Danica mematung. Tubuhnya seketika terasa sangat dingin. Ia melihat ayahnya yang sedang menatap dirinya dengan senyuman yang aneh. Tarikan bibir yang seperti dipaksakan. Bukan dipaksakan karena tidak ingin tersenyum. Tapi dipaksakan tersenyum di tengah kesakitan.
Tatapan mata Rahadyanlah yang membuat Danica kaku. Tatapa itu persis sama seperti yang selama ini Danica bayangan. Kelopak mata yang sedikit turun, tetapi tak menutupi binar-binar kerinduan. Mata itu seperti mengikuti bibir, sama-sama berusaha tersenyum.
Kerutan-kerutan di wajah Rahadyan, semakin banyak seiring dengan tarikan senyuman. Senjanya usia yang digerogoti penyakit tak bisa ditutupi. Menyedihkan dan memilukan, tetapi tak membuat Danica menangis.
Tak ada air mata yang luruh. Sesuatu seperti menghalangi kantung air mata memberikan reaksi. Atau bahkan ada saluran irigasi yang tercipta mendadak, hingga aliran air mata tak luruh melalui kedua mata Danica, melainkan mengucur di dalam hatinya.
Sama seperti cara Rahadyan menyingkirkan selimut dengan kakinya, yang mana kedua kakinya bergerak dengan cara yang aneh, seperti kesusahan untuk digerakkan, tangan pria tua itu pun terlihat kesusahan untuk diangkat.
Kedua bola mata Danica bergulir ke arah tangan kanan Rahadyan yang sedang berusaha terangkat. Danica sampai menahan napas, menunggu tangan kanan itu terangkat. Gadis itu penasaran apa yang akan dilakukan oleh tangan ayahnya.
Danica tercekat. Tangan kanan itu hanya terangkat sedikit saja dan melambai lemah. Meminta Danica untuk mendekat.
"Sini.... Sini.... Nak...."
Dan bendungan hampir jebol. Danica tak mampu lagi. Suara ayahnya yang sangat lirih dan terbata-bata, menyapanya 'Nak'. Sebuah sapaan yang sudah ia harapkan sejak lama.
Hati Danica masih marah dan menolak. Ia tak mau menangis di depan ayahnya. Danica segera berbalik dan akan kembali ke kamarnya. Tetapi dirinya justru menabrak tubuh Agasta.
"Nica..., kenapa?"
Danica tidak mau mengangkat kepalanya. Ia memilih tetap menunduk dan mencari jalan untuk melewati tubuh Agasta yang tinggi besar. Agasta menghentikan pergerakan tubuh Danica yang ke kiri ke kanan dengan bingung. Ia memegangi kedua lengan gadis itu, memastikan Danica berdiri tetap.
"Nica, ada apa? Kamu kenapa?"
Suara yang lembut. Menenangkan; sebenarnya. Tetapi Danica tidak ingin bicara juga tidak ingin dilihat. Dengan kasar ia menginjak kaki Agasta. Agasta yang tidak berpikir kalau Danica akan kasar, menjadi terkejut dan tidak siap menghindar. Pria itu refleks melepaskan kedua tangan yang tadi menempel di lengan Danica.
Kesempatan itu diambil Danica untuk kabur. Kabur masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya yang sebenarnya. Danica membanting pintu dan segera menguncinya. Ia langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur dalam posisi telungkup dan menangis.
Di luar kamar, Agasta terpaku menatap kamar Rahadyan. Ia bisa melihat selimut yang sudah tidak menutupi kaki Rahadyan, bahkan posisi salah satu kaki Rahadyan ikut menjuntai ke lantai, sama seperti selimutnya.
Bergegas Agasta memasuki kamar Rahadyan. Agasta terkejut karena Rahadyan sedang susah payah untuk mengangkat tubuhnya. Matanya yang jeli melihat jika di bagian jarum infus terlihat darah yang naik.
"Bapak. Bapak. Tunggu."
Agasta membantu Rahadyan yang sepertinya ingin duduk. Setelah tubuh renta Rahdyan disandarkan, Agasta memeriksa selang infusnya.
"Di lepas aja ini," pinta lirih Rahadyan sembari menggerakan jemari tangan kirinya.
"Sabar dulu, ya, Pak," ucap Agasta sembari tetap memeriksa dan mencoba menurunkan daraj yang sempat naik. "Ini kan ada obatnya."
"Tangan saya kram."
Agasta tersenyum. Rahadyan jika menjadi dirinya sendiri, adalah seorang yang cukup rewel dan keras kepala. Tapi Agasta tidak pernah keberatan akan itu.
"Besok atau lusa kita lihat perkembangannya ya, Pak."
"Dari kemarin-kemarin selalu itu jawabannya."
Agasta terkekeh. Rahadyan ingat untuk beberapa detail.
"Tadi Danica...."
Agasta mendapati tatapan mata Rahadyan terarah pada pintu yang terbuka. Tak ada siapa-siapa di sana selain bahwa sebelumnya ada Danica yang berdiri mematung.
"Dia sangat cantik, Gas."
"Iya, Pak."
"Tapi..., dia jijik sama saya."
Agasta menarik napas dan menahannya. Ia tak tega wajah tua Rahadyan menjadi begitu muram. Ditambah lagi, kemuraman justru akan menarik Rahadyan lagi pada kelupaan.
"Danica hanya kaget, Pak."
Rahadyan menghela napas berat. Tatapannya terarah ke atas kemudian bergulir ke sekeliling kamar, berakhir ke sisi kanan tempat tidur yang kosong. Terdapat satu bantal dan satu guling dengan sarung penutupnya yang bersih.
"Manika mana, Gas?"
"Ibu tidur, Pak." Jawaban yang sama yang bisa Agasta berikan.
"Kenapa tidak tidur di sini?" Tangan kiri Rahadyan mengelus sisi yang kosong, perlahan-lahan. "Manika jijik dengan saya...."
"Ibu tidak ingin mengganggu Bapak."
"Tidak ingin terganggu..., mungkin...."
Agasta tak menjawab. Ia hanya diam memerhatikan saja wajah Rahadyan. Sebulir air mata menglir di pipinya yang berkeriput. Tangis penyesalan akan masa lalu yang hilang. Kesalahan yang sudah diperbuatnya, mendapat hukuman paling berat.
"Bapak jangan berpikiran negatif. Bapak tidak pernah pulang, Danica pasti kaget."
"Manika jijik dengan saya." Rahadyan mengulang kata-kata yang sama.
"Tidak, Pak."
"Tidak ada perempuan yang tidak akan jijik dengan...." Rahadyan semakin terisak.
Untung Agasta selalu menyiapkan tisu kering di meja kecil. Ia mengambil dua lembar dan menyeka air mata yang semakin deras luruh.
"Bapak tidak boleh berprasangka. Nyatanya Bapak sudah di rumah. Tidak ada yang tidak suka dengan Bapak. Hanya saja, Danica sedang terkejut saja."
Dengan sengaja Agasta tak memberikan penjelasan apa-apa perihal Manika, istri Rahadyan. Ia hanya akan menjawab jika ditanya saja. Agasta hanya tidak ingin memberikan fatamorgana berlebihan untuk Rahadyan.
"Manika mana, Gas?"
Agasta menghela napas. Pertanyaan berulang, adalah pertanda awal Rahadyan menarik diri dan lelaki tua itu akan kembali pada hal-hal yang terlupakan kecuali yang paling ingin ia ingat saja.
"Ibu tidur, Pak. Bapak mau jus?" tawar Agasta.
Rahadyan tersenyum dan mengangguk seperti anak kecil. Agasta kemudian memberikan salah satu n****+ kesayangan Rahadyan yang ditulis Danica. Agasta meminta pria itu membaca sementara ia menyiapkan menu ringan untuk Rahadyan.
***
Tangis yang lama dengan keluh kesah yang panjang, menguras emosi dan juga batin Danica. Di sela tangisnya dan pejaman matanya, Danica lari menuju ibunya yang duduk di teras depan. Ia langsung bersimpuh di kaki sang ibu dan merebahkan diri di pangkuan ibunya.
Semua lebih tenang. Rasanya lelah itu terangkat dengan belaian jemari ibunya di kepala. Aroma melati sang ibu, menjadi penanng paling ampuh bagi hati yang bersedih.
"Ma.... Papa pulang. Saya harus bagaimana, Ma....?"
Ibunya diam saja dan Danica tak menuntut jawaban. Ia kemudian memejamkan mata, larut pada kedamaian.
Sampai kemudian tubuh Danica tersentak dengan sendirinya. Danica yang tidur dengan tengkurap, mengangkat kepalanya dengan kedua mata menyipit karena silau. Danica membalik tubuhnya, telentang sejenak, mengatur napas dan fokus mata, barulah ia bangun dan duduk di sisi tempat tidur.
Ini kamarnya, tetapi ada yang berbeda.
Tempat tidur sudah bergeser, dari yang sebelumnya di bawah jendela, sekarang berada di dekat pintu. Di dekat jendela berganti dengan meja belajar dan meja rias. Tak banyak yang diubah, tetapi Danica sedikitnya kurang suka posisi barang-barang berpindah tanpa seizinnya.
Namun, Danica mulai memahami, jika Agasta memindah posisi tempat tidurnya, pasti ada alasannya. Dan alasan utamanya adalah agar lebih dekat dengan Rahadyan, pasein Agasta.
Kursi meja belajar, ditarik keluar dan diletakkan koper milik Agasta. Danica mendekat. Ada rasa penasaran apa aja yang dibawa Agasta. Perlahan ia membuka ke atas penutup koper.
Danica mengernyit dalam. Di bagian dalam penutup koper, Danica melihat sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.
Agasta? Papa?
***