Danica berteriak keras. Untuk pertama kalinya, suara Danica membahana memenuhi ruangan tengah. Suaranya bahkan samar terdengar sampai dapur. Mbok Min Yang baru menuangkan kuah sup ke mangkuk kecil, sampai terdiam. Ia tahu jika Danica marah dan di rumah ini, itu pertama kalinya Mbok Min mendengar suara melengking di dalam rumah majikannya. Bahkan saat keributan besar penuh badai, bunyi teriakan melengking tak ada.
Rumah ini, terguncang hebat. Danica mengguncangnya dengan badai amarah yang terlalu lama dipendam. Luka Danica dalam, sangat dalam. Ia melalui masa berkembangnya dengan ketimpangan yang diam-diam membuatnya tidak percaya diri. Dan Danica tidak terima itu.
Harusnya ia bahagia. Ibunya cantik dan lembut, setidaknya beberapa temannya iri karena dirinya memiliki ibu yang begitu baik. Kebahagiaan itu harusnya sempurna dengan seorang Ayah yang gagah, kapten kapal, tuan tanah.
Tapi, kenyataannya kebahagiaan itu seketika menguap tatkala kemudian ada pertanyaan, "Bapakmu mana, Nica?"
Dunianya hancur dengan pertanyaan semacam itu.
"Apa pantas Papa berpikir kembali saat keadaannya yang tak berdaya seperti itu. Kamu kata kalau saya menganggap Bapak itu seolah beban, 'kan? Jawabannya, iya!."
Saat mengucapkan 'iya', lagi-lagi suara Danica melengking. Tubunya bahkan menegang karena kemarahan yang mengumpul dibarengi kesedihan yang sedang ditahan agar tidak ketara.
"Bukan saatnya bicara pantas atu tidak pantas Nica. Bapak lagi sakit."
"Justru karena Papa lagi sakit, Papa harus ke luar dari rumah ini dan mendapat perawaran di rumah sakit. Apa salah?"
"Bapak ingin mendapatkan perawatannya di rumahnya ini, Nica."
"Ini memangnya rumahnya, Gas. Tetapi, Papa sudah bukan bagian rumah ini sejak ia memilih pergi dan tidak kembali. Tidak. Tidak. Tidak. Bukan begitu. Ralat.
Papa sudah bukan bagian dari rumah ini sejak ia melakukan kesalahan, keluar, dan tidak ingat kembali untuk pulang. Sudah tidak tahu bagaimana meminta maaf dalam keadaannya yang bugar dan pikirannya yang sehat. Papa tidak pernah kembali di masanya yang itu! Dia lupa jalan pulang ke rumah!"
"Kamu kira Bapak tidak tersiksa dengan rasa bersalahnya? Beliau bukan tidak mau pulang, juga bukan tidak bisa."
"Lalu apa? Apa?!"
"Bapak hanya tidak ingin kehadirannya hanya membuat semua justru semakin terluka. Kamu kira, seseorang yang terluka, bisa semudah itu hidup berdampingan meskipun sudha memaafkan? Apa kamu mengenal ibumu dengan baik?"
Danica terkesiap. Pertanyaan Agasta meninju ulu hatinya. Itu membuatnya bimbang sekaligus tidak suka.
"Tentu saya mengenal Mama," jawab Danica denga nada yang tidak kuat. Tapi, demi melihat senyum samar Agasta yangn seolah sedang mengejeknya, Danica merasa harus memantapkan diri. "Saya pasti mengenal Mama. Kami hidup bersama, dia ibu saya. Tidak ada rahasia di antara kami. Tidak ada yang tidak saya ketahui dari Mama, pun juga Mama terhadap saya. Itu sudah pasti."
Senyum Agasta tidak berkurang. Ia menatap dalam Danica seolah sedang memastikan sesuatu. Sampai akhirnya Agasta menghela napas dan menggeleng samar juga.
"Tidak bisakah kamu melupakan sejenak sakit hatimu dan memaafkan beliau. Tak ada manusia sempurna, Nica. Karenanya kita diminta untuk saling memaafkan. Terlebih beliau adalah orang tuamu," ucap Agasta.
"Cih. Jadi penceramah saja dirimu. Seingat saya, sejak datangnya kamu ke rumah ini, kamu sering sekali berdakwah."
"Saya Cuma mengingatkan sebatas porsi saya."
"Sebatas porsi?" Danica menatap Agasta dengan tatapan mencemoh. "Dengan menggurui saya? Dengan kemudian memberikan argumen? Dengan kemudian menjadi keras kepala, lupa pada kedudukan?
Kamu itu siapa, Gasta? Kamu itu hanya orang asing. Saudara bukan, apalagi kerabat. Kamu hanyalah seorang dokter hebat, yang saya tidak mengerti kenapa kamu begitu pedulinya sampai sebegitunya, yang seenak udelnya sendiri, menentang keputusan saya. Kamu siapa?"
Agasta langsung diam. Ucapan Danica menohok dirinya dengan telak. Pertanyaan akan siapa dirinya adalah sesuatu yang akan mematahkan semua yang tersampaikan. Sekaligus, pertanyaan akan siapa dirinya, menyadarkan Agasta, bahwa perjalanannya dengan Rahadyan tidak pernah merubah apa-apa. Rahadyan dan Agasta tetaplah asing.
"Kamu tidak akan pernah tahu apa-apa, Gasta. Karena kamu tidak pernah ada di posisi saya."
Danica menyentakkan kaki dan berlalu meninggalkan Agasta yang masih terpekur. Agasta bungkam karena ia tidak bisa mengatakan lebih. Biar bagaimana pun, dirinya tetaplah orang lain yang tidak punya hak mengambil keputusan akan kesehatan orang lain. Perwalian Rahadyan ada pada putrinya dan jika putrinya meminta perawatan di luar rumah; rumah sakit, maka Agasta tak bisa mencegah.
Yang dua orang itu tidak tahu, saat Danica berteriak dengan suara melengking, di kamarnya, Rahadyan yang tadinya seperti tertidur, ikut tersentak. Kedua matanya bergerak-gerak memerhatikan kamar sembari mendengarkan semua percakapan yang terjadi di depan kamarnya, di ruang tengah.
Rahadyan tahu itu suara putrinya Danica. Baginya, suara Danica adalah yang pertama ia dengar. Suara putrinya yang tak lagi hanya berupa tangisan. d**a Rahadyan bergetar mendengar suara Danica.
Semula ia pikir Agasta dan Danica sedang ribut perkara lain. Ia berniat memanggil Agasta, sampai kemudian ia mendengar niat Danica yang akan membawanya keluar dari rumahnya dan dirawat di rumah sakit. Hati Rahadyan langsung remuk.
Ia tak sanggup mengeluarkan suara. Bibirnya bungkam rapat. Mendengarkan dalam kesenyapan kamarnya yang terasa dingin. Padahal, dulu kamar yang ia tempati adalah kamar terhangat di dunia. Ada Manika yang akan menyambutnya hangat, memeluknya, membelai kepalanya sambil masing-masing membaca buku.
Mana Manika? Apa dia di luar bersama Gasta dan Nica?
Rasa rindunya pada Manika, membuat Rahdyan bertekad untuk memanggil Manika, istrinya. Ia tak ingin istrinya melihat keributan. Pasti Manika bingung dan menangis. Manika adalah seorang yang sangat lembut. Sedikit suara tinggi saja, Manika akan menangis.
Tapi, niat itu terhenti lagi. Suaranya tercekat saat mendengarkan pertanyaan Agasta perihal Manika pada putrinya Danica. Hatinya was-was. Ia tidak ingin Agasta mengungkapkan semua.
Beruntung keinginannya terwujud. Agasta tak lanjut membahasnya. Tetapi kepiluan menarik Rahadyan kembali menjauh pada realita. Ucapan Danica yang terakhir ditangkapnya adalah,
"Ini memangnya rumahnya, Gas. Tetapi, Papa sudah bukan bagian rumah ini sejak ia memilih pergi dan tidak kembali."
Rahadyan menangis tanpa suara dan ia mundur. Bergelung lagi pada kesepian dan kedukaannya.
Agasta yang baru masuk kamar Rahadyan, menjadi syok mendapati kedua bola mata Rahadyan yang terbuka dan menatap langit-langit kamar. Tadi sangat jelas, Rahadyan terlihat kelelahan dan kedua mata sayu. Sebelum keluar kamar, Rahadyan juga sudah menutup mata.
Mungkinkah Bapak membuka mata karena mendengar suara Nica tadi?
"Pak..., Bapak kenapa tidak istirahat?" tanya Agasta yang sudah berada di dekat Rahdyan. Agasta duduk di kursi rias, yang selalu ditempatkannya di sisi Rahadyan. Ia memegang jemari Rahadyan yang sangat ringkih dan dingin.
Lampu kamar tak dinyalakan, penerangan hanya dari lampu ruang tengah. Pun begitu, Agasta bisa melihat ada bulir air mata yang mengalir. Dengan lembut Agasta mengusapnya. Hatinya trenyuh. Agasta yakin, Rahadyan sudah mendengar keributan tadi.
"Bapak, gak usah pikirkan yang tadi. Bapak gak usah dengarkan. Tadi itu Cuma salah paham saja."
"Manika sudah pulang?" tanya Rahadyan masih dengan tatapannya yang terarah ke atas. "Suruh dia pulang. Jangan lama-lama di luar."
Rahadyan sudah menarik dirinya menjadi masa lalu. Agasta tidak tahu apakah harus bersyukur ataukah justru was-was. Agasta bersyukur jika Rahadyan membuka mata karena mencari Manika, itu artinya Rahadyan tak mengerti atau bahkan tak mendengar keributan di luar—meskipun itu mustahil jika tak mendengar. Dan Agasta menjadi was-was, jika menariknya diri Rahadyan ke masa lalu, karena syok mendengar keributan tadi, itu akan memperburuk keadaan Rahadyan sendiri.
"Gas..., jemput Manika, Gas. Jemput Manika sama Danica pulang."
***
Di kamarnya. Danica menangis. Bukan tangis sedih, melainkan tangis marah. Marah akan semuanya. Marah akan kedatangan ayahnya dalam keadaan si ayah yang mengenaskan. Marah pada Agasta yang meremehkannya. Marah pada diri sendiri, yang tidak memiliki ketegaran sedikit pun.
"Apa kamu mengenal ibumu dengan baik?"
Ucapan Agasta menerkam kepercayaan diri Danica akan ibunya. Danica mengusap air matanya dan duduk diam. Mencoba mengingat bagaimana sosok Manika.
Manika adalah seorang yang sangat lembut. Kemarahan ibunya pun tidak pernah meluap-luap. Masih disampaikan dengan tutur yang adem. Ibunya juga terlalu baik. Bahkan pada siapa yang membicarakan dirinya, Manika tak pernah membenci.
Ibunya yatim dan piatu saat remaja, tinggal bersama kerabatnya, dan kemudian menikah dengan ayahnya. Tak ada saudara kandung, ibunya adalah anak tunggal.
Hanya sampai itu yang Danica tahu perihal ibunya. Hanya perihal sifat dan perilaku. Dan Danica terkejut dengan dirinya sendiri yang hanya mampu mendeskripsikan ibunya dengan sangat singkat.
Danica tidak tahu siapa kerabat ibunya. Bahkan siapa sahabat ibunya, baru ia ketahui beberapa bulan sebelum sang sahabat meninggal. Tapi, bagaimana kisah sang ibu dengan sahabatnya, juga tidak Danica ketahui. Ibunya tak banyak bercerita akan itu.
Danica terhenyak. Semakin ia mengingat ibunya, semakin sedikit ia tahu akan ibunya. Danica menatap ke kotak kayu di meja nakas sebelah tempat tidur. Di sana ada rahasia ibunya. Teringat bagaimana di halaman depan buku harian sang ibu tertera kata-katai:
"Untuk Danica tercinta dan tersayang. Mama menuliskan lagi kisah ini agar kamu bisa mendapatkan apa yang tak bisa Mama berikan. Yaitu, sebuah awal mula."
***