya Sean lagi pada Erisa. “Ya terserah kamu saja,” jawab Erisa kemudian. Aliana tetap diam karena bersuara dan tidak bersuara tidak ada ubahnya. Ia menyerah sudah dapat dipastikan hatinya semakin lelah, ia sudah menduga keikut sertaan dirinya adalah suatu yang sia-sia dan mebuang-buang waktu saja. Tetapi karena menghargai ajakan dari Erisa dan Salsa ia mau tak mau ikut juga. Mereka kembali ke mobil dan berangkat menuju bukit terdekat yang masih satu area dengan pantai yang merupakan salah satu destinasi wisata juga, tempat itu akan ramai pada malam-malam akhir pekan. Sesampainya di sana, mereka turun dan berjalan. Tempat itu cukup ramai tapi keindahan pemandangan gelap dihiasi lampu warna-warni tetap menyajikan keindahan memanjakan mata, terdapat meja dan kursi kayu serta warung penjual kopi yang merupakan pembuka wisata tersebut. Ada tempat duduk yang mengelilingi api unggun, tempat ini dapat membuat pengunjung yang tidak saling menjadi saling kenal, kondisi persis seperti sebuah acara kemah yang mengadakan api unggun. Terlihat ada tempat tempat yang terdapat api unggun sudah dipenuhi dengan pengunjung yang sambil bernyanyi karena salah satu penggunjunga yang memainkan gitar yang disediakan oleh pembuka wisata itu sendiri. Salsa dan Erisa berjalan duluan karena Salsa yang tidak sabar untuk mengambil foto keindahan langit berbintang dengan luasnya lautan terlihat dari atas bukit tersebut. Brian menghampiri Aliana, “kalau kau ingin pulang, pulang saja. Mungkin kami akan lama di sini,” seru Brian tanpa melihat lawan bicaranya. Aliana masih setia dengan mengatup kedua bibinya, ia tau artinya walau Brian tidak dengan nada mengusirnya. Tapi nada acuh yang dingin itu sudah mengisyaratkan bahwa ia tidak diingikan berada diantara mereka. Brian berjalan mendahulu Aliana, Aliana berpikir bagaimana ia akan pulang karena tempat itu jauh dari kota yang pastinya untuk kendaraan umum tidak akan ada di sana. Malam sudah melukiskan dirinya, gelap. Pilihannya antara bertahan di sana atau pergi untuk pulang jika memilih pulang ia malah bingung sendiri, “mau di sini aja badan aku udah lelah banget, bukan badan aja kalau gini, hati sama pikiran juga. Kalau pulang? Bagus sih, cuma bagaimana cara pulangnya…” rengek Aliana di dalam pikirannya. Kalimat dan sifat Brian tidak pernah tidak menyakiti dirinya, bahkan untuk sedikit mengurangi ke egoisannya pun tidak bersedia. (b) …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD