Chapter 7

1345 Words
Wajah Prasaja langsung tegang begitu melihat ada mobil lain yang terparkir di halaman rumah Danica. Mobil hitam yang termasuk dalam golongan mobil mewah. Mobilnya sendiri saja kalah mahal dengan mobil yang terparkir rapi itu. Tapi, selain karena itu mobil mewah dan mahal, bukan itu saja yang menjadi gangguan bagi Prasaja, melainkan adalah rasa ingin tahu tentang siapa tamu mahal Danica. Gerbang pagar tidak dikunci, dipastikan Mbok Min sudah bangun. Wanita itu memang selalu sudah membuka gembok pagar selewat subuh. Dengan tangan kiri yang memegang rantang berisi bubur suro, Prasaja menggeser gerendel kunci gerbang pagar dari arah luar. Setelah masuk, kembali ia mengamati mobil mewah itu lebih dekat. Mengintip ke setiap kaca, meastikan bisa melihat sesuatu yang bisa memberikannya petunjuk siapa tamu Danica. Ia juga memegang kap mobil. Mencari tanda-tanda kehangatan yang bisa menjadi dasar perhitungan waktu kapan si tamu datang. Karena dingin, kemungkinan tamu Danica sudah datang sejak subuh tadi. Prasaja mendengar pintu depan dibuka. Ia menoleh cepat dengan antusias sesaat. Wajahnya berubah malas karena melihat Mbok Min yang membawa sapu. Mbok Min sendiri menatap Prasaja dengan keceriaan tuanya. Wanita dengan kebaya sederhana warna cokelat tua itu, bergegas mendekati Prasaja. "Waduh..., pagi banget datangnya, Mas Pras," ucap riang Mbok Min sembari menuruni anak tangga. "Danica sudah bangun, Mbok?" tanya Prasaja sembari jalan mendekat. Sempat ia melongokkan kepala ke dalam rumah. Tapi tak ada yang bisa ia lihat karena jangkauan pandangannya terlalu jauh dan sempit. "Masih tidur? Memangnya tidur jam berapa dia?" "Subuh tadi, Mas." "Karena ada tamunya itu, ya?" Nada suara Prasaja tidak bisa diembunyikan jika cemburu. Meskipun ia tidak tahu siapa tamu Danica yang kemungkinan itu, bisa jadi adalah teman wanita. "Siapa tamunya. Mbok?" "Temennya Mbak Nica," jawab singkat Mbok Min. Majikan putrinya itu sudah berpesan agar siapa saja yang tanya untuk menjawab begitu dan tidak memberikan jawaban panjang. "Siapa, Mbok?" "Nggg..., aduh..., siapa, ya...?" Mbok sedikit gelisah. Untuk yang satu ini, Danica tidak memberikan amant apa-apa. Justru karena tidak ada amanat, membuat Mbok Min merasa harus hati-hati bicara. "Kok malah balik nanya. Piye, sih, Mbok," ujar Prasaja kesal. "Ya..., soalnya saya ndak tau siapa. Wong, kamarnya tutupan. Pas, tamunya datang juga saya masih tidur. Jadi, datangnya kapan ya gak tau." "Tapi, kok itu tau kalau yang datang temannya Nica?" Andai tidak ingat status, ingin rasanya Mbok Min kabur aja masuk ke dalam. Baginya Prasaja sudah seperti seorang tua yang rewel. "Tadi, waktu subuh, Mbak Nica keluar kamar dan bilang kalau temennya datang. Sudah, gitu saja." Prasaja menghela napas. Mulai kesal dengan Mbok Min yang memberikan informasi setengah0setengah. Kemudian kesal juga dengan Danica yang tidak bangun. Prasaja mengulurkan rantang ke Mbok Min. "Ini bubur Suro." Setelah mengucapkan itu, tiba-tiba Prasaja menarik lagi tangannya. "Palingan Danica bangun siang. Dia gak akan makan buburnya. Saya bawa aja, Mbok. Buat saya sarapan. Ya, udah saya pulang dulu. Nanti siang saya datang lagi." Prasaja memutar tubuhnya dan dengan tanpa rasa bersalah, melangkah keluar dari rumah Danica dengan menenteng rantang dua tingkat berisi dua piring bubur Suro. Mbok Min hanya bisa geleng-geleng kepala menatap punggung Prasaja yang menjauh keluar. Makanan sudah disodorkan, bisa-bisanya ditarik kembali hany karena yang dituju masih tidur. "Dasar pelit. Untung Mbak Nica gak suka kamu." Mbok Min memonyongkan bibirnya dan memilih kembali pada tujuan awalnya membuka pintu, yaitu menyapu teras. *** Prasaja keluar dari salah satu kandang sapi perah dengan wajah ceria seperti biasa. Dua orang pria berjalan bersisian di dekat Prasaja, sedikit agak ke belakang. Mereka terus bicara, menginformasikan banyak hal pada Prasaja yang mendengarkan sembari mengangguk-angguk dengan antusias. Di belakang Prasaja sebenarnya bangunan baru untuk memerah sapi. Prasaja akan mendatangkan alat modern untuk memerah s**u sapi. Selain lebih efektif, menghemat waktu, yang pasti adalah lebih higienis. s**u akan memiliki nilai jual apik untuk didistribusikan. Setelah sampai di kantornya, dua orang mandor tadi berpamitan untuk memeriksa sapi-sapi lainnya. Prasaja mengangguk dan menoleh ke arah mobil sedan warna merah terang milik ibunya. Prasaja menghela napas. Ibunya pasti memburu berita. Bertanya dengan menggebu bagaimana kejadian tadi pagi. Sebenarnya Prasaja malas bertemu ibunya dan menceritakan kegagalannya bertemu Danica. Tapi, Prasaja tetap musti ketemu ibunya. Ia menganggp dirinya adalah seorang anak yang berbakti pada orang tua, ketimbang menganggp dirinya sebagai anak yang tidak punya sikap. Sekretaris Prasaja segera berdiri dan menghampiri Prasaja begitu melihat lelaki itu masuk. Dia meberikan informasi yang sudah diketahui Prasaja. "Ma," sapa Prasaja setelah masuk. Ternyata bukan hanya ibunya saja yang datangm tetapi juga Paramita, kakak perempuan Prasaja. Kedua wanita beda usia itu tampak cantik dan modis. Terutama Paramita yang sudah berias maksimal. Prasaja menduga keduanya pasti meminta uang untuk pergi kota tetangga dan belanja. "Ini rantang kok di sini?" tanya ibunya yang duduk di sofa tamu dengan rantang bubur yang sudah berpindah tempat.  Prasaja ingat jika rantang tadi masih di meja kerjanya. Sudah pasti ibunya yang memindahkan ke meja tamu. "Kamu gak kasih ke Danica?" tanya ibunya. "Wah, rakus. Dua piring bubur kamu makan sendiri?" sahut Paramita yang tadinya terlihat asyik dengan ponsel pintarnya. Padahal Prasaja berpikir kakaknya tidak akan ikut campur karena kesibukan si kakak dengan sosial medianya. "Danica masih tidur, Ma. Ya sudah saya bawa lagi aja ke kantor." "Masih tidur? Jam segitu masih tidur?" tanya Yuni terkejut. "Gila! Mentang-mentang tuan putri, santai banget bangun siang. Lah, nanti kalau jadi istri Pras, gimana tuh, Ma?" tanya Paramita. Pertanyaan yang sebenarnya adalah memanas-manasi situasi. Paramita seolah lupa pada dirinya sendiri yang selalu bangun kesiangan. "Danica kedatangan tamu. Kayaknya ngobrol atau apa gitu sampai subuh. Kata Mbok Min, Nica tidur selepas subuh." "Wuishhh..., penting amat tamunya. Diajak ngobrol sampai subuh," sahut Paramita lagi. "Memangnya siapa tamunya?" Prasaja menggeleng. "Gak tau. Mbok Min juga gak tau siapa tamunya Nica. Kata Mbok Min, datangnya tamunya itu sebelum subuh." Paramita dan Yuni saling pandang dengan tatapan heran. "Tamu datang tengah malam apa gimana?" tanya Yuni penasaran. "Gak tau, Ma. Yang jelas itu tamunya kata Mbok Min adalah temannya Nica." "Cewek apa cowok?" tanya Paramita. "Gak tau. Kan tadi dah bilang kalau Mbok Min aja gak tau tamunya apalagi saya," jawab Prasaja kesal. "Ya, kalau gitu kamu cari taulah. Udah selesai 'kan kerjaanmu? Kenapa gak ke rumah Nica aja?" saran ibunya yang penasaran akan tamunya Danica. "Ya, gak Mama aja ama Mbak Mita ke sana. Mbak Mita kan belum ketemu Nica." "Gak bisa! Saya ada janji salon. Perawatan seluruh badan," tukas Paramita. Prasaja hanya mencebik saja. Dalam hati mengejek kakaknya yang perawatan ini itu, tapi tidak ada cowok yang mendekati. "Mama juga gak bisalah. Mama ya juga mau perawatan." Ingin rasanya Prasaja mengeluarkan celetukan untuk ibunya. Sudah tua juga apanya yang mau dirawat? Tapi Prasaja memilih diam tak menciptakan keributan. "Ya, udah, sih. Kamu ke sana aja. Itu kan jodohmu. Ayo, Ma. Keburu siang banget," ajak Paramita sembari membenahi diri. "Pras kirim uang, ya. Lima puluh." "Hah? Lima puluh. Perawatan apa sampai habis lima puluh juta? Gak lagi operasi, 'kan?" "Ya, saya juga mau belanja. Sabtu depan, saya ada acara reuni, gak mungkin, 'kan saya pakai baju lama." "Mungkin-mungkin aja, sih. Orang juga gak akan ingat kamu udah pernah pakai baju apa aja." "Kok, jadi cerewet, sih," bentak Paramita ke Prasaja. "Ma!" "Kasih ajalah Pras. Mama juga minta buat salon dan belanja." Yuni mengikuti jejak putri sulungnya dengan santai. "Gak bisa. Saya kan baru kasih uang lima hari lalu," ucap Prasaja enggan. "Lho, kamu ini gimana, sih. Mama sudah mau siap-siap pergi kok kamu cegah." "Yang cegah mama siapa?" tanya bingung Prasaja. "Ya, kalau kamu gak kasih uang, artinya kamu larang Mama dan mbakmu melakukan perawatan diri. Serakah kamu sama uang." Prasaja menarik napas dalam-dalam sembari melirik ke arah kakak perempuannya yang tersenyum licik. "Ya, udah, Ma. Ini nanti saya transfer." "Sekarang!" "Iya." Prasaja mengeluarkan ponselnya dan mulai melakukan transaksi BANK. "Udah." Paramita dan Yuni saling pandang dengan girang. Keduanya langsung berdiri dan bersiap keluar ruangan. Paramita langsung berjalan ke pintu, sedangkan Yuni menghampiri putranya yang sudah duduk di kursi kerja. "Jangan lupa, ya. Sekarang juga temui Nica. Mama pergi dulu, ya." Yuni mencium kening putranya, mengusap lengannya dan mengikuti jejak putrinya keluar ruangan Prasaja. Meninggalkan Prasaja yang kemudian menggebrak meja dengan sangat kesal. Ia selalu disetir ibunya dan dirinya tak punya kuasa menolak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD