“Dasar sinting!”
Veisyaqina Dinara, wanita yang lebih kerap dipanggil Vei itu meletakkan ponselnya dengan kasar ke atas meja tak peduli ponsel barunya itu mungkin akan rusak. Untuk ke sekian kalinya, dirinya kembali mendapat teror dari seorang pemuda yang akhir-akhir ini mengusik hidupnya bak hantu gentayangan.
“Ada apa, Vei?” tanya wanita yang duduk di hadapan Vei dibatasi meja restoran. Ia menatap Vei penasaran, menunggunya menjawab tanpa berhenti mengunyah kentang goreng dalam mulut. “Orang itu lagi?” tanyanya menebak.
Vei mengangguk kemudian menyedot jus alpukatnya hingga tinggal separuh.
“Aku penasaran, seperti apa orang yang mengejarmu itu.” Dena mengambil kembali kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia penasaran, orang seperti apa yang terus mengganggu Vei.
Vei bersedekap d**a dan menjatuhkan punggungnya bersandar kursi yang ia duduki. “Dia hanya anak-anak yang membuatku hampir gila. Aku tidak tahu bagaimana dia punya nomorku, dia bahkan tahu alamat rumahku.”
“Eh? Kalau sudah separah itu kau bisa melaporkannya ke polisi, lho,” timpal Dena memberi saran.
“Silakan, pesanan anda.”
Tiba-tiba seorang pelayan datang dan meletakkan cake berbentuk hati di meja di depan Vei.
Vei menatap cake itu dengan dahi berkerut kemudian mendongak menatap pelayan tersebut seraya mengatakan, “Aku tidak pesan–"
Suara Vei terhenti melihat pemuda yang saat ini berdiri dan tersenyum manis padanya. Pemuda yang mengantar cake itu ternyata adalah, dia.
“Aku yang memesannya spesial untukmu. Berbentuk hati seperti hatiku yang kupersembahkan padamu.” Pemuda itu berlutut dengan tangan terulur seakan memeprsembahkan hatinya. Ditatapnya Vei memuja seakan terdapat bentuk hati di kedua iris matanya.
Perhatian semua orang mengarah pada pemuda itu. Pemuda itu bernama Gama Rashka, berusia 19 tahun dan baru lulus SMA tahun ini. Meski begitu ia tidak peduli bahkan merasa hanya ada dirinya dan Vei di sana, yang lain hanyalah orang-orangan sawah termasuk Dena.
Wajah Vei memerah. Bukan karena tersipu atau tersanjung, melainkan karena marah dan malu. Ia bangkit dari duduknya membuat derit kursi terdengar dan tak mengatakan apapun segera pergi dari sana.
“Hei, tunggu my hero! My princess, jangan tinggalkan aku tanpa menerima hatiku!” ucap Gama lantang membuat semua pengunjung restoran menertawakannya.
Di sisi lain, Dena berlari mengejar Vei. Ia sempat terpaku sesaat pada ketampanan Gama tapi melihat Vei pergi, dirinya bergegas mengikuti.
“Vei, tunggu! Tunggu aku!” panggil Dena sampai akhirnya Vei menghentikan langkah. “Kenapa kau pergi begitu saja dan meninggalkan aku? Aku kan tidak punya uang untuk membayar,” ucap Dena terengah mengatur nafas. Makan siang kali ini Vei yang membayar, seperti biasanya.
“Aku sudah membayarnya,” jawab Vei tanpa melunturkan kekesalan di wajah. ”Dan kau masih bertanya kenapa aku pergi? Apa kau ingin aku jadi bahan guyonan semua orang di sana? Dasar sinting!” makinya. Entah umpatan terakhir ia tujukan pada Dena atau pada Gama.
“Jadi, dia orang yang menerormu itu?” tanya Dena yang berhasil mengatur nafas. Jika benar, Vei yang gila karena menolaknya.
Vei mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya diikuti Dena yang berjalan di sampingnya.
“Lalu kenapa kau tolak, Vei? Tidakkah kau lihat betapa tampannya dia? Dia seperti pemeran drama wuxia kesukaanku.”
Seketika Vei menghentikan langkah menatap Dena dengan dahi berkerut.
Dena kembali berceloteh. Menurutnya Gama sangat tampan, sangat sia-sia jika menolak pemuda setampan Gama. Tinggi, putih dan memiliki wajah yang sempurna. Tak dapat dijelaskan seperti apa tampannya, yang pasti di mata Dena, Gama bak aktor pemeran drama wuxia. Dan menurutnya, hanya wanita bodoh yang menolak laki-laki setampan Gama.
Vei menempelkan punggung tangannya di dahi Dena. “Apa kau tak waras?” tanyanya sarkas.
Dena menepis tangan Vei dan menggerutu karena disebut tak waras olehnya.
“Justru kau yang tak waras, Vei. Hanya wanita bodoh yang tak mau dengan laki-laki setampan dia.”
Vei menghela nafas berat kemudian mencoba menjelaskan berharap pikiran Dena terbuka dan mendapat hidayah. “Begini, kau tahu berapa usiaku sekarang?”
Alis Dena berkerut. “Dua puluh lima. Kenapa? Kau lupa usiamu sendiri?”
“Baiklah, usiaku sudah seperempat abad dan kau tahu berada usianya? Dia masih delapan belas, Dena, delapan belas! Baik lah, aku tidak tahu pasti berapa usianya tapi dia baru lulus SMA tahun kemarin,” ujar Vei dengan penekanan di setiap kata.
Dahi Dena kian berkerut menatap Vei dan mengatakan, “Lalu, di mana masalahnya?”
Rasanya Vei sudah muak. Ia menarik nafas panjang dan menjawab dengan kekesalan. “Masalahnya dia lebih muda dariku. Dia berondong, Dena, berondong! Garis bawahi, berondong! Dan kau tahu seperti apa berondong itu? Dia hanya ingin main-main sementara aku benci dengan laki-laki seperti itu!”
“Yang penting tampan. Kalau dia mau, aku bahkan mau jadi sugar mommy-nya,” kata Dena seakan tak punya dosa.
“Jangan konyol, kalau kau punya uang bayar saja hutang-hutangmu padaku," sergah Vei dengan tatapan sedatar papan. Sangat tak masuk akal jika Dena mau jadi sugar mommy sementara keuangannya sendiri memprihatinkan.
Di sisi lain, Gama masih berada di restoran di mana pandangannya jatuh pada ponsel Vei yang tertinggal. Sudut bibirnya terangkat menciptakan senyuman tipis kemudian mengambil ponsel Vei dan memasukkannya ke saku celana.
***
Vei berjalan gontai memasuki rumah kontrakannya. Rumah kontrakan sederhana yang telah menjadi tempat tinggalnya selama dua tahun terakhir. Hari ini benar-benar hari terburuk dan memalukan teringat yang Gama lakukan sebelumnya. Padahal ini hari liburnya dan ia ingin menghabiskannya dengan merefresh otak sebelum bertempur kembali dengan pekerjaannya Senin nanti.
Seraya melangkah menuju kamarnya, Vei membuka tas mencari ponselnya. Namun, ia tak menemukannya. Ia pun panik berpikir ponselnya hilang sampai tiba-tiba ia ingat bahwa melupakan ponselnya saat keluar dari restoran.
“Ck, ponselku,” desah Shakila dengan menepuk jidat.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar membuat Vei membalikkan badan, berjalan menuju pintu untuk membukanya dan melihat siapa tamu yang datang.
“Halo.”
Mata Vei melebar melihat Gama adalah tamu yang datang dan berdiri di hadapannya sekarang. Pemuda itu tersenyum manis padanya dan melambaikan tangan.
“Kau? Apa yang kau lakukan di sini?!” Vei sama sekali tak berniat menyapa tamunya dengan ramah. Sebaliknya, ia justru memasang wajah garang.
Gama tak melunturkan senyuman kemudian mengeluarkan ponsel Vei dari saku hoodie yang dipakainya. “Mencari ini?” ucapnya yang dengan sengaja menggoyangkan ponsel Vei di depan wajahnya.
“Kau mencurinya?!” Vei berusaha merebut ponselnya dari tangan Gama. Namun, tangan Gama begitu lincah mengelak membuatnya gagal.
“Apa seperti ini caramu berterima kasih? Jika bukan aku yang mengambilnya dan mengantarkannya ke sini, kau pasti tak akan melihat ponselmu ini lagi. Dan yah, sebenarnya itu jadi masalah juga buatku, sih. Nanti aku tidak bisa mendengar suaramu kalau aku rindu.”
Vei berusaha menekan emosi meski rasanya ingin sekali mencakar wajah Gama. Jika sebelumnya Gama hanya menerornya lewat telepon, sekarang Gama lebih berani dengan menemuinya secara langsung bahkan mendatangi rumahnya. Meski datangnya Gama ke rumahnya kali ini untuk mengembalikan ponselnya tapi tetap saja, Gama pasti punya niat terselubung untuk memanfaatkannya.
Vei setengah menunduk, mengambil nafas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian kembali mengangkat kepala menatap Gama yang kira-kira 20 cm lebih tinggi darinya.
“Baik lah, kau boleh memiliki ponselku tapi setelah ini, berhentilah menggangguku,” tegasnya kemudian berniat segera menutup pintu. Namun, Gama mencegahnya, menahan pintu sebelum tertutup dengan kaki dan tangannya.
“Tunggu, tunggu dulu. Baik lah, kukembalikan ponselmu,” ucap Gama seraya memberikan ponsel Vei padanya.
Vei menatap ponselnya di tangan Gama dan kembali menatap Gama penuh waspada. Dan saat ia mengambil ponsel itu, dengan cepat Gama menangkap tangannya dan menggenggamnya.
“Kau!” geram Vei dengan mata melotot.
“Kukatakan sekali lagi, aku menyukaimu, ayo kita pacaran,” ucap Gama. Ia pernah mengatakannya sebelumnya tapi lewat sambungan telepon.
“Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mau denganmu,” jawab Vei segera, seakan menjawab pertanyaan Gama sama sekali tak butuh waktu lama.
“Kenapa? Beri aku alasan.”
“Kau masih anak-anak.”
“Aku sudah sembilan belas tahun. Aku sudah legal.”
“Aku tidak suka pria yang lebih muda.”
“Cinta tak pandang usia. Bagiku kita seumuran.”
”Aku mengincar pria kaya. Seleraku bukan pengangguran.”
“Harta bisa dicari dan aku bukan pengangguran. Aku bekerja sekaligus kuliah.”
“Aku janda.”
“Itu bukan–” Suara Gama terhenti dengan mata melebar. Ia terkejut dan tak bisa lagi menjawab alasan Vei seperti sebelumnya dengan mudah.
Melihat Gama lengah, Vei menarik tangannya dan berhasil merebut ponselnya dari tangan Gama. Ia segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Gama masih berdiri dalam diam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ucapan Vei yang menyebut dirinya janda seolah masih berputar-putar dalam kepala.
“Janda, ya," gumam Gama diikuti seringai tipis terukir setelahnya.