Bab 3 : Kartu Nama

1127 Words
Izora menatap Theo dengan perasaan bingung dan tidak percaya. Kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu berputar di kepalanya, seperti mimpi buruk yang tidak masuk akal. Teman tidur? Bagaimana mungkin, setelah semua yang terjadi, Theo bisa menawarkan sesuatu yang begitu... tidak manusiawi? "Apa maksudmu?" Izora bertanya, suaranya gemetar meski dia mencoba terdengar tegas. Dia menarik gaun rumah sakitnya lebih erat, mencari perlindungan dari kenyataan yang tiba-tiba menyesakkan ini. Theo berdiri di dekat jendela, posturnya masih tetap tenang, seperti tak tergoyahkan. "Operasi wajah akan membuatmu tak dikenali," katanya, tanpa menoleh ke arah Izora. "Setelah itu, kau akan punya identitas baru. Tak ada yang bisa melacakmu. Tidak Keid, tidak masa lalumu—semuanya akan lenyap." Kata-kata Theo begitu dingin, seakan ini hanya urusan bisnis biasa. Di dalam diri Izora, kemarahan mulai mendidih. “Jadi, itu rencanamu? Mengubahku jadi seseorang yang berbeda, lalu menjadikanku... apa? Teman tidurmu?” Theo menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah ucapan Izora sama sekali tak mengganggunya. "Ya," jawabnya singkat. "Kita tak perlu memasukkan perasaan dalam hal ini. Ini murni karena aku menginginkannya." Izora tersentak mendengar jawabannya. Sejenak dia kehilangan kata-kata. Menginginkan? Ini hidupnya, bukan transaksi yang bisa dibicarakan dengan dingin seperti itu! “Gila!” Izora membalas, nadanya penuh kemarahan. "Kamu kira aku siapa? Kamu mungkin menyelamatkan nyawaku, tapi aku tidak akan jadi barang daganganmu!" Tangannya gemetar, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena kemarahan yang semakin memuncak. Bagaimana bisa pria ini begitu dingin dan tidak punya perasaan? Theo tetap tenang, tidak tersentuh oleh emosi Izora yang meluap-luap. "Kamu bebas menolak," katanya datar. "Aku hanya menawarkan pilihan." "Pilihan? Kau pikir itu pilihan?" Izora tertawa sinis, suaranya hampir pecah. "Kau menyelamatkanku hanya untuk memintaku jadi p*****r? Cari saja orang lain untuk itu, Theo. Aku bukan orang yang bisa kamu beli." Theo diam sejenak, memandangi Izora yang napasnya mulai berat karena emosinya. Dia mengangguk pelan, seolah-olah sudah mengantisipasi jawaban itu sejak awal. "Baiklah." Dengan tenang, dia mengambil kartu nama dari saku jasnya, meletakkannya di meja samping ranjang Izora. "Jika kamu berubah pikiran, tawaran ini tetap terbuka." Izora hanya bisa menatapnya dengan perasaan tidak percaya. Theo tidak berkata apa-apa lagi, hanya berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah yang tenang dan mantap, seolah-olah tidak ada yang berubah baginya. Begitu pintu tertutup, Izora menghela napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, bukan hanya karena luka-luka fisik, tetapi juga karena beban emosional yang baru saja dialaminya. Rasa lega karena telah menolak tawaran Theo berbaur dengan ketakutan dan kebingungan. Apa yang akan terjadi sekarang? *** Hari-hari berlalu dengan lambat, dipenuhi kesendirian dan keraguan. Theo tidak pernah kembali setelah pertemuan terakhir mereka, dan Izora tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau justru semakin khawatir. Setiap hari, dia berjuang dengan perasaan campur aduk—di satu sisi, dia berharap Theo takkan pernah muncul lagi, namun di sisi lain, bayangannya terus menghantui Izora. Ketika dokter memberitahunya bahwa dia sudah cukup pulih untuk pulang, Izora merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan. Rumah sakit telah menjadi tempat perlindungannya sementara, tetapi di luar sana, Keid menunggunya—dan dia tahu betul bahwa ancaman dari suaminya lebih mengerikan daripada rasa sakit fisik yang dia alami. Saat Izora berjalan keluar dari rumah sakit, dia mengenakan pakaian baru yang diberikan oleh Theo, meskipun dia tidak pernah memintanya. Kartu nama Theo masih berada di sakunya, seperti sebuah pengingat yang terus menghantuinya, meskipun dia bertekad tidak akan pernah menghubungi pria itu. Namun, semakin dia menepis pikiran itu, semakin kuat bayangan tawaran Theo menyusup ke dalam pikirannya. *** Begitu tiba di rumah, suasana mencekam langsung menyelimuti dirinya. Rumah yang dulu menjadi tempat berlindung, kini tak lebih dari sebuah penjara yang menyeramkan. Dan di dalam penjara itu, Keid menunggunya—penuh kemarahan. "Kau pikir bisa melarikan diri dariku, hah?" Suara Keid bergemuruh saat Izora melangkah masuk. Wajahnya memerah, matanya menyala penuh amarah, seperti binatang buas yang siap menerkam. "Kau kira bisa hilang begitu saja? Kau mempermalukanku di depan semua orang!" Izora merasa tubuhnya menegang, rasa takut merayap dari ujung kaki hingga kepalanya. Kakinya gemetar saat dia melihat suaminya yang semakin mendekat. "Keid... aku hanya butuh waktu untuk—" "Shut up!" bentak Keid dengan kasar, memotong pembelaannya. Dia mendekat dan mencengkeram lengan Izora dengan keras. "Kau pikir bisa lari dari semua ini? Kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi?" Izora mencoba melepaskan diri, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk melawan. "Keid, tolong... dengarkan aku," ujarnya dengan suara gemetar, berharap suaminya akan menunjukkan sedikit belas kasihan. Namun, Keid hanya semakin marah. "Belas kasihan? Kau mempermalukanku di depan semua orang! Kau milikku, Izora!" Dengan kasar, Keid mencengkeram rambut Izora, menariknya hingga terjatuh di lantai. “Aku sakit, Keid... kumohon hentikan...” Izora merintih, tangannya mencoba menahan jambakan Keid. "Sakit? Kau belum tahu apa itu sakit!" teriak Keid dengan nada sinis. Dia menampar wajah Izora, membuat tubuhnya terhempas ke lantai. Izora merasakan air mata mulai mengalir tanpa bisa dicegah. Tubuhnya sudah lemah, penuh dengan luka yang belum pulih sepenuhnya, tetapi rasa sakit emosional yang Keid tanamkan jauh lebih menyakitkan. Tamparan, tendangan, dan kata-kata hinaan terus menghujaninya tanpa ampun. “Keid… kumohon…” suaranya semakin lemah, nyaris tidak terdengar. Namun Keid tidak peduli. Dia terus menyerangnya dengan kekerasan, tak sedikit pun belas kasihan. Setiap pukulan yang diterimanya membuat tubuh Izora semakin lemah, tetapi yang lebih hancur adalah semangatnya. Dia merasa seperti boneka yang tak berdaya di tangan pria yang seharusnya melindunginya. Waktu terasa berjalan lambat di tengah penyiksaan itu. Setiap detik bersama Keid terasa seperti neraka yang tak ada akhirnya. Bagi Izora, ini bukan sekadar kekerasan fisik. Ini pembunuhan perlahan-lahan terhadap harga dirinya. Ketika Keid akhirnya lelah dan meninggalkannya terkapar di lantai, tubuh Izora terasa hancur. Namun, luka-luka fisik yang ia derita tidak sebanding dengan luka emosional yang begitu dalam. Perlahan, dia merangkak ke sudut ruangan, meringkuk di sana sambil menangis. Dalam kegelapan itu, matanya terarah ke satu-satunya benda yang masih menggantungkan harapan: kartu nama yang Theo tinggalkan. Apakah ini satu-satunya jalan keluar? pikirnya, hatinya diliputi keraguan. Awalnya, dia yakin bahwa menolak tawaran Theo adalah keputusan yang benar, tetapi sekarang... Sekarang, tawaran itu mulai terasa seperti satu-satunya pilihan yang tersisa. *** Malam itu, setelah Keid tertidur pulas dalam mabuknya, Izora tetap terjaga. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jalan keluar dari neraka yang disebut rumah ini. Setiap saat yang dihabiskannya bersama Keid terasa seperti mimpi buruk yang tak ada habisnya. Dia tahu dia tak bisa terus hidup seperti ini. Dengan tangan gemetar, Izora mengambil kartu nama yang diletakkan di atas meja. Dia menatapnya lama, jari-jarinya menyusuri huruf-huruf yang tertulis di sana. Apakah aku benar-benar harus melakukan ini? Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, Izora mengambil ponselnya dan mulai mengetik nomor yang tertera di kartu itu. Jantungnya berdegup kencang, tangan bergetar, dan matanya berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian, suara dingin dan tenang Theo terdengar di seberang telepon. "Apa kamu sudah memutuskan?" tanyanya, suaranya tak berubah—tetap dingin, tanpa emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD