Manika menyipitkan mata saat melihat ke arah pakaian-pakaian dan kain-kain yang dijemur di bawah terik matahari. Subuh tadi ia mencuci pakaian semua penghuni rumah dan beberapa kain dan kini ia akan mengentasnya karena sudah dipastikan kering semua. Musim panas, apa-apa yang dijemur pasti akan cepat keringnya.
Dengan keranjang dari anyaman bambu, Manika mengambil pakaian dan kain yang sudah kering. Panas yang begitu terik, membuat tak hanya kulit yang terasa terbakar, keringat pun mulai menetes. Angin yang berembus tak memberikan efek sejuk sama sekali. Manika menyeka keringat yang mengalir dengan punggung tangannya.
Baru saja ia meletakkan keranjang cucian di tempat setrikaan, ketika Manika mendengar pintu depan diketuk dengan sopan. Kembali Manika menyeka keringatnya dengan punggung tangan dan mencoba merapikan rambut yang berantakan. Keluar keluhan dalam hati, karena potongan rambutnya yang pendek hingga susah diikat. Selalu masih ada helai-helai rambut yang lepas, meski rambut sudah dikuncir.
Manika tidak sadar jika anak-anak rambut yang melekat di kening, pelipis, dan pipi luar, justru membingkai wajah ayunya semakin ayu. Kecantikannya keluar semakin tegas.
Manika buru-buru ke ruang tamu. Dari pintu yang berkaca bening, yang diberi pelindung kain kasa tipis, ia bisa melihat sosok seorang pria, berdiri tegap dengan kedua tangan di pinggang. Perlahan-lahan Manika mendekat. Beruntung pria tersebut berdiri memunggungi pintu, jadinya Manika bisa mengira-ngira apakah pria itu orang baik atau oarng yang berniat jahat.
Pria itu mengenakan kemeja cokelat dengan bagian lengan yang dilinting. Manika membungkukkan tubuh, dengan sangat perlahan meminggirkan sedikit tirai kasa kaca, mencoba melihat lebih jelas lagi.
Sosok pria itu seperti seseorang yang ia kenal. Dengan lengan yang dilinting sampai ke siku dan punggung yang tegap, Manika yakin itu adalah pria yang menyapanya siang itu. Pria tampan yang membuat Manika mau berkenalan, meskipun kemudian ia memilih berlari menjauh ketimbang meladeni pertanyaan selanjutnya.
Jantung Manika berdegup keras. Dalm hati bertanya-tanya dengan penasaran, dari mana pria itu tahu dirinya tinggal. Manika sangat yakin, selain nama, ia tak menjawab apa pun.
"Dor!"
Manika yang tanpa sadar melamun dengan posisi mengintip, sontak terlonjak dan mengelus dadanya.
"Hai. Ingat saya?" Pria itu menempelkan kepalanya ke kaca agar bisa leluasa melihat ke dalam. Di wajahnya tersungging senyum yang kocak. "Manika, ini saya Rahadyan."
***
Danica terbangun dengan badan kesakitan karena posisi tidurnya yang salah. Ia tidak benar-benar tidur dengan merebah, melainkan tidur karena ketiduran dalam posisi duduk, bersandar di kepala tempat tidur, saat membaca buku harian bersampul hijau daun.
Buku harian Manika, ibunya.
Tadi, saat akan tidur, Danica merapikan gaun pengantin ibunya dan memasukkannya kembali ke lemari gantung. Saat itulah ia melihat semacam kecil di bagian dasar lemari. Danica tidak yakin dari kayu apa peti dibuat, yang jelas, peti itu cukup kuat, tetapi tidai terlalu berat.
Ada ukiran bunga krisan di bagian tengah penutupnya, dengan daun-daun yang meruncin di bagian pinggir badan kotak. Ada bagian yang digunakan untuk menggembok, tetapi tidak ada gembok yang tersemat. Sepertinya, memang sengaja tidak digembok agar siapa pun yang kelak menemukan peti tersebut, tidak kesusahan untuk membukanya.
Danica membawa peti itu ke tempat tidur dengan jantung berdegup kencang. Ia senang sekaligus penasaran akan isinya. Danica menemukan harta karun di rumahnya sendiri. Danica tidak berharap emas atau sesuatu yang sifatnya materialistis. Danica berharp itu adalah sesuatu yang melankolis.
Keinginan Danica terwujud. Tak ada emas atau uang. Yang ada adalah beberapa lembar foto buram, satu buku jurnal bersampul hijau, dan selembar surat dalam amplop warna biru langit.
Ada lima lembar foto yang pertama Danica lihat.
Lembar pertama adalah foro pernikahan ayah dan ibunya, di foto itu, ibunya mengenakan gaun kebaya beludru yang berwarna hijau. Ibunya benar-benar sangat menyukai warna hijau. Bahkan foto pernikahan yang disimpan di peti pun yang dipilih adalah yang mengenakan kebaya pernikahan warna hijau.
Danica membalik foto dan ada catatan tangan ibunya, berupa tanggal pernikahan.
Setelahnya adalah foto ayahnya yang difoto sampai sebatas d**a. Senyumnya terkembang lebar, hingga gigi-giginya yang rapi, mengintip manis. Ayahnya terlihat sangat gagah dengan pakaian kapten kapal yang serba putih. Topinya pun tak ketinggalan tersemat di kepala.
Tak Danica sadari, kalau ada senyum tersungging di wajahnya. Sepertinya senyum Rahadyan muda, menular pada putrinya lewat foto. Kali ini tak ada catatan apa-apa dibalik foto ayahnya.
Foto ketiga dalah seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang. Ia memiliki kecatikan yang khas. Alis seperti sabit, bola mata seperti biji kacang kenari, dan bibir tipis yang terlihat tertawa. Pakaiannya modis untuk di jamannya. Kemeja berbahan lembut yang mudah jatuh, ditemani outfit rompi yang pas di tubuhnya. Sama seperti Rahadyan, wanita itu foto hanya sampai setengah badan saja.
Sesuatu dari mata wanita itu, seolah-olah hidup. Seolah-olah menatap Danica dengan sebuah perasaan yang menyentuh. Danica tidak takut, hanya saja ia menjadi penasaran akan degup jantungnya. Wanita dalam foto, seperti akan mengatakan sesuatu. Sampai-sampai Danica perlu mendekatkan foto itu ke wajahnya.
Tapi tak terjadi apa-apa. Dnaica menghela napas. Ia membalik foto, berharap ada catatan di belakangnya.
Ajeng
Hanya itu. Hanya ada sebuah nama dan tidak ada keterangan lain.
Perhatian Danica teralih pada foto sesudahnya. Kali ini, foto yang diambil adalah foto seluruh tubuh. Latar yang diambil sepertinya adalah sebuah taman. Ketiganya berdiri di dekat sebuah pohon dengan ranting yang rindang dan cukup rendah.
Rahadyan berdiri di belakang. Selain tubuhnya paling tinggi, Rahadyan juga satu-satunya pria di sana. Salah satu tangan Rahadyan, berkacak pinggang, sedangkan satunya memegang salah satu dahan pohon. Ibunya dan wanita bernama Ajeng, berdiri bersisian dengan Ajeng yang merangkul pinggang Manika yang sepertinya ibunya sangat malu.
Pun begitu, ketiganya memberikan senyum terbaik saat foto diambil.
Danica membalik foto dan ada catatan nama lagi.
Saya, Rahadyan, Ajeng, Surya.
Danica kemudian menyimpulkan jika orang yang memotret adalah Surya, ayah Prasaja sekarang.
Foto terakhir adalah foto yang membuat hati Danica trenyuh. Di foto itu, ayahnya duduk di kursi teras sembari menggendong bayi. Dnaica yakin itu adalah dirinya. Jemari kecilnya memegang telunjuk ayahnya. Rahadyan sepertinya tak menyadari jika sedang difoto. Ia menunduk, tidak mengalihkan tatapan pada bayi dalam gendongan.
Di foto itu, meskipun ayahnya hanya terlihat dari samping, tetapi Danica merasa jika ayahnya sedang sangat sedih. Danica tidak yakin kenapa ayahnya sedih, tapi kemungkinan terbesar adalah karena saat foto itu diambil, ayahnya bersiap untuk pergi.
Danica membalikkan foto dan kembali melihat catatan ibunya.
Yang saling mencintai.
Danica tidak mengerti kenapa ibunya menulis begitu. Nyatanya, ia tak pernah merasa jika ayahnya mencintainya. Bagaimana ia bisa merasakan cinta seorang ayah jika wujudnya saja tidak pernaha da.
Danica mengabaikan surat dan memilih membaca buku harian ibunya.
Di halaman depan, tertuang kata-kata.
"Untuk Danica tercinta dan tersayang. Mama menuliskan lagi kisah ini agar kamu bisa mendapatkan apa yang tak bisa Mama berikan. Yaitu, sebuah awal mula."
Dan Danica mulai membacanya sampai ia tertidur dalam posisi duduk.
Danica memeriksa waktu dari jam dinding kotak. Sudah pukul dua malam. Danica masih mengantuk dan haus. Ia merapikan dulu foto-foto dan buku milik ibunya, lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu lagi. Danica meletakkan kotanya di meja nakas.
Barulah ia keluar untuk mengambil minuman.
Udara sangat dingin menyergap Danica. Embusan anginnya dari arah ruang depan. Danica mengernyit keheranan, tentang bagaimana udara sangat dingin bisa masuk ke salam rumah.
Saat ia keluar betapa terkejutnya Danica. Ia medanpati ayanya sudah duduk di kursi roda, berada di ambang pintu ruang depan. Tubuhnya kaku menatap keluar. Pada kegelapan malam yang sangat dingin.
Tanpa pikir panjang, Danica bergegas menghampiri ayahnya yang hanya mengenakan piyama tidur. Bagian selotip untuk infus, terlepas dengan cara berantakan. Danica yakin ayahnya menarik paksa jarum infus.
"Papa.... Ngapain Papa jam segini di sini?" tanya Danica pelan. Ia duduk bersimpuh di sisi kanan ayahnya.
Jantung Danica berdesir nyeri saat jemarinya menyentuh punggung tangan ayahnya yang begitu kurus hingga terasa tulang-tulangnya. Bukan hanya itu. Tangan ayahnya sangat dingin sedingin es.
Rahadyan menoleh. Tersenyum teduh menatap Danica.
"Menunggu Manika pulang."
***