9. Kakak?

1830 Words
Aku turun dari sebuah taksi, membayarnya lalu segera bergegas masuk ke dalam restoran. Aku melihat Reynand sedang bercengkrama dengan teman-temannya. Mungkin yang berada disana sekitar delapan sampai sepuluh orang, aku berjalan ke arah meja sambil menyembunyikan tangan dibalik punggungku sendiri, karena tidak ingin ketahuan oleh mereka kalau akun terluka. "Hai Rey! Maaf ya lama, tadi ada kendala sedikit." sapaku, Reynand menatapku begitupun dengan semua orang. Beberapa saat kemudian dia tersenyum hangat kepadaku. "Duduk dulu Rey, gak apa-apa kok. Santai kok," Reynand mempersilahkan aku untuk duduk di sampingnya. Restoran ini bergaya modern, bukan kursi yang menjadi tempat duduknya, melainkan adalah sofa panjang berwarna merah maroon. Tunggu! Pandanganku tak sengaja bertemu dengan orang yang sangat aku kenal. Dia sedang duduk di hadapanku sambil memegang sebuah gelas berisi minuman. "Fellicia!" pekikku beberapa detik kemudian aku menatap tajam ke arahnya. Oh jadi saat dia mengirimkan pesan pada ku bahwa dia akan bertemu dengan kekasihnya malah kesini. Dan bisa aku tebak bahwa kekasih Felli adalah... "Alvin?" aku berkata pelan namun masih bisa di dengar oleh orang-orang. Alvin mengangguk, "Kenalin dia pacar gue" jelas Alvin yang membuat aku terkejut. Wah berarti aku tidak perlu menjodoh-jodohkan mereka seperti apa yang telah aku pikirkan tempo hari di perjalanan pencarian jasad Putri. "Felli, kenapa lo gak pernah cerita sama gue?" Felli hanya tercengir lalu memasang wajah puppy eyes nya yang membuat aku tidak pernah bisa marah padanya. "Maafin gue Rey, belum sempat aja. "jawabnya, sambil tersenyum manis. "Vin dia Reyna sahabat aku, rekan kerja juga." Felli memperkenalkan aku pada Alvin. "Gue udah kenal kok, Fell" jawabku. Felli mengerutkan keningnya lalu menatap Reyna penuh selidik sampai-sampai sang empu memutar bola matanya. "Oh ya? Kalau udah kenal bagus, kenal dimana emangnya, lo juga gak cerita?" aku diberi pertanyaan beruntun darinya. Huft, aku harus menjelaskan dari mana dulu nih. "Pas gue ceritain kemaren waktu nyari jasad itu loh Fel," jawabku, untung saja aku sudah cerita padanya. Jadi tidak harus menjelaskan disini tentang pencarian jasad Putri yang sangat menyebalkan sekaligus membahagiakan bagiku. "Ohh pantes aja lo sebut nama Alvin si tukang rusuh sama iseng. Tapi, bener juga kata lo, Alvin emang tukang iseng." Felli terkekeh, sementara Alvin yang tak terima segera melayangkan protesan kepada kekasihnya itu. "Enggak ya!" Alvin menjawab dengan ketus. "Enggak menurut lo, Vin. Tapi menurut kita lo itu iseng. Persis seperti apa yang Reyna dan Felli katakan." timpal Angga, membuat aku dan teman-teman lainnya tertawa. "Reyna, kamu mau pesan apa? Biar aku pesankan." tanya Reynand. Aku segera meliriknya kearahnya, "Juice avokado aja deh, sama cemilan gitu. Aku lagi gak mau makan berat." Reynand mengangguk tanpa perlawanan, memanggil pelayan setelah itu memesan apa yang aku inginkan barusan. "Jadi ini loh cowok yang lo maksud, Rey?" Felli bertanya kepadaku tetapi matanya menatap ke arah Reynand yang fokus pada handphone nya. Entah sedang apa pria itu sampai-sampai aku tak di ajak bicara. Padahal dia yang mengajakku kesini. "Hmmm iya." jawabku singkat. Ingin rasanya aku mengadu dan meringis sekarang juga. Tanganku semakin sakit saja rasanya. Felli menganggukkan kepalanya lalu setelahnya memicingkan mata sambil menatapku, menatap dengan selidik, membuat aku bingung. "Reyna gue kok baru sadar. Lo abis nangis ya?!" Sial! Mulut Felli emang ember deh. Tak bisa ditahan ucapannya. Reynand yang fokus pada handphone segera menatapku. Tatapan matanya sama seperti Felli penuh selidik, kalau seperti ini aku seperti penjahat yang sedang di interogasi saja. Aku tak bisa mengelak, mana bisa aku menyembunyikan semuanya, lagipula lukaku kalau tak cepat di atasi bisa fatal. "Aku gak nangis kok," bibir ini masih saja ingin mengelak, apakah begini rasanya jika logika dan hati tak sejalan? Aku tahu ucapan ku tak akan ada yang percaya, sisa-sisa air mata masih ada dimata ku, hidup dan pipiku memerah. "Kenapa tangan lo di sembunyiin? Pasti ada apa-apanya kan? Hayo ngaku!" aku menghela nafas kasar. Sudah lebih dari lima tahun kita berteman dan Felli pasti mengetahui hampir semua sikapku, bahan semua sikap dan sifat ku. "Gue penasaran, lo nyembunyiin apa di belakang punggung lo? Tangan kan?" tanya Felli kembali, membuat semua orang semakin intens menatapku. Aku menatap melas pada Felli. Tapi percuma saja Felli tidak akan mengerti, tingkat kepolosannya melibihi bayi yang baru lahir dan jika terlalu lama dibiarkan maka tanganku akan infeksi dan tubuhku akan lemas karena kekurangan darah. Situasi yang sulit, aku tak ingin merepotkan Reynand lagi kali ini. Aku menghela nafas panjang, sebelum mengeluarkan tanganku dari tempat persembunyiannya. Aku masih menatap tajam ke arah Felli. Tatapan tajam yang sama dengan Reynand, dia juga menatapku seperti itu. Serius, kali ini aku seperti tersangka saja. Perlahan-lahan aku mengulurkan tangan yang terbalut kain kasa ke depan. Kasa itu tidak dapat membendung darahku sehingga kain berwarna putih berubah menjadi warna merah karena darah yang masih keluar banyak. Aku yakin ini pasti infeksi mengingat pisau yang dibawa hantu itu sudah karatan, kepalaku juga sudah pening. Sebenarnya aku bingung, darimana hantu itu dapat pisau? "Astaga Reyna!" "Lo kenapa? Abis dibegal ya? s****n tuh orang! Mana ada yang luka lagi gak? Lo gak di apa-apain kan sama begal itu?" Runtut Felli dengan pertanyaan yang begitu banyak, membuat aku malas untuk menjawabnya. Felli beranjak dari duduknya, lalu duduk disamping ku tepatnya disofa yang masih kosong. Felli memegang tanganku yang luka lalu mencoba membuka kain kasa tersebut dengan perlahan-lahan. Aku sampai meringis karena tarikan itu. "Alvin beliin perban sama alkohol dong di apotek depan, boleh?" Felli meminta bantuan pada kekasihnya, sebenarnya aku sungkan dengan Alvin. Kita baru saja kenal, tetapi aku sudah mengusahakannya. "Boleh, sebentar ya." Alvin mulai melangkahkan kakinya. Untungnya apotek berada tepat didepan restoran ini jadi tidak harus memakai kendaraan untuk sampai kesana. Hanya menyebarnya saja sudah cukup. Felli sudah meringis melihat luka lebar yang menganga. Matanya sudah berkaca-kaca sambil selalu meneliti luka itu. "Kenapa bisa gini?" tanya Reynand. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Namun perkataannya masih terdengar tenang. Haruskah aku menceritakan perihal hantu itu disini? Di depan orang-orang banyak? Aku menggeleng pelan. Beberapa saat kemudian Reynand mencekal sebelah pergelangan tanganku yang tidak terluka, membuat jantungku lagi-lagi berdebar sangat kencang. Hmm aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung kok! "Rey jawab jujur ini kenapa, hmm?" aku menatap mata Reynand yang menunjukkan kekhawatiran padaku. Satu hal yang tak bisa aku lakukan adalah berbohong, rasanya ingin sekali aku mengeluh jika aku sekarang sedang ketakutan dam kesakitan, tetapi ini bukan saat yang pas. "Yang, nih perban sama alkoholnya" suara Alvin dapat mencairkan suasana yang sempat menegang, untung saja alvin cepat datang. Jadi aku dapat mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan Reynand, dia segera melepas cekalan tangannya lalu mempersilahkan Felli untuk mengobati luka yang menganga lebar ditangan ku. Ia mengambil perban tersebut dari tangan pacarnya dan membukanya. Felli membersihkan luka sayatan dengan telaten, sesekali aku meringis karena merasa perih akibat alkohol. Bahkan teman-teman Reynand pun ada yang meringis juga. Serius rasanya memang sangat perih. Perumpamaannya seperti luka yang disiram dengan alkohol sama saja dengan luka lebar yang di siram dengan air garam. Perih! "Hmm, sepertinya luka lo harus di jahit deh. Lo bawa alat nya gak? Biasanya lo kan sering bawa?" tanya Felli sambil menatapku. Aku mengangguk, sementara Reynand malah menatap Felli penuh selidik. "Ada ambil di tas, sekalian sama suntik biusnya ya. Tapi tanganku aja ya yang kena bius, gak kuat perih nih," jawabku. Felli segera mengambil tas aku yang berada di belakang tempat duduknya. Untung saja aku selalu membawa kotak P3K berukuran kecil jika berpergian kemanapun. "Lo berpengalamankan ngobatin kayak gini? Kalau enggak mending gue bawa Reyna kerumah sakit aja deh," Reynand menatap Felli masih dengan tatapan yang sama, tatapan menyelidik. "Gue dokter bedah kalau lo mau tahu. Tempat kerja gue di rumah sakit depan kantor kalian" Felli menjawabnya dengan sewot. Aku hanya terkekeh saja . Reynand menggaruk tengkuknya, dan raut wajahnya seperti menunjukkan tidak enak atas perkataannya barusan. "Sorry, gue gak tahu" Felli mengangguk sebagai jawabannya, dia segera mengobati tanganku. Reynand terus memperhatikan tanganku yang sedang di jahit oleh Felli. sementara teman-temannya bergidik ngeri. Antara takut jarum atau malah takut dengan lukaku. "Kamu belum jawab pertanyaan aku Rey," Astaga, Reynand masih saja mempertanyakan ini. Padahal aku takut untuk membahasnya. Aku mengeha nafas sejenak sebelum bercerita, percuma saja mereka pasti ingin tahu mengapa aku seperti ini. Aku mulai menceritakan tentang hantu Jepang itu kepada mereka 'pun menatapku dengan pandangan yang berbeda-beda, sulit di artikan. Aku yakin mareka semua sudah tahu tentang legenda hantu Jepang. Aku sengaja tidak memfokuskan pikiranku karena tidak ingin membaca pikiran mereka. Menurutku tidaklah sopan mengetahui tentang privacy orang tanpa adanya hal yang penting dan mendesak, contohnya seperti kemarin saat di kantor polisi, itu termasuk hal mendesak kan? "Kenapa kamu gak telepon aku aja? Aku kan bisa jemput kamu Rey" Tanya nya lembut, kali ini suaranya menunjukkan kekhawatiran. "Aku gak mau ngerepotin. Lagi pula gak tau kenapa lorong itu sepi dan ... Terasa panjang" elakku membela diri sendiri. Reynand mengelus rambutku dengan lembut, membuat tubuhku menegang. mata hitam legam nya menatap mata berwarna hazel milikku dengan tatapan lembut, membuat aku salah tingkah. "Kamu sama sekali gak ngerepotin. Mulai saat ini kamu harus janji, kalau ada apa-apa langsung telepon aku" Entah dorongan dari mana aku mengangguk dengan ucapan Reynand, seolah-olah aku tidak dapat menolak apa yang sudah Reynand ucapkan. "Ekhmm dan ... Kapan nih di jadiin nya." Suara yang sangat aku kenal itu berbicara, siapa lagi kalau bukan Alvin. Aku tahu maksud dari perkataan Alvin itu apa, dasar Alvin si tukang iseng. Sumpah aku malu saat ini, mana Reynand malah senyum-senyum lagi, membuat aku semakin malu dan tentunya terpesona dengan ketampanan dan juga senyum manisnya. Hmm ada yang mau nendang aku ke planet pluto gak sih? "Hallo bro, maaf gue terlambat. Macet nih" Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang memakai topi dan baju serba hitam menghampiri meja kita sembari berbicara seperti itu. Kedatangan laki-laki itu bersamaan dengan selesainya Felli menjahit lenganku. Kini punggung tanganku sudah diperban dengan baik, sekarang tidak ada lagi darah yang keluar. Namun, aku sedikit pusing dan mual dengan bau anyir darah. Aku menatap laki-laki itu dengan seksama, memastikan jika itu benar dia, laki-laki itu juga menatapku. Beberapa saat kemudian, aku segera berdiri dan berhambur kepelukannya, sampai-sampai dia hampir terhuyung kebelakang, namun tenaganya dapat mengimbangi berat tubuhku yang tidak seberapa. Aku memeluknya dengan erat menyalurkan rasa rindu yang sudah dua bulan tak bertemu, dia juga membalas pelukanku tak kalah erat sambil menciumi puncak kepalaku dan juga keningku secara berkali-kali. Kebiasaannya memang seperti itu, jika kita lama tidak bertemu. Sudah beberapa menit kita berpelukan, namun aku masih enggan untuk melepaskannya. Jujur saja aku sangat merindukan kehadirannya. "Pacaran mulu nih, duduk dong gak pegel napa." Aku melepaskan pelukan saat Felli berbicara seperti itu, lupa jika di sini bukan hanya ada aku. Aku segera melirik satu persatu wajah mereka pun memasang wajah bingungnya. Hingga pandanganku beralih pada Reynand yang tengah fokus dan jatuhnya malah seperti pura-pura fokus melihat handphone-Nya. Wajah nya terlihat datar dan kecut sekali, ada ketidaksukaan yang tergambar diraut wajah Reynand. Dia kenapa ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD