Agasta terhenyak dan langsung menoleh ke arah asal suara. Danica muncul, keluar dari kamarnya. Tatapan gadis itu tak lepas dari Rahadyan. Dengan pasti, Danica mendekat dan berdiri di sisi Agasta. Tatapan gadis itu tak berpaling dari Rahadyan. Agasta tidak bisa mengira-ngira apa yang Danica sedang pikirkan ataupu rasakan.
"Saya yang akan jemput Ibu Manika dan Danica."
Rahadyan tersenyum, kedua matanya berbinar menatap Danica. Raut kekesalan itu sirna. Tangan kanannya yang renta terulur ke arah Danica, cepat-cepat gadis itu menangkup tangan Rahdyan dengan kedua jemarinya. Tanpa diatur, Danica berlutut di depan Rahdyan, sembari membelai punggung tangan ayahnya itu.
Rahadyan tersenyum sangat lembut. Tangan kiri Rahadyan terulur dan membelai kepala Danica. Seketika hati gadis itu seperti disirami air yang sejuk. Begitu dingin tetapi menenangkan. Begitu rindu tetapi sekuatnya menahan rintikan air mata.
Untuk pertama kalinya Danica merasakan belaian sang ayah. Jemari ayahnya menyentuh tepat di kulit kepalanya, terasa sangat hangat. Berdesir ngilu hati Danica, jasadnya meronta sangat ingin memeluk sang ayah yang sebelumnya tak pernah ada. Namun, jiwanya masihlah kaku. Masih ada sakit yang belum sembuh.
"Istrimu, Gas?" tanya Rahadyan sembari terus membelai kepala Danica.
Pertanyaan ini pernah dilontarkan Rahadyan dan kini diulang. Rahadyan hanya ingat akan Agasta, tetapi melupakan Danica dewasa.
"Istrimu, Gas?" Rahadyan mengulang lagi sembari mendongak menatap Agasta.
Kedua mata Rahadyan berbinar. Ia terlihat senang dan bahkan seperti bahagia. Jemari Rahadyan yang ada dalam genggaman Danica mengerat. Tatapan Rahadyan berpaling pada Danica. Sepertinya bosan menunggu jawaban Agasta.
Tentu Agasta tak bisa menjawab begitu saja. Keadaannya akan serba salah bagi kedua sisi atas jawaban apa pun itu. Baik dari sisi Rahadyan ataupun sisi Danica. Pancaran mata yang berbinar dari Rahadyan, justru beban bagi Agasta untuk mengatakan kebenarannya, bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa Danica. Kedua mata senja yang bahagia itu, dapat dipastikan akan meredup.
Namun, berkata yang tidak benar, Agasta akan mengkhawatirkan emosi Danica. Agasta khawatir Danica akan uring-uringan saat itu juga, di depan Rahadyan yang sedang tidak menjadi Rahadyan di masa kini.
"Kamu istrinya Agas, 'kan?" Rahadyan tersenyum semakin lebar saat manatp Danica.
Kali ini Danica yang berada di situasi tidak nyaman. Kedua mata ayahnya bersinar hidup. Tidak tampak seperti seorang yang pesakitan. Sososk pria yang Danica rindukan, di usianya yang memudar. Sayangnya, di hdapan Danica saat ini bukanlah Rahadyan untuk Danica, melainkan Rahadyan untuk Manika dan Danica bayi.
"Kamu pasti istrinya Agas, ya, 'kan?"
Tangan kiri Rahadyan yang tadinya membelai kepala Danica, turun ke pipi Danica. Belaian yang dingin karena suhu, tetapi menghantarkan hangat sampai ke relung hati. Menggetarkan pertahanan Dnaica yang sejak awal sedang ditahan sekuat tenaga. Air mata.
"Cantik, Gas." Rahadyan kembali mendongak menatap Agasta. "Kasih saya cucu."
Danica tidak mau menangis depan Rahadyan. Ia berdiri cepat, tetapi ingat untuk melepaskan tangan ayahnya perlahan.
"Bapak, masuk kamar, makan, minum obat, dan istirahat. Saya akan menjemput Manika dan Danica kecil. Bisa, Pak?"
Perasaan hati Dnaica kacau balau karena harus menyapa ayahnya dengan Bapak bukan Papa.
Rahadyan mengangguk menurut. "Kamu pasti bisa bawa Manika dan Danica kecil pulang."
"Iya. Tapi, Bapak janji untuk menuruti Agasta, oke?"
Kembali Rahadyan mengangguk mantap. Bagaikan anak kecil, ia meminta Agasta untuk mengantarnya ke kamar. Agasta pun menyambut baik dan segera menuruti pinta Rahadyan. Rahadyan sempat mengedipkan matanya untuk Danica.
Saat kursi Rahadyan berbalik dan masuk ke dalam kamar, seketika itu juga tubuh Danica oleng. Ia mencari pegangan, apa pun itu. Ia butuh bersandar. Ia butuh menenangkan diri. Sebelum tangisnya meledak. Ia belum sanggup berlari ke kamar.
Dan Danica jatuh terduduk. Dengan kedua kaki ditekuk, Danica langsung menelungkupkan wajahnya dalam lipatan tangan di atas kedua kaki yang tertekuk. Gadis itu menangis sesenggukkan. Ia sekuatnya menahan suara tangis, tetapi tak sanggup menahan derasnya air mata.
Ia membenci ayahnya sekaligus mencintainya. Ia terluka sekaligus iba. Keadaan ayahnya sedang tidang baik-baik saja. Ketika anak-anak lain tahu bagaimana menjaga orang tua mereka yang menuju senja, Danica justru berkutat pada kebingungan akan perasaann dan sikapnya sendiri.
Danica butuh ibunya. Ia butuh pelukan ibunya. Dirinya limbung.
Agasta yang baru keluar dari kamar dan akan mengambil makanan untuk Rahadyan, tertehun mendapati Danica yang duduk di lantai dengan kepala tertelungkup. Getaran bahunya sudah menjelaskan bahwa ada tangis yang ditahan sangat kuat agar tak bersuara.
Agasta mendekat. Ia pun ikut duduk di lantai, di hadapan Danica. Kedua kakinya dibuka lebih lebar, mengapit kedua kaki Danica. Dengan kehati-hatian, Agasta mencoba mengangkat kepala Danica yang emnunduk sangat dalam.
Gadis itu menurut tanpa penolakan. Wajahnya terangkat dan menatap Agasta dengan kedua mata yang masih meneteskan air mata.
Hati Agasta remuk melihat wajah Danica yang berantakan. Wajah Danica begitu mungil dalam tangkupan tangan Agasta. Begitu basah dan pucat. Dengan kedua ibu jarinya, Agasta mengusap lembut sisa-sisa lelehan iar mata.
"Bagaimana..., bagaimana saya menghadapinya?" tanya Danica dengan suara serak dan air mata yang kembali turun deras. "Saya tidak siap. Saya tidak tahu. Saya bingung. Saya butuh ada Mama di sini, Gas. Saya juga butuh Mama seperti Papa yang mencari-cari Mama.
Jika saya dan Pap sama-sama membutuhkan Mama, lalu bagiaman kami saling berhadapan saat kenyataannya Mama tidak mungkin lagi ada di antara kami. Bagaimana, Gas? Bagaimana?"
Danica menangis denga suara tersedak karena air liur yang ditelan. Agasta semakin memajukan tubuhnya dan ia memeluk Danica. Menyandarkan kepala mungil gadis itu di dadanya. Membiarkan tubuhnya dibasahi rintik air mata Danica yang terasa hangat.
"Beri kesempatan waktu yang menemani dan menenangkan dirimu dan Bapak. Waktu yang terlalu lama hilang, harus dititi perlahan-lahan."
"Bagaimana? Bagaimana kami melakukannya tanpa Mama?"
"Jadikan saya apa saja yang kamu inginkan, asalkan kamu bisa kuat dan tidak mundur dengan kenyataan ini."
Perlahan Danica mengangkat kepalanya dan Agasta menoleh menatap Danica lekat-lekat. Begitu pendek jarak kepala keduanya. Terlalu dekat hingga masing-masing bisa merasakan embusan hangat dari napas yang keluar.
Kedua mata Danica bergerak-gerak baagaikan gerakan lilin. Menangkap mata Agasta dan mencari-cari sesuatu yang Danica belum tahu apa yang dicari. Hanya saja, ada kesenangan aneh saat mengamati kedua mata Agasta.
Begitu juga Agasta yang kedua matanya justru bergulir ke bibir Danica. Penasaran akan bagaimana rasa bibir itu. Apakah akan sehangat emosi Danica yang suka meletup-letup. Agasta sangat ingin tahu bagaimana bibir Danica. Keinginan yang tak sopan. Meski mencoba mencegah ingin, namun tubuhnya justru melambat mendekat pada Danica.
Tak ada penolakan dari Dnaica. Tubuh Danica tidak mundur, diam saja. Seolah-olah memang dengan sengaja menanti kedatangan Agasta.
"Eh! Aduh!"
Seketika tubuh Danica dan Agasta menegang. Suara Mbok Min sudah membuyarkan kabut renjana yang memeluk sejoli. Dengan salah tingkah, keduanya membenahi diri.
Danica yang merasa sangat malu, mendorong kasar tubuh Agasta. Tatapannya sengit dan sengaja melebarkan kelopak mata agar terlihat lebih sangar. Cepat-cepat ia berdiri dan kemudin menatap Agasta yang masih duduk.
"Gak usah jadi pahlawan. Saya juga gak mau menjadikanmu apa-apa. Sana, jadilah sesuatu pada wanita-wanita yang kepincut denganmu. Si Mita dan si Maya. Cih..., incaranmu sepertinya wanita-wanita berinisial 'M'. Untung saya 'D'."
Topik yang tidak jelas dan menyerempet pada yang tidak perlu. Danica paham kalau dirinya asal bersuara saja. Tapi yang penting bagi Danica, kegalakannya tidak luntur.
"Apa urusannya dengan Mita dan Maya. Dan lagi, saya malah gak perhatian kalau keduanya memiliki inisial yang sama. Ini kok kamu malah perhatian sekali. Jangan-jangan...."
"Apa? Gak usah mikir apa-apa, ya!" sentak Danica gusar.
Agasta dengan santai berdiri. Jarak yang sangat dekat, semakin mempertegas bagaimana jarak tinggi keduanya sangat jauh. Agasta harus menunduk untuk bisa menangkap wajah Danica dan Danica harus mendongak untuk bisa melihat ekspresi di wajah Agasta.
"Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?"
Kali ini Agasta sedikit membungkuk. Kembali wajah keduanya menjadi sangat dekat. Meski jantung Dnaica dan Agasta berdebur cepat, tetapi kali ini keduanya memiliki penguasaan yang baik.
"Jangan-jangan kamu terlalu cemburu." Dan Agasta tertawa lebar. Ia segera berbalik dan mendekati Mbok Min yang pura-pura menata meja makan. Agasta harus segera menjauh sebelum mendapat semburan makian dari Danica.
Mbok Min rupanya tadi masuk untuk membawakan makanan untuk Rahadyan. Agasta mengambil nampan makanan dan masuk ke kamar Rahadyan.
Sedangkan Danica yang hanya bisa mendelik karena rasanya tak mungkin berteriak memaki Agasta, akhirnya bergegas kembali masuk ke dalam kamar. Ia perlu menenangkan diri atas perasaan aneh yang merajalela.
***