Bab 5 : Jalan yang Tak Bisa Kembali

1146 Words
Izora membuka pintu mobil dengan ragu, masih memikirkan apa yang telah dia lakukan terhadap Keid. Bayangan suaminya yang tergeletak tak berdaya di lantai apartemen terus menghantuinya. Ada perasaan bersalah yang menyelubungi hatinya, meski bagian lain dari dirinya tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan keluar. Keid memang monster, tetapi tindakan Izora tetap terasa sebagai pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap satu-satunya hal yang dulu, meski penuh luka, pernah disebutnya "keluarga." Kini, dia meninggalkan segalanya. Dan untuk apa? Untuk menjadi orang lain dalam kehidupan yang dikendalikan oleh Theo—seseorang yang sama sekali tidak dia kenal. Theo, yang duduk di kursi pengemudi, tidak memberi kata-kata penghiburan atau penjelasan. Tidak ada empati yang terlihat di matanya. Dia hanya memandang Izora sekilas, lalu menekan gas mobil, meninggalkan gedung apartemen dan kehidupan lamanya dengan cepat. Saat mereka melaju di jalan-jalan kota yang sepi, Izora merasa dirinya seperti terombang-ambing. Hujan tipis mengguyur kaca depan, membentuk tirai kabur di luar jendela. Apa yang telah aku lakukan? pikirnya. Rasa bersalah dan ketakutan semakin merayap dalam dirinya. Dia telah menyerahkan hidupnya pada Theo, dan sebagai imbalannya, dia melepaskan apa yang tersisa dari masa lalunya, termasuk Keid. Keid mungkin pantas mendapatkan apa yang dia terima, tapi tetap saja, Izora merasa ada sesuatu yang tak benar. Apakah aku terlalu jauh? Mobil terus melaju, menembus jalan yang kini semakin jarang dilalui kendaraan. Mereka keluar dari pusat kota, menuju daerah yang semakin asing bagi Izora. Cahaya kota mulai meredup di belakang mereka, dan mobil meluncur ke jalan sempit di antara hutan lebat. Akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah mansion megah yang berdiri menjulang di tengah-tengah hutan. Bangunan itu terlihat seperti istana yang tersembunyi dari dunia, dengan aura misterius dan kesendirian yang mendalam. Theo keluar dari mobil, gesturnya tetap tenang, seolah-olah ini hanya hari biasa. Dia menunggu Izora mengikutinya, tanpa sepatah kata pun. Izora menghela napas panjang dan keluar dari mobil. Dia menatap mansion di depannya dengan campuran rasa kagum dan ketakutan. Tempat ini... seperti jebakan emas. Terlihat indah, tapi terasa hampa. Ketika mereka masuk ke dalam mansion, kesan mewah langsung terasa. Dindingnya dilapisi marmer halus, lantai yang bersinar, dan dekorasi yang tak ternilai harganya. Namun, keheningan yang menggantung di udara membuat Izora merasa canggung. Mansion ini seperti museum yang tak dihuni oleh siapa pun kecuali bayangan masa lalu. Di dalam, para pelayan berdiri berbaris, menunduk saat melihat Theo. Salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan seragam hitam rapi, mendekati Izora dengan sopan. "Silakan ikuti saya, Nyonya," katanya lembut, nada suaranya ramah meski tampak formal. Izora mengikuti pelayan itu menyusuri lorong-lorong mansion yang luas dan tak bernoda. Semuanya terlihat sempurna, tetapi rasanya asing dan tidak nyata. Seperti mimpi yang indah namun aneh, pikirnya. Dia tahu ini adalah tempat di mana hidupnya akan berubah, tetapi tidak ada apa pun di sini yang membuatnya merasa aman atau nyaman. Mereka tiba di sebuah kamar yang luas dan mewah. Tempat tidurnya besar, dilapisi dengan selimut sutra dan bantal yang tebal. Jendela besar di sisi ruangan menghadap ke hutan lebat, menciptakan suasana yang menenangkan tapi juga penuh misteri. "Anda bisa beristirahat di sini, Nyonya. Tuan Theo akan memberikan instruksi lebih lanjut nanti," kata pelayan itu sebelum meninggalkan kamar dengan tenang. Izora berdiri di tengah kamar, menatap sekeliling. Dia merasa kecil di dalam ruang mewah ini, seolah-olah tidak layak berada di sini. Tempat ini begitu kontras dengan apartemen kumuh yang selama ini dia tinggali bersama Keid. Namun, bukannya merasa lega, Izora merasa semakin terjebak. Apakah aku benar-benar memilih kehidupan yang lebih baik? Atau hanya penjara yang lebih mewah? Dia duduk di tepi tempat tidur, pikirannya terus berkecamuk. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain menunggu. Menunggu perintah berikutnya dari Theo, menunggu masa depan yang dia sendiri tidak tahu bagaimana bentuknya. *** Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Theo masuk dengan langkah tenang, seperti biasa. Tatapannya tetap dingin, penuh kendali, seolah-olah dia tahu persis apa yang akan terjadi dan bagaimana caranya membuat semuanya berjalan sesuai rencana. "Izora," panggil Theo tanpa basa-basi. Dia mengeluarkan selembar kertas dan pena dari dalam saku jaketnya, lalu mengulurkannya kepada Izora. "Tanda tangani ini." Izora menatap kertas itu dengan bingung dan cemas. Dia mengambilnya perlahan, membaca setiap kalimat dengan seksama. Itu adalah kontrak, perjanjian yang mengatur segalanya—dari operasi wajah hingga perubahan identitasnya. Setiap detail tercantum di sana dengan jelas, seolah-olah tidak ada ruang untuk kesalahan atau kebingungan. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika menyadari bahwa ini bukan hanya perjanjian biasa. Ini adalah kontrak yang akan mengikatnya dalam kehidupan baru, di mana tidak ada lagi dirinya yang dulu. Tidak ada lagi Izora yang lama. Hanya ada sosok baru yang akan dibentuk oleh Theo. Theo mengamati Izora dengan tenang, memberinya waktu untuk membaca dan merenungkan perjanjian itu. "Ini adalah langkah yang tak bisa dibatalkan, Izora. Setelah kamu tanda tangan, tidak ada jalan kembali. Kau akan menjadi seseorang yang berbeda." Izora menelan ludahnya, memandangi kertas itu lagi. Ini adalah titik balik yang menentukan. Jika dia menandatanganinya, hidupnya akan sepenuhnya berubah. Tetapi jika tidak, dia akan kembali ke hidup yang lebih buruk—kehidupan bersama Keid, yang hanya menawarkan penderitaan tanpa akhir. Dengan tangan gemetar, Izora mengambil pena yang diberikan Theo dan, setelah merenung selama beberapa saat, dia menandatangani kontrak itu. Saat tinta pena menyentuh kertas, dia merasa seperti melepas bagian dari dirinya yang dulu. Ini adalah akhirnya, pikirnya. Dan juga awal dari sesuatu yang tak pasti. Theo mengambil kertas itu tanpa berkata-kata, lalu memasukkannya kembali ke dalam jaketnya. "Persiapan untuk operasimu akan dimulai besok pagi," katanya singkat. "Istirahatlah malam ini. Kau akan butuh energi." Setelah berkata demikian, Theo meninggalkan kamar, membiarkan Izora sendirian dengan pikirannya yang semakin kacau. Operasi wajah. Kata-kata itu menggema di kepalanya. Dia mencoba membayangkan seperti apa hidupnya setelah operasi itu. Bagaimana wajah baruku? Bagaimana identitas baru yang akan aku jalani? Apakah aku akan mengenali diriku sendiri setelah ini? Namun, meski begitu banyak pertanyaan yang mengusik pikirannya, Izora tahu bahwa jawabannya hanya akan terungkap seiring berjalannya waktu. Satu hal yang pasti: dia sudah terikat pada pilihan ini. Tidak ada jalan kembali. *** Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan persiapan yang intens. Izora menjalani serangkaian tes medis dan evaluasi psikologis untuk memastikan bahwa tubuh dan pikirannya siap menghadapi perubahan drastis yang akan datang. Setiap kali dokter mengukur tekanan darahnya, memeriksa kondisi fisiknya, atau berbicara dengannya tentang prosedur yang akan dia jalani, Izora merasa semakin terisolasi dari dirinya yang dulu. Operasi wajah bukan hanya soal penampilan fisik, tapi juga soal perubahan identitas yang begitu mendalam. Tim medis mencoba memastikan bahwa dia memahami sepenuhnya konsekuensi dari prosedur ini, tetapi Izora semakin merasa seperti eksperimen di laboratorium—sebuah objek yang dikendalikan oleh tangan-tangan asing. Sementara itu, Theo tetap menjaga jarak. Meskipun dialah yang mengatur segalanya, dia tidak pernah terlibat secara langsung dalam persiapan medis Izora. Kehadirannya hanya terasa sebagai bayangan, selalu di belakang layar, mengendalikan setiap langkah tanpa benar-benar terlibat. Dan kini, dengan operasi yang semakin dekat, Izora tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali. Dia sudah menandatangani kontrak itu, dan nasibnya sekarang ada di tangan Theo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD