Alea ingat, ini adalah hari Minggu. Maka dari itulah sejak tadi ia memilih untuk tetap berguling di bawah selimut sembari memeluk erat guling empuk di hadapannya. Sesekali gadis berusia dua puluh tahun itu bergumam tidak jelas, seolah ada yang tidak benar-benar beres pada kesadarannya. Mungkin, karena efek mabuk semalam.
Alea mengejapkan matanya beberapa kali saat merasakan ada sesuatu yang aneh. Seingatnya, kasur di kosnya tidak seempuk dan senyaman ini. Belum lagi, aroma ruangan ini juga sangat berbeda dengan kamar kosnya.
Kemudian, ia mengingat kembali apa yang sempat terjadi padanya semalam. Untuk pertama kalinya, Alea menginjakkan kaki di sebuah kelab malam atas ajakan teman kosnya yang bernama Gita.
Gadis itu segera menarik dirinya untuk terlentang, menatap langit-langit kamar yang tampak begitu asing. Benar. Ini bukan kamar tidurnya!
Alea hampir saja menangis saat bayangan-bayangan mengerikan menghantui otaknya. Terlebih, saat ia tersadar jika ia kini sudah tak mengenakan pakaian yang ia kenakan semalam lagi. Ia hanya mengenakan sebuah kemeja kebesaran tanpa celana, yang entah milik siapa. Ia hendak merengek, sebelum akhirnya suara langkah kaki berhasil menyita atensi mahasiswi jurusan Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri itu.
Alea menoleh ke samping – ke arah suara langkah itu berasal dan kian mendekat. Matanya membulat begitu ia melihat sesosok pria asing dengan celana trening dan kaus berlengan panjang yang melekat pas di tubuhnya. Pakaian yang tergolong santai, yang mengisyaratkan jika tempat ini merupakan kawasan teritorialnya.
“Apa yang kau lakukan padaku?” sentak Alea sambil menatap tajam pria dewasa di dekat tempat tidurnya tersebut.
Pria itu mengernyitkan alisnya tidak mengerti. Ia sendiri bingung, kenapa gadis di atas tempat tidurnya itu tampak begitu frustrasi dan marah. Memang, apa kesalahannya?
Alea kembali menunduk, menatap tubuhnya yang sudah berbalut kain asing. Ia menduga, kemeja yang ia pakai kini adalah milik pria dewasa di dekatnya tersebut.
“I- ini pasti bajumu, kan?” tanya Alea memastikan. Dan seperti yang ia duga, pria itu menganggukkan kepalanya.
Kepala Alea mendadak terasa begitu pening. Ia teringat kembali dengan apa yang menimpanya akhir-akhir ini.
Kesialan datang silih berganti, membuatnya terlampau lelah hingga akhirnya nekat mengikuti ajakan temannya untuk menghabiskan akhir pekan mereka di sebuah kelab malam. Namun, tiba-tiba saja ingatannya hilang setelah ia menyesap sebuah cairan bercita rasa aneh. Pahit, tetapi juga manis. Dan kini, pikirannya benar-benar buntu.
‘Jadi, semalam aku mabuk?’ batin Alea bertanya-tanya.
Belum sempat pria dewasa itu bersuara, Alea sudah lebih dulu kembali mencecarnya.
“Pokoknya kamu harus bertanggung jawab! Tidak peduli siapa pun kamu, dan apa yang sudah kamu lakukan padaku semalam, kau harus menikahiku secepatnya!”
Alea sendiri belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja ia katakan. Apalagi, begitu rasa mual muncul secara tiba-tiba. Membuat gadis yang hanya berbalut kemeja kebesaran itu refleks melompat dari tempat tidur, dan dengan langkah sempoyongan segera menuju ke arah pintu yang ia yakini sebagai kamar mandi.
Untung saja dugaannya tidak salah. Ia langsung bersimpuh di depan kloset, memuntahkan seluruh isi perutnya hingga tubuhnya terasa semakin lemah.
“Are you oke?”
‘Oh s**t!’
Rasanya Alea hendak mengumpat mendengar pertanyaan basi itu. Setelah melihat seorang gadis dengan kondisi sememprihatinkan ini, bagaimana bisa seorang pria dewasa masih bertanya demikian?
Alea merangkak ke arah wastafel. Ia memaksakan diri untuk berdiri dan mencuci mulut serta wajahnya sebelum akhirnya berbalik menatap pria di belakangnya. Kalau dilihat-lihat, ternyata pria itu memiliki paras yang cukup rupawan, meski Alea yakin usianya sudah tidak muda lagi.
“Perlu aku bantu?” tawar pria itu.
Alea menggelengkan kepalanya. Ia kembali memaksakan diri untuk berjalan keluar dari kamar mandi. Namun, tanpa ia duga, ternyata pria itu tetap membantunya. Lelaki itu menuntun langkah Alea yang terasa begitu menyedihkan, kemudian mendudukkannya kembali di atas kasur.
“Thanks,” ungkap Alea.
“Ya,” balas pria itu dingin.
Alea segera meraih bedcover untuk menutupi kakinya telanjangnya. Perlahan, wajahnya memerah saat kesadarannya mulai kembali. Ia mulai merasa malu dengan apa yang terjadi. Terlebih, pria di dekatnya masih tampak tidak bereaksi – setia memasang raut wajah dingin seolah tidak peduli.
“It- itu … kamu tahu di mana pakaianku? Aku perlu ganti baju dan pulang. Dan soal-“
“Pakaianmu kotor, jadi sekarang sedang aku laundry,” potong pria itu, masih mempertahankan nada dinginnya.
“O- oh …” Mendadak Alea tidak tahu harus bicara apa lagi. Setelah cukup lama terdiam, akhirnya ia mendongak menatap pria tersebut.
“Kenapa? Kau bisa memakai pakaianku terlebih dahulu selama pakaianmu belum diantar. Atau kau mau aku pesankan yang baru?”
“Eh? Ng- nggak usah,” tolak Alea cepat. Ia masih tidak segila itu untuk sembarangan menerima pemberian orang asing. Bahkan sekarang, dibiarkan memakai pakaian milik pria itu saja rasanya sudah sangat tidak enak.
Namun, seketika ia teringat dengan beberapa masalah yang datang bertubi-tubi dalam tiga bulan terakhir. Ia bahkan nyaris sempat putus asa karenanya. Alea meremas selimutnya sembari menggigit bibir bawahnya sendiri untuk mengurai amarah di hatinya.
"Apa ada lagi yang kamu butuhkan?" tanya pria dewasa di samping Alea.
"Ya. Aku butuh suami. Dan karena semalam kita sudah menghabiskan waktu bersama, itu artinya kau harus bertanggung jawab. Aku mau kamu menikahiku!" ucap Alea dengan lantang.
Lelaki itu menatap Alea sangsi. "Kamu bercanda? Aku sama sekali tidak melakukan hal tak bermoral itu padamu. Aku yang telah menolongmu, dan sekarang kau malah menuduhku yang tidak-tidak?" ucapnya tak terima.
"S-siapa yang bisa menjamin kalau kamu nggak ngelakuin apa-apa? Lagian, kamu nggak bisa nyangkal, kan, kalau kamu pasti udah melihat tubuh aku? Buktinya baju aku keganti dan-"
"Aku menggantikan pakaianmu karena semalam kamu muntah!" potong pria tersebut.
"Aku tidak mau tahu. Pokoknya kau sudah melihat asetku. Jadi kamu harus bertanggung jawab!" paksa Alea.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar kesal. Ia berniat baik dengan menolong gadis itu semalam. Namun, balasan apa yang ia dapat?
Saat pria itu hendak pergi, suara Alea berhasil memaksanya untuk kembali menoleh, "nikahi aku dalam dua bulan, atau berita kalau kita sudah menghabiskan malam bersama akan aku sebar."
"Kamu mengancamku? Aku masih bisa menyangkal. Lagi pula, kau duluan yang rugi kalau kau mengatakan kau sudah pernah ditiduri oleh seorang pria asing," balas pria tersebut.
"Oh ya? Walau kamu tidak punya barang bukti untuk menyangkal, sementara aku bisa kumpulkan rekaman CCTV di mana kamu membawaku ke hotel dalam keadaan mabuk semalam?"
Pria itu mengepalkan tangannya. Jika berita itu benar-benar keluar dari mulut Alea, maka hancur sudah karirnya.
"Aku dengar namamu sedang naik di industri musik. Apa itu akan baik-baik saja kalau aku buka suara di depan publik soal kejadian semalam?" Alea kembali mengancam.
Ia bukan tidak tahu siapa pria yang telah menolongnya sejak semalam. Dia adalah Fabian Erlangga - seorang produser musik berusia 40 tahunan yang masih betah melajang hingga saat ini.
Dan bagi Alea, Bian adalah target yang empuk yang dapat ia manfaatkan untuk kepentingannya saat ini.