Chapter 37

1260 Words
Tak ada seorang pun yang ingin memeriksa waktu. Membiarkan saja waktu berlalu tanpa perlu mencari tahu sudah berapa lama perjalanan manusia yang sudah dilewati. Baik Danica ataupun Agasta sama-sama melupakan waktu dan berkutat dengan ingatan akan apa yang baru saja terjadi. Dinginnya malam yang beranjak semakin ke ujung, tak lagi menjadi bagian cerita. Danica memilih menenggelamkan diri pada kisah yang sudah lewat anatar dirinya dan ibunya. *** "Kalau kamu tanya di mana papamu, Mama sudah tegaskan untuk kesekian kalinya kalau Mama tidak mau memberitahumu. Mama tidak rela kalau kamu yang ke sana untuk menemuinya. Bukan kamu yang harusnya ke sana dan menemuinya." Danica terdiam. Secara tersirat, ibunya sudah memberi ultimatum bahwa Danica tidak boleh mencari ayahnya dan ibunya tidak akan memberitahukan keberadaan ayahnya. "Kalau saya tidak ke sana, apakah Papa akan ke sini, Ma? Apakah papa akan menemui saya?" Danica menatap mata ibunya yang berubah sendu. Keceriaan seketika terhempas. Ibunya menatap dirinya dalam bisu yang bagi Danica saat itu, terasa lama. Sampai kemudian ibunya kembali menatap bukunya dan membaca. "Kamu dan papamu adalah takdir. Kalian pasti bertemu." "Yeah.... Tapi, mungkin takdir bisa saya permainkan, Mama," ucap lirih Danica sembari tetap membelai tempat tidur ibunya. "Saya pergi jauh dan saya berharap Papa tidak akan bisa menemukan saya. karena jika bertemu, saya tidak yakin saya bisa mengendalikan diri saya." "Jangan menahan apa pun Danica. Jika waktu itu tiba, biarkan dirimu luruh dengan kenyataan itu. Tak perlu berencana apa-apa." "Tapi, Ma, saya benar-benar tidak yakin bisa mengendalikan diri saya saat saya melihat Papa nantinya. Mungkin saya akan sangat marah. Mungkin juga saya akan sangat menangis, yang itu pastinya mempermalukan diri saya sendiri." "Biarkan. Itu kamu. Itu dirimu dengan reaksinya. Kamu gak perlu menahan apa pun, Sayang." Manika membelai kepala Danica dengan sayang. "Manika, ingat baik-baik pesan Mama. Luapkan saja dengan jujur apa yang kamu rasakan. Jika memang marah, marahlah. Jika memang menangis, menangislah. Biarkan ayahmu tahu, bagaiman kamu nantinya. Karena, untuk waktu yang lama, ayahmu tidak pernah tahu bagaimana kamu marah, tertawa, dan menangis." *** Aroma segar mie kuah menguar dari mangkok yang disodorkan Agasta di depan Danica. Uap panasnya begitu menggoda, memepermainkan udara dingin yang keluar dari napas Danica. Perut Danica langsung melonjak kegirangan dan menuntut Danica untuk memasukkan seseondok mie kuah ke dalam lambungnya. "Makan dulu Nica. Kamu butuh mengembalikan kekuatanmu." Agasta meletakkan mangkuk mienya dan kemudian dua gelas teh manis yang masih panas. Danica menatap mie buatan Agasta. Telurnya diorak-arik. Ada kubis yang dirajang. Ada juga bawang putih yang digeprek dan diiris sampai kecil. Tak ketinggalan, irisan cabai yang banyak. Di atasnya ada bawnag merah goreng sebagai taburan. "Mienya seperti cara Mama kalau bikin." Agasta terdiam. Cara ia membuat mie adalah cara Rahadyan membuat mie. Baru ini Agasta tahu, kalau ibu Danica juga membuat mie dengan cara yang sama. Tapi, Agasta tidak tahu siapa pelopornya, apakah Manika yang biasa membuat mie dengan cara begitu, yang kemudian diikuti Rahadyan, ataukah Rahadyan yang memsaknya begitu dan diikuti Manika. Mungkin nanti Agasta menanyakannya pada Rahadyan. "Dimakan, Nica, Nanti mienya ngembang, malah gak enak buat dimakan." Nica menyendokkan mie ke mulut. Ia mengunyahnya perlahan. Lagi-lagi ia keheranan, mienya pun direbus Agasta dengan tidak terlalu lembut. Khas ibunya. "Apakah Papa mengajarkamu membuatkan mie model begini?" tanya Danica. "Iya." Danica menatap Agasta dengan keheranan. "Sepertinya hubunganmu dengan Papa begitu dekat." "Begitulah." Jawaban singkat Agasta sebenarnya mengesalkan Danica yang membutuhkan jawaban panjang. Ia kemudian teringat akan poto yang ditemukan di koper Agasta. Itu adalah sebuah foto yang sudah lama. Siratan warnanya saja sudah cenderung kuning kecolekatan. Istilahnya warna bokeh. Di foto itu Rahadyan, mengenakan kemeja berwarna biru gelap dengan bagian lengan panjang yang dilinting sampai di bawah siku. Celananya berwarna hitam dengan bagian bawah yang sedikit melebar. Salah satu tangannya menekuk di pinggangnya yang ramping karena rajin olahraga dan satu tangannya yang lain, merangkul pundak seorang bocah laki-laki. Berbeda dengan Rahadyan yang tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat dan sudut bibir tertarik penuh ke atas, si bocah justru memiliki wajah yang merengut. Bibirnya terkatup rapat, sorot matanya sangat tajam, tubuhnya tegak dengan kaku. Benar-benar profil seorang bocah yang galak. "Mmm.... Saya melihat ada foto di kopermu. Sebuah foto lama." Agasta mengernyit dan menoleh cepat ke arah Danica. "Tidak, tidak, jangan berpikiran negatif." Kedua tangan Danica menyilang berulang kali. Isyarat bagi Agasta untuk tidak berpikir lebih buruk lagi. "Saya tidak sengaja melihatnya." Danica sedikit berdusta agar Agasta tidak marah dan tersinggung. Kenyataannya, ia penasaran akan isi koper Agasta yang tidak di resleting. "Kapan kamu melihatnya? Kamu sengaja masuk kamar saya? Tidak, maksud saya kamar kamu yang jadi kamar saya sementara." "Enggak. Saya gak lagi sengaja masuk kamar kamu, kok. Buat apa juga saya masuk kamar kamu." Dnaica menyendokkan mienya dengan gusar. "Lah, itu tadi apa?" "Ingat, yang waktu itu saya melihat keadaan Papa di kamarnya? Trus kamu tiba-tiba datang entah dari mana. Ingat?" Agasta mencoba mengingat dan berhasil dengan cepat. *** Ia baru pulang dari membeli beberapa bahan dan alat untuk membuat meja kecil. Sata ia akan memeriksa keadaan Rahadyan, ia mendapati Danica berdiri mematung di ambang pintu kamar ayahnya. Perlahan-lahan Agasta mendekat. Ia tak ingin Danica terkejut. Tadinya Agasta berpikir Danica baik-baik saja dan sedang melihat keadaan ayahnya. Ternyata Danica tidak baik-baik saja. Danica berbalik dan hendak kabur. Ia tak sanggup melihat ayahnya lagi. Tetapi dirinya justru menabrak tubuh Agasta. "Nica..., kenapa?" Danica tidak mau mengangkat kepalanya. Ia memilih tetap menunduk dan mencari jalan untuk melewati tubuh Agasta yang tinggi besar. Agasta menghentikan pergerakan tubuh Danica yang ke kiri ke kanan dengan bingung. Ia memegangi kedua lengan gadis itu, memastikan Danica berdiri tetap. "Nica, ada apa? Kamu kenapa?" Danica tidak ingin bicara juga tidak ingin dilihat. Dengan kasar ia menginjak kaki Agasta. Agasta yang tidak berpikir kalau Danica akan kasar, menjadi terkejut dan tidak siap menghindar. Pria itu refleks melepaskan kedua tangan yang tadi menempel di lengan Danica. Kesempatan itu diambil Danica untuk kabur. Kabur masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya yang sebenarnya. Danica membanting pintu dan segera menguncinya. Ia langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur dalam posisi telungkup dan menangis. Setelah urusannya dengan Rahadyan selesai. Rahadyan sudah tenang. Agasta memeriksa keadaan Danica. Tetapi pintu terkunci. *** "Koper kamu terbuka dan saya melihatnya." Agasta yang sudah ingat, hanya menjawab dengan mengangguk-angguk dan melanjutkan makan mie kuahnya. "Jadi..., sedekat apa kamu dengan Papa?" desak Danica. "Sangat dekat. Saya menganggap beliau adalah orang tua saya." "Kenapa begitu? Papa pasti memeprlakukan kamu dengan istimewa sampai-sampai kamu mengistimewakan Papa." Agasta merasakan kecemburuan dari kalimat tanya Danica. Sebagai anak kandung, Danica tak pernah mendapatkan belaian ayahnya sendiri. Pastilah gadis yang duduk di sebalahnya, memiliki kecemburuan tinggi. "Saya bahkan tidak punya foto bersama Papa. Tapi..., kamu punya. Dan kalian berdua terlihat sangat bahagia." Danica mengabaikan kenyataan kalau sebenarnya ia punya satu foto dengan ayahnya. Foto yang baru ditemukannya dari dalam peti khusus. Danica juga mengabaikan jika di dalam foto itu, Agasta justru terlihat suram dengan ekspresi tajam tanpa senyum. "Itu foto setelah sebulan saya bersama Bapak." "Sebulan bersama Papa? Maksudnya bagaimana?" tanya Danica bingung. Agasta mengambil tisu dan membersihkan area sekitar bibirnya yang berminyak karena kuah mie. "Saya mau istirahat duluan. Badan saya sepertinya mau hancur. Kalau kamu nanti melihat Bapak dan mendapati keadaan Bapak tidak baik-baik saja, segera bangunkan saya." Agasta bergegas berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar. Tubuhnya memang terasa penat dan ngilu. Untuk pertama kalinya, setelah waktu yang lama, setelah ia disibukkan berkutat dengan diktat dan jurnal medis, Agasta tak melakukan pekerjaan berat selain olahraga biasa saja. Kesibukannya membuat meja, siang tadi, benar-benar menguras energinya. Tapi, lepas dari semua kelelahan yang ia rasakan, Agasta sedang tidak ingin diburu pertanyaan perihal kedekatan dirinya dengan Rahadyan. Ia masih belum ingin bercerita apa-apa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD