Chapter 3

2271 Words
Setelah puas menangis, Aqnes lebih memilih kembali ke perkemahan dan berdiam diri di dalam tendanya. Dia cukup paham dengan apa yang dia dengar tadi.  Tak ada cinta di hati Iqbal untuknya. Selama ini semua hanya kesia-siaan.  Tapi saat Agnes ingin menyerah,  Agnes kembali teringat ucapan Angel yang mengatakan bahwa Agnes akan bisa mendapatkan Iqbal kalau gadis itu tak patah semangat. Lagi-lagi Agnes mengusap wajahnya kasar dan kembali menghembuskan nafasnya cukup kuat. Nanti malam adalah acara api unggun sekaligus menjadi acara penutupan. tapi Aqnes sunggu tak berminat lagi untuk tetap di sana. Aqnes mengemasi barang-barang yang sempat dia keluarkan dari tasnya. Menyimpannya dengan acak, tak peduli dengan beberapa pakaiannya yang masih rapi di dalam tas akan kotor atau kusut. "Aqnes!" Daniel masuk tanpa permisi ke dalam tenda adiknya. Dia tahu kalau Aqnes baru saja menangis karena mata gadis itu terlihat sangat bengkak. Apalagi Agnes yang tak ada di acara setelah insiden pendorongan pada Nami dan Iqbal yang marah besar. Apa adiknya ini mengikutinya? – batin Daniel menerka. Agnes yang melihat Daniel masuk dalam tendanya, seketika langsung menghentikan aktifitasnya. "Eh kak Daniel. Kenapa kak?" tanya Aqnes yang mengubah raut wajahnya seolah tak terjadi apapun. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Daniel khawatir. "Maksud kakak?" "Yang tadi, kamu nggak apa-apa?" Aqnes tersenyum menanggapi ucapan Daniel. Setidaknya biarkan senyumnya ini menjadi senjata terakhirnya untuk menipu hati. Menipu apapun yang membuatnya terluka. "Nggak apa-apa kok kak! Kak Iqbal memang kayak gitu sama Agnes, jadi gak perlu dimasukin hati." "Kamu marah sama Iqbal?" Tanya Daniel lagi. "Hm? Nggak! kenapa Aqnes harus marah? Semuanya sama kali kak. Aqnes suka sama kak Iqbal dan kak Iqbal suka sama kak Nami. Benarkan kak Nami orangnya?" tanya Aqnes memastikan. Hatinya kembali nyeri saat Daniel menganggukkan kepalanya. Ternyata benar apa yang pernah kak Angel bilang padanya. Iqbal akan melindungi siapa saja yang dia sayangi. Kak Iqbal membentaknya dan kak Nami dibantunya.  Hal Itu sudah jelas menunjukkan kalau dirinya tak pernah dianggap ada oleh Iqbal serta keberadaannya tak pernah berharga di mata cowok itu. "Sama dengan perasaan kak Iqbal pada kak Nami, perasaan Aku pada kak Iqbal seperti itu juga. Bedanya, kak Iqbal lebih beruntung tak diperlakukan seperti ini oleh Nami. Jadi buat apa Agnes marah kak, itu artinya Kak Iqbal bukan buat Agnes. Kakak sendiri pernah bilang kan kalau Agnes gak boleh maksain cinta" jawab gadis itu berpura tegar. Daniel menatap adiknya lamat. Dia tahu itu hanya kata dibibir Agnes saja. Sebenarnya dia yakin kalau gadis itu tengah terluka sekarang. "Itu artinya kamu..." "Iya kak. Aqnes nyerah! Sekarang Agnes sadar dimana agnes harus berdiri. Lagian Agnes masih muda, masih SMA. Temen cowok Agnes pada cakep-cakep semua, agnes tinggal pilih satu dan tetapin hati Agnes buat dia. Ehheheeh!" Daniel terdiam cukup lama sebelum akhirnya lelaki itu mengangguk. Jujur, Daniel merasa kalau Agnes tak akan pernah bisa. Dia tahu seberapa besar cinta adiknya itu pada Iqbal. Tapi dia berharap, apa yang agnes ucapkan tadi bisa terwujud agar Adiknya itu tak tersakiti lagi. "Kakak berharap itu semua bisa terwujud." Agnes mengangguk mengaminkan ucapan Daniel. "Lagian jika Agnes nggak bisa move on juga, Nggak apa kak. Aqnes bisa pindah ke tempat mami di Jepang." Mendengar celotehan singkat adiknya, Danielpun langsung geram. "Pindah ke Jepang? Nggak! Kamu pikir kakak bakal biarin kamu! Nggak Aqnes..!" "Kak, Aqnes mohon..." "Sekali nggak tetap nggak!" "Kak Pliiiss!” Ini yang paling Daniel benci, melihat air mata adiknya. Dia benci melihat Aqnes menjadi lemah seperti ini. "Kakak nggak bisa jauh dari kamu Nes. Kita selalu sama-sama. Kalau kamu ikut tinggal sama mami papi di Jepang, kakak sama siapa?" lirih Daniel. "Hikss hiksss! tapi sakit kak." lirih Agnes yang lagi lagi kembali terisak. Daniel membawa Agnes dalam pelukannya. Memberikan rasa aman pada adiknya itu untuk tak menangis lagi. ***** Daniel kembali ke lapangan tempat para peserta berkumpul. Daniel memposisikan dirinya cukup jauh dari Iqbal. Lelaki itu saat ini tengah duduk bersama Nami dan Daniel tak berniat untuk bergabung barang sedetik pun. Entahlah, hatinya masih terluka melihat adiknya menangis. Sebisa mungkin dia akan menjauhkan Aqnes dari Iqbal. Tapi dibalik itu dia akan tetap menjaga persahabatannya dengan Lelaki tersebut. Karena baginya persahabatan dan cinta tak bisa dicampur adukkan. Acara berlangsung dengan sangat baik, dan sekarang tengah diadakan acara spesial yaitu api unggun. tapi ada satu hal yang membuat Iqbal sedikit risih. Daniel yang menjaga jarak darinya dan Aqnes yang tak muncul dalam acara tersebut. Selesai acara, Iqbal segera memenemui Daniel. Dia tak ingin persahabatannya dengan Daniel hancur. "Dan, Kenapa?" tanya Iqbal. Daniel yang hendak berjalan menuju tenda Agnes, langsung terhenti saat suara Iqbal menyapanya. "Hm? Kenapa apanya?" "Lo ngehindar dari Gue. Apa karena Agnes?" Daniel tak menjawab. Dia malah sedikit menerawang menatap langit. Lalu menatap Iqbal penuh. "Haaahhh!” helanya. “Gue bingung. Jujur di satu sisi gue pengen ngehajar Lo, tapi di sisi lain, Lo nggak salah karena memang Aqnes yang ngejar-ngejar Lo.!" "Sorry Dan! Gue nggak maksud nyakitin Aqnes. Gue." "Santai aja Bal. Cinta itu tak harus memiliki kan, siapapun boleh jatuh cinta termasuk Aqnes ke Lo. Saat manusia berani jatuh cinta, dia juga harus menyiapkan cara untuk mengobati kekecewaan. Karena mereka sejalan. Jadi gue yakin Aqnes bisa kok." jelas Daniel. Ada sedikit perasaan aneh yang Iqbal rasakan di hatinya, tapi sampai saat ini dia sendiri belum tahu itu perasaan sejenis apa. "Gue cuma..." "Nggak apa-apa bro, Santai aja! Lagian lo bisa bebas sekarang. Jangan pikirin Agnes yang akan ngerekcokin hidup Lo lagi. Karena dia sendiri sudah bilang ke gue kalau dia bakal nyerah. Dia bahkan bilang ke gue kalau teman-teman sekolahnya banyak yang menyukainya, jadi dia akan belajar menerima mereka." Iqbal terdiam seribu bahasa. Dia tak suka mendengar perkataan Daniel barusan. Sebuah titik di hatinya seolah berteriak untuk melarang Agnes melakukan itu. Esok paginya, iqbal juga tak melihat keberadaan Agnes. Setelah bertanya pada Daniel, Iqbalpun mendapati kenyataan kalau tak hadirnya Aqnes dalam acara api unggun semalam dan pagi ini  karena gadis itu sudah kembali ke rumahnya menggunakan mobil Daniel. Pantas saja Iqbal tak menemukan mobil Daniel di deretan mobil dan motor panitia lainnya. Tapi kapan Agnes pulang? Kenapa dia tak melihatnya. Entahlah, hatinya menjadi sedikit rumit sekarang. Bertanya pada Danielpun dirinya akan langsung mendapat tatapan mencurigakan dari sahabatnya tersebut. "Iqbal, setelah pulang dari sini kita makan siang dulu yuk.!" Lamunan Iqbal dikagetkan dengan Nami yang mengajaknya makan siang bersama. "Hmm. Maaf ya Nami, bukannya nggak mau. Aku capek. Pengen langsung pulang aja setelah selesai mengurus semua peserta pas nyape kampus nanti." harusnya dirinya senang Nami mengajaknya makan bersama. Tapi tidak untuk kali ini. Iqbal sungguh tak punya selera. Dua minggu sudah Agnes dan Iqbal tak lagi saling sapa. Semua berjalan seperti biasanya. Iqbal sibuk dengan kegiatannya dan Agnes sibuk dengan sekolahnya. Tapi untuk hari ini,  Agnes kembali datang ke rumah Iqbal. Bukan karena apa, tapi karena Angel yang memintanya untuk datang karena lelaki itu hari ini tengah berulang tahun. Angelpun juga sudah meminta izin suaminya untuk ikut menyiapkan kado kejutan untuk Iqbal yang kini tengah rapat di kampusnya. Kalian tahu, dokter bernama Mike Steven Gerald yang fotonya terpajang di spanduk pengumuman yang pernah Angel komentari waktu di parkiran kampusnya? Dokter itulah yang sekarang menjadi suami Angel. Kok bisa? Bisa atuh. jodoh emang nggak kemana. "Habis ini masak apa kak?" tanya Agnes yang sudah selesai dengan mengikat balonnya.  Bukan hanya mami dan papi Iqbal yang turut membantu. Amanda juga ikut andil. Mereka membagi tugasnya masing-masing.  "Udah nggak ada lagi sih. Semua udah selesai." jawab Angel santai. Benar juga. Semua sudah selesai ditata rapi. Menghias ruang tamu dengan tumpukan balon, menyiapkan kue ulang tahun bahkan menata meja makan dengan berbagai makanan yang tadi sudah mereka masak. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan sesuai janji Iqbal, dia akan pulang sekitaran jam segitu. Jantung Agnes berdegup kencang menunggu Iqbal kembali. jujur dia sangat merindukan lelaki itu. Di hatinya, Iqbal masih ada. Posisi Iqbal masih sama. Lima menit kemudian, sebuah mobil masuk dalam pekarangan rumah yang Agnes tahu itu milik Iqbal. Mereka yang ada di dalam tengah bersiap memberikan kejutan pada Iqbal sebelum sesaat mereka yang di dalam yang diberikan kejutan oleh Iqbal. Iqbal datang tidak sendiri. Dia bersama Nami dan tangan lelaki itu, tangan Iqbal menggenggam erat tangan Nami. "Iqbal?" panggil Angel dengan nada suara yang sedikit meninggi. Membuat dua insan yang masih asik dengan dunia mereka itu seketika terkejut. Iqbal menatap Angel dan sekeliling ruangan yang sudah terhias rapi dengan tampang bodohnya. Kenapa ada balon balon di sini? Bukannya janjinya hanya makan malam? Tapi tak berapa lama tubuh Iqbal seketika menegang saat netranya menatap gadis yang tengah berdiri  di dekat sofa TV. "Agnes?" batinnya. Seketika Iqbal langsung memisahkan tautan tangannya dengan tangan Nami saat Iqbal tahu kemana arah pandang mata Agnes. Suasana yang awalnya dikira akan meriah, seketika berubah menjadi tegang. Angel kini menatap Nami geram, bahkan jika tak mengingat dia tengah hamil, Angel pastikan dia sudah menendang gadis bermuka dua itu keluar dari sini. Sedangkan Nami, dia hanya terdiam dengan wajah sok polosnya. "SURPRAAAAIIISSS...!" Agnes berteriak. Gadis itu mencoba mencairkan suasana yang menegang. Sebenarnya dia lebih menerikakkan kata itu untuk dirinya sendiri. Jujur di sini, dia yang dibuat terkejut. "A—ha—haahhaha—Surpriiiisee..." tak hanya Agnes, maminya Iqbal dan Amanda pun ikut meneriakkan kata itu. "Ayo duduk dulu! Kamu bawa siapa Iqbal?" tanya Maminya setelah memeluk anaknya. Iqbal belum berbicara. Dia masih setia menatap mata Agnes yang tengah berbohong. Mata itu memancarkan aura berbeda dengan yang mulut gadis itu ucapkan. "Namanya siapa?" tanya maminya Iqbal pada Nami. "Nami tante." Nami langsung mencium tangan nyonya Ronald membuat Angel mendengus jijik. "Silahkan duduk Nami. Udah makan? Makan dulu yuk.!" "Belum Mi. Karena kalian bilang ada makan malam di sini, makanya aku bawa sekalian Nami." ucap Iqbal yang sudah melepaskan tatapan dari Agnes. Agnes menutup matanya dan menggigit bibir bawahnya untuk menyalurkan rasa sakitnya. Dadanya sesak saat ini. Bukan ini yang dia inginkan. "Ya udah. Kita duduk dulu! habis itu kita makan sama-sama.!" Agnes merasakan hatinya dicabik-cabik melihat perlakuan ramah mami dan papi Iqbal pada Nami. Tapi gadis itu sebisa mungkin menormalkan raut wajahnya. "Hmmm. Kak Iqbal. Tiup lilin duluuuu...!" ceria Agnes. Dengan semangatnya Agnes menghidupkan lilin yang sudah terpasang di Kue dan membawa kue tersebut ke arah Iqbal. Diikuti oleh Angel dan Amanda. Angel dan Amanda hanya bisa menatap Agnes lirih. Mereka tak sanggup membayangkan bagaimana rasa hati dan perasaan gadis itu sekarang. Pasti sangat hancur. Saat kalian menyukai seorang cowok, tapi cowok itu membawa gadis lain di depan kalian, apa yang akan kalian rasakan? rasa itulah yang tak Amanda dan Angel bisa bayangkan. Dan rasa itulah yang kini tengah Agnes dapatkan. "Ayo kak Tiup!” perintah Agnes dengan wajah ceria yang masih dia pertahankan. Diiringi lagu selamat ulang tahun dan tiup lilin, Iqbal melakukan apa yang Agnes suruh sesaat setelah Iqbal melafalkan dalam hati harapannya. Saat Iqbal memejamkan mata untuk Make a wish, saat itu juga Agnes ikut memejamkan mata dan mengucapkan harapannya..     Tuhan. Semoga rasaku dengannya berakhir sampai di sini. Hapuskan rasa ini Tuhan. Karena aku tak sanggup lagi. Itulah yang Agnes batinkan. Lilinpun sudah ditiup. Agnes menyerahkan sebuah pisau kue dan piring kecil pada Iqbal. "Sekarang potong kuenya. Siapa niiihh yang bakal jadi penerima pertama kakak.?” Iqbal meraih pisau dan Piring itu dari tangan Agnes tanpa melepaskan pandangannya dari mata gadis itu. Dia masih berbohong. Mata itu masih berbohong.-bisik Iqbal membatin. Agnes langsung beranjak menuju dapur dengan alasan ingin mengambil minuman dan membawanya ke ruang TV. Angel mengikuti gadis itu. Tapi apa yang Angel dapatkan. Angel melihat Agnes menangis terduduk di lantai. Dengan hati yang juga merasa sakit, Angel mendekati Agnes dan memeluk gadis itu erat. "Agnes nggak kuat kak. Di sini sakit." isak Agnes sambil menunjuk dadanya. Agnes menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisan dan isakannya agar tak terdengar sampai keluar. "Iya, Iya kakak tahu. Sekarang, kakak nggak akan larang kamu lagi. Kakak gak akan minta kamu lagi untuk bertahan. Pergilah! Pergilah dari Iqbal, hm?!" Agnes mengangguk. Angel semakin mengeratkan pelukannya pada gadis yang sudah dianggapnya seperti adiknya tersebut. "Sekarang, hapus air mata kamu! Jangan tunjukkan kalau disini tengah terluka." bisik Angel yang ikut menghapus air mata gadis itu. Agnes segera menghapus air matanya, mencoba menormalkan nafasnya kembali. Walaupun matanya yang sembab tak bisa berbohong, setidaknya biarkan ini menjadi yang terakhir. Dia menyerah selamanya. Angel keluar lebih dulu membawa minuman dan disusul oleh Agnes di belakangnya yang membawa cemilan yang tadi mereka buat. Saat berjalan, Agnes mendekat pada Angel dan berbisik. "Kak, habis mengantar kue ini Agnes langsung pulang ya." Angel menjawab ucapan Agnes dengan anggukan. Agnes kembali mencerahkan raut wajahnya saat dia dan Angel sudah tiba di ruang TV. Iqbal menatap gadis itu lamat. Hatinya tiba-tiba nyeri saat melihat mata Agnes yang sembab. "Dimakan Om, tante. Ini bikinan Agnes lo sama kak Angel. iya nggak kak!?” bahkan Agnes mengubah panggilannya pada kedua orang tua Iqbal menjadi Om dan tante yang dulunya dipanggil calon Mami dan papi mertua. Kedua orang tua itu hanya diam memperhatikan Agnes. Apalagi saat panggilan untuk mereka sudah berganti. "Hmmm Maaf Om, tante, Kak Iqbal. Agnes nggak bisa lama-lama. Kak Daniel juga pesan ke Agnes tadi buat pulang cepat." "Agnes..." panggil Nyonya Ronald pada gadis itu. "Dilanjut aja acaranya. Agnes pamit pulang dulu ya. Oya kak Iqbal, selamat ulang tahun ya! Semoga langgeng sama Kak Nami. Kak Nami jagain kak Iqbal ya! heheheh" hancur! hancur sudah semuanya. Hatinya sungguh serasa dicabik paksa. Agnes segera berdiri, meraih tasnya dan berjalan keluar rumah. Kali ini dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Dengan isakan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Agnes meraung sejadi jadinya saat dirinya sudah berada di luar gerbang rumah Iqbal. Agnes berjalan cukup cepat tak peduli malam yang akan membuatnya ketakutan. Tak peduli dengan apa yang akan dia temukan nanti di jalan sampai langkah gadis itu terhenti saat sebuah tangan menahan geraknya untuk melaju..  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD