Napas berat diembuskan dengan kasar dari dua lubang hidung Yuni. Tubuhnya dihentakkan masuk dengan wajah ditekuk. Terdengar desahan kekesalan yang membuat suasana di mobil semakin tidak enak.
Setelah Paramita masuk dan duduk anteng di kursi depan, barulah mobil dijalankan. Prasaja menyalakan mesin mobil dan tidak berkata apa-apa. Sikap ibunya sudah menjelaskan semua bahwa Yuni sedang kesal. Kemungkinan terbesar kekesalan ibunya tertuju pada Dania. Dan jika terkait Danica, maka itu juga terkait dirinya.
Yuni memerhatikan anaknya dari kursi belakang. Melalui pantulan kaca spion dalam mobil, ia bisa melihat kekakuan putra kebanggaannya sekaligus kelemahan Prasaja sebagai lelaki setelah ada pesaing.
Selama ini keadaan sangat aman-aman saja, meskipun tidak ada perkembangan yang berarti, tetapi aman. Danica tidak pernah berpacaran. Saat kuliah dan menjadi penulis di Jogja pun, gadis itu tidak pernah ada cerita memiliki pasangan. Yuni meyakini itu karena ia bahkan sampai harus menyewa orang untuk menyelidiki kehidupan Danica yang tidak pernah pulang. Hanya pulang setahun sekali, di hari meninggalnya Manika; ibu Danica.
Yuni berpikir keengganan Danica menjalin hubungan, karena masa lalu yang mana ibunya ditinggalkan ayahnya. Danica yang keras juga tidak suka dipaksa. Yuni memilih jalur aman, inten yang sabar. Prasaja selalu diingatkan untuk memberikan perhatian lebih pada Danica tanpa memberikan kesan pemaksaan. Bagi Yuni, putranya sudah melakukan dengan benar.
Namun, sejak Prasaja mengatakan ayah Danica pulang bersama dokternya yang masih muda, perasaan Yuni menjadi was-was. Terlebih saat melihat sosoknya untuk pertama kalinya. Seorang pria yang sangat maskulin. Berpendirian dan tidak klemak-klemek. Putrinya saja, langsung menggelepar saat melihat sosok Agasta, apalagi Danica.
"Kamu itu harusnya gak perlu ngambekan kayak tadi," keluh Yuni memecah kesunyian. Ia kesal dengan sikap putranya yang terlihat kalah perang denga keluar dari rumah Danica lebih dulu.
"Males saya, Ma."
"Mau males, kek. Mau muntah, kek. Jangan kayak anak kecil. Kamu itu sudah punya pesaing."
"Trus Mama mau saya gimana kalau kayak tadi? Maksa-maksa? Apa itu ndak bikin Nica males? Malah kayak anak kecil beneran."
"Ya gak tau. Pokoknya jangan kayak tadi." Yuni menutup perdebatan dengan kata anadalan yaitu pokoknya.
Sebenarnya Yuni juga tidak tahu harus membantu putranya bagaimana. Harusnya ini kerjaan bapaknya. Suaminya, Surya, bukanlah orang suci dan Yuni tahu kenakalan sang suami. Jadi perihal wanita, Surya pasti lebih paham.
"Kamu tanyalah ke bapakmu," sambung Yuni.
"Apa, sih yang dikhawatirkan dari Agasta?" tanya Paramita yang mulai ikut nimbrung dalam percakapan. "Agasta pasti saya dapetinlah. Gak usah khawatir."
Paramita senyum manis menoleh pada Prasaja yang tatapannya tetap ke depan, lalu menoleh ke belakang, mengerling pada ibunya yang sedang menatap Paramita balik.
"Agasta itu beda dari laki-laki lain yang kamu kenalin. Kamu itu biasanya dikejar. Ini kamu harus ngejar," ucap Yuni.
"Nanti juga dia yang ngejar saya," jawab Paramita dengan sangat yakin. "Dia gak mungkin nolak saya."
Yuni dan Prasaja sama-sama mencebikkan bibir. Ekspresi ketidakyakinan akan kemampuan Pramita menggoda Prasaja nantinya.
"Tadi aja sudah ditolak," ucap Yuni sembari menghela napas.
"Bukan ditolaklah itu, Ma. Itu Cuma mengundurkan jadwal ada. Kita harus mulai maklum dengan keadaan. Terutama kamu, Pras.
Pakde Rahadyan itu kan baru pulang setelah sekian lama. Sekalinya pulang malah sakit. Ya, wajar kalau Danica khawatir sama bapaknya. Lagi ada orang tua yang sakit kok malah jalan-jalan. Begitu konsepnya. Menjaga image-lah.
Apa kata orang nantinya? Bapaknya sakit, eh..., anaknya malah haha hihi. Kan aneh.
Ditambah lagi, orang tuh taunya kamu itu tunangan Danica. Kalau kamu pergi jalan-jalan saat Pakde Rahadyan lagi sakit, orang pada mikir kamu itu calon mantu gak ada akhlak. Ya, gak sih, Ma?"
Yuni tidak berpikir sampai ke sana. Ucapan putri sulungnya ada benarnya. Nilai Prasaja akan berkurang jika memaksa keluar jalan-jalan dengan Danica. Danicanya sendiri akan menganggap Prasaja si pemaksa dan orang lain akan menilai Prasaja sebagai mantu tidak ada perhatian.
"Ucapan Mbakmu itu bener, Pras. Kamu mulai sekarang harus lebih perhatian lagi ke Nica."
"Kurang perhatian apa sih, saya, Ma? Dia mencret aja, saya bela-belain ke Jogja. Tapi anaknya begitu-begitu aja. Capek saya sebenerya. Mending sama Farah, begini ini."
"Hust! Kamu ini! Bodoh apa gimana, hah? Malah nyebutin nama orang lain, kalau Danica tau, bagaimana?" sentak Yuni gusar.
"Ya mana kira ia denger sih, Ma. Kecuali Nica, dukun."
Terdengar tawa cekikikan yang berusaha disembunyikan dari Paramita.
"Ya, pokoknya jaga omonganmu. Setelah kamu dapatkan Nica, cewek mana pun yang mau kamu kelonin, terserah aja."
Kali ini cekikikan lirih berubah jadi tawa. Paramita tak bisa menyembunyikan kegeliannya atas napsu ibunya yang menggebu jika marah. Sedangkan Prasaja hanya mendengkus saja.
"Ma, kenapa gak biarin aja Pras sama Farah aja?" tanya Pramita penasaran. "Farah juga dari keluarga kaya-raya. Bapaknya malah Kapolda Surabaya. Irjen lagi pangkatnya. Jenderal itu. Kan keren, Ma."
"Keren sih keren. Tapi Farah itu anak pertama. Dia punya dua adik laki-laki. Itu kalau bapaknya almarhum, hartanya yang dapat banyak ya adik-adiknya. Pras dapat apa, hah?
Ditambah lagi, polisi setinggi apa pun juga, ada yang namanya pensiun. Entar kalau dah pensiun, Prasaja dong yang bakal disuruh menghidupi keluarga mereka. Bukannya untung malah buntung. Mikir tuh jauh ke depan."
Paramita dan Prasaja terdiam. Yuni sang pengendali adalah seseorang yang berpikir jauh ke depan. Hal-hal yang tak terpikirkan siapa pun sebelumnya, pasti sudah dipikirkan Yuni.
"Kayak kamu sekarang suka ama Agasta, mikir gak nanti kalau Agasta tua dan udah gak bisa jadi dokter lagi, kamu mau makan apa?"
"Jadi, Mama gak setuju saya dekatin Agasta?" tanya Paramita yang lebih pada protes ketimbang bertanya.
"Bukan gak setuju. Bebas aja kalau buat kamu, asalkan kaya raya. Tapi kalau bisa, carilah pengusaha hebat. Yang kamu gak perlu mikir bagaimana nasib keturunanmu di masa depan."
"Kok, Kak Mita bebas-bebas aja, kalau saya jadi keharusan." Kali ini yang protes Prasaja.
"Mita kan Cuma perlu cari suami dari keluarga kaya-raya. Laki-laki dari keluarga kaya, sudah pasti beruntung. Warisan, akan jauh lebih besar. Kalau punya perusahaan, nanti turunnya pasti jatuh ke anak laki-laki."
"Tapi Agasta kan dokter, bukan penguasaha, Ma."
"Kalau jadi dokter apalagi sampai spesialis, pastinya ya Agasta dari keluarga kaya-raya."
Paramita senyam-senyum senang karena seperti mendapat restu. Ia menowel lengan adik lelakinya.
"Udah, gak usah iri. Sekarang kamu fokus aja dapetin Danica. Karena setelah kamu bisa nikahin dia, kamu kan bebas mau mecintai berapa banyak wanita."
Prasaja hanya menghela napas dan Yuni tak menanggapi. Ia menerawang jauh ke belakang. Ke masa kanak-kanaknya.
***