Gama memasuki sebuah restoran. Bukan untuk makan, melainkan untuk bekerja. Ia bekerja di restoran itu sekitar satu bulan yang lalu. Di hari aktif ia akan kuliah dan Sabtu Minggu ia bekerja di sana. Kemarin ia bisa menyambangi Vei karena izin tidak masuk.
Belum sampai langkah Gama memasuki ruang ganti, ia telah dihadang wanita yang meneleponnya sebelumnya. “Ke ruanganku, sekarang!” perintah wanita itu kemudian melangkah pergi.
Gama menghela nafas berat kemudian mengikuti bosnya itu sesuai perintah.
“Apa kau pikir ini restoran nenek moyangmu? Kau di sini bekerja, aku yang membayarmu! Kemarin kau sudah libur dan sekarang kau terlambat, kau kira ini tempat dugem di mana kau bisa keluar masuk sesuka hatimu?” marah wanita berusia 20 tahun tersebut. Wanita yang merupakan pemilik restoran itu bernama Maudy. Restoran itu milik ayahnya dan ia diberi tugas mengurus restoran tersebut.
Gama hanya tertunduk tak berniat mencari alasan meski dalam hati ia mengumpat. Padahal, ia hanya terlambat 5 menit tapi bosnya memperlakukannya seakan terlambat satu jam lebih.
“Sekarang, cepat bekerja! Jika setelah ini kau terlambat lagi, aku tak akan segan memotong gajimu!”
Gama mengangguk lemah kemudian membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruangan.
Setelah Gama keluar dari sana, tiba-tiba ekspresi Maudy berubah. Wajah yang sebelumnya menunjukkan kemarahan, kini digantikan dengan wajah memuja pada sebuah foto yang diambilnya dari dalam laci. Dan foto itu adalah, foto Gama.
“Dasar mulut sialan, kenapa kau memarahi orang setampan ini?” maki Maudy pada diri sendiri dengan menyentil mulutnya. “Tapi setidaknya, dia telah masuk ke ruangan dan meninggalkan aroma tubuhnya yang harum,” ucapnya kembali dengan menghirup udara dalam seakan jejak harum Gama masih tertinggal. Ia tak berhenti memandangi foto Gama, mengusapnya seakan menyentuh wajah Gama secara langsung kemudian menciumnya sangat lama. Sebenarnya ia menyukai Gama, tapi dirinya harus tetap menjaga image di depan karyawan lain.
Melepas foto Gama dari bibir, Maudy terlihat berpikir. Selain menjaga image, ia sengaja menjadi tsundere agar Gama memikirkannya, mengikuti cara di n****+-n****+ yang pernah ia baca di mana pemeran utama awalnya saling benci tapi pada akhirnya saling jatuh cinta. Tapi, sepertinya cerita seperti itu hanya dalam n****+ belaka. Kenyataannya sampai sejauh ini tak ada perkembangan hubungan antara ia dan Gama.
Tiba-tiba seringai Maudy terukir saat ia menemukan sebuah cara yang berkemungkinan akan berhasil. “Hm, patut dicoba,” gumamnya.
Di sisi lain, Gama telah mengganti pakaiannya dengan baju seragam sampai tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.
“Dimarahi bos, Gam?” tanya laki-laki itu yang merupakan rekan kerja Gama yang juga sebagai pelayan.
Gama mengedikkan bahu. “Sudah jelas, kan,” ucapnya.
“Lagian, tumben telat. Ada apa?” tanya rekan Gama tersebut. Laki-laki berusia 21 tahun itu bernama Adit. Ia lebih dulu bekerja di sana, hampir satu tahun lamanya.
“Ada sedikit urusan tadi," jawab Gama tak berniat memberitahu yang sebenarnya terjadi. Setelahnya ia pun mengajak Adit ke depan saat restoran mulai kedatangan pelanggan.
***
Hari ini hari Senin dan seperti biasa, Vei masuk kerja di waktu yang masih pagi untuk menghindari kemacetan. Vei bekerja sebagai staff admin di sebuah perusahaan bersama tiga rekannya salah satunya Dena.
Vei kira dirinya yang paling pertama masuk tapi, ia sudah mendapati Jovan di tempat duduknya.
“Pagi, Vei,” sapa Jovan saat Vei baru saja duduk di kursinya.
“Tumben sudah di sini, Jo," balas Vei. Pasalnya, baru kali ini ia menemukan Jovan lebih dulu hadir daripada dirinya.
“Ya, tadi aku nebeng Anton. Motorku rusak," jawab Jovan kemudian bangkit dari duduknya saat melihat Willy datang. “Aku ke toilet dulu, Vei.”
“Ah, ya," balas Vei yang masih belum menyadari Willy telah berdiri di belakangnya.
“Selamat pagi.”
“Kyah!" Vei tersentak begitu terkejut mendengar suara Willy. Ia sampai menjatuhkan lip tint yang hendak ia pakai. “Oh, ya Tuhan, Pak Will, bikin kaget saja,” ucapnya kemudian membungkuk mengambil liptint-nya yang jatuh. Namun, sebelum berhasil meraihnya, Willy lebih dulu mengambilnya.
Tangan Vei mengambang di atas tangan Willy yang menggenggam lip tint-nya. Ia pun menegakkan kepala membuat pandangannya dengan Willy bertemu. Posisi Willy setengah berlutut dengan jarak begitu dekat.
Vei segera menegakkan punggungnya. Alih-alih merasa gugup karena bertemu tatap dengan Willy, dirinya justru mengumpat dalam hati.
Willy bangkit berdiri dan memberikan lip tint itu pada Vei. “Ini.”
“Ya … terima kasih.”
“Oh, ya, Vei, yang kemarin itu benar adikmu? Dia masih sekolah? Atau sudah kuliah? Aku baru tahu ternyata kau punya adik,” tanya Willy. Ia sengaja mencari topik pembicaraan agar bisa mengobrol dengan Vei. Bisa bicara dengan Vei saja sudah membuat hatinya senang dan bergemuruh.
“A … dia kuliah, Pak,” jawab Vei. Ia harap jam kantor segera dimulai agar Willy pergi. Atau, setidaknya Dena segera datang dan membantunya.
“Di mana? Jurusan apa?” tanya Willy kembali guna mengorek informasi. Seperti rencananya kemarin, ia ingin mendekati adik Vei agar membantunya lebih dekat dengan kakaknya.
Vei tampak gugup dan gelagapan. Sampai akhirnya dewi penolongnya datang.
“Selamat pagi!” seru Dena yang baru datang. “Eh? Pak Will? Apa yang Pak Will lakukan di sini?” sapanya melihat Willy berdiri di samping tempat duduk Vei.
Willy hanya melempar senyum tipis dan mengatakan, “Tidak ada. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu pada Vei mengenai pekerjaan kemarin.”
“Halah, jangan bohong, Pak. Bilang saja mau pendekatan,” ucap Dena dengan nada menggoda.
Willy menggaruk pipinya yang tak gatal dan tertawa kikuk. “Wah, ketahuan, ya.”
Tiba-tiba Vei bangkit dari duduknya. “Maaf, aku ke toilet dulu,” ucapnya kemudian segera berlalu.
Willy menatap punggung Vei yang mulai menjauh. Ia merasa Vei selalu menghindarinya padahal, ia bahkan belum menyatakan perasaan.
Willy tersenyum kecut dan Dena dapat melihatnya dengan jelas.
“Pak Will, yang sabar, ya. Vei memang begitu orangnya,” ucap Dena untuk menghibur. Kasian juga pada Willy yang tampak kecewa.
“Ah, tidak apa-apa. Oh, ya, Den, kau tahu mengenai adiknya Vei?”
Dena menatap Willy bingung. “Adik?” gumamnya.
Willy mengangguk dan menceritakan pertemuannya dengan Vei kemarin saat jogging.
“Tapi, setahuku Vei tinggal sendiri, Pak Will. Tapi, entah lah, aku tidak begitu tahu mengenai keluarganya. Meski kami berteman dekat, tapi Vei tertutup jika sudah menyangkut keluarga,” ujar Dena. Ia tidak bohong. Meski berteman dekat dengan Vei, ia bahkan tidak tahu apakah Vei masih punya orang tua atau tidak atau dia terdiri dari berapa bersaudara. Setiap kali membicarakan masalah keluarga, Vei selalu mengalihkan topik pembicaraan.
Di sisi lain, Vei tengah menatap pantulan wajahnya di cermin toilet. Ia menghela nafas mengingat tingkah Willy yang selalu mencari perhatiannya.
“Bagaimana cara menolaknya?” batinnya.
Jarum jam terus berputar hingga tak terasa matahari telah di atas kepala. Jam istirahat telah tiba dan Vei berniat makan di luar.
“Hei, Vei, tunggu aku!” panggil Dena yang berjalan cepat menyusul Vei yang berjalan lebih dulu. “Ish, kenapa kau buru-buru sekali?” gerutunya. Saat ini ia dan Vei berjalan ke luar gerbang menuju kedai di depan perusahaan.
Vei memutar bola mata malas. “Tentu saja karena aku sudah lapar,” ucapnya.
“Hei, kenapa kau sepertinya menghindari Pak Willy? Dia itu naksir kamu loh,” ucap Dena.
“Tapi aku tidak,” jawab Vei tanpa beban.
“Ish, memangnya kenapa? Dia tampan, manajer pula," timpal Dena yang tak habis pikir dengan Vei sampai tiba-tiba ia menghentikan langkah dan menatap Vei dengan bergidik. “Hei, apa jangan-jangan kau tidak normal?”
Vei menghentikan langkah menatap Dena dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”
Dena kembali bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri. “Jangan-jangan kau tidak tertarik dengan pria. Apa kau berteman denganku karena aku adalah targetmu?”
Seketika raut wajah Vei menjadi amat datar bahkan suram. “Kalau begitu jangan berteman denganku,” ucapnya kemudian melanjutkan langkah. Dena benar-benar menjengkelkan. Meski ia tak tertarik dengan pria, tapi dia masih normal. Dalam setiap langkah ia pun menggerutu memaki
Dena yang punya pikiran konyol tentangnya.
Hap!
Vei oleng ke samping kiri saat sebuah tangan tiba-tiba menariknya tepat saat ia melewati pintu gerbang.
“Apa yang kau–” Suara Vei terhenti saat melihat pelaku yang menariknya sembarangan bahkan saat ini masih menggenggam pergelangan tangannya.
“Oh, maafkan aku. Apa aku mengejutkanmu?” ucap Gama disertai senyuman manis.