Dena begitu terkejut. Tapi, melihat dan mendengar bagaimana reaksi Vei membuat rasa penasarannya menciut.
Tak berselang lama, motor Vei pun berhenti di perempatan. Dengan ragu Dena turun dan entah kenapa ia merasa bersalah sekarang.
“Te– terima kasih,” ucap Dena.
Tanpa mengatakan apapun Vei hendak kembali menarik gas. Namun, tiba-tiba Dena menahannya.
“Vei, aku … minta maaf jika pertanyaanku tadi membuatmu marah. Aku hanya penasaran karena sekian lama kita berteman aku justru mendengar hal itu dari orang lain. Tapi, mulai sekarang aku tidak akan bertanya lagi. Aku sadar, mungkin kau punya alasan sendiri kenapa menyembunyikannya selama ini.” Dena mengatakannya dengan raut wajahnya yang lesu. Bukannya menuntut Vei menjelaskan semuanya, dirinya justru merasa bersalah. Meski kadang bersikap seenaknya, keterlaluan, tapi melihat bagaimana reaksi Vei, dirinya seakan bisa membaca apa yang Vei rasakan karena dirinya adalah anak korban perceraian. Ekspresi Vei mengingatkannya pada ekspresi ibunya saat dirinya masih kecil.
Tiba-tiba Dena memeluk Vei membuat Vei terkejut.
“Meski aku temanmu yang tak tahu diri tapi, aku benar-benar menyayangimu, Vei," ucap Dena di sela pelukan. Melepas pelukannya, Dena tampak menahan tangis. “Baik lah, terima kasih. Sampai jumpa besok dan hati-hati.”
Vei menatap Dena dengan pandangan tak terbaca. Ia kira Dena akan nyerocos meminta penjelasan tapi, Dena justru bersikap seolah bersimpati padanya.
“Hei, apa yang kau tunggu. Cepat pergi, bukannya tadi kau bilang ingin segera sampai rumah?” ucap Dena dengan tangan mengibas seperti mengusir ayam.
Vei mendengus kemudian kembali melakukan motornya meninggalkan Dena yang masih berdiri di tepi jalan.
Vei sesekali melirik spion, melihat Dena sebelum benar-benar tak terlihat. Namun, tiba-tiba Vei menyadari sesuatu.
Sebuah mobil warna silver mengikuti Vei sejak keluar dari area kantor. Awalnya ia tidak curiga berpikir mobil itu searah dengannya. Tapi, harusnya mobil itu sudah lewat saat ia menurunkan Dena. Lalu, kenapa mobil itu masih di belakangnya? Ingin memastikan, Vei sengaja menepi dan berpura-pura mengecek ponselnya. Dan benar saja, mobil itu kembali berhenti tak jauh di belakangnya.
Tepat di saat itu ponsel Vei berdering. Ia segera mengangkat panggilan dan meminta pertolongan.
“Halo. Siapapun kau, tolong aku. Seseorang mengikutiku sejak tadi. Aku di jalan Mandalika,” ucap Vei tanpa mendengar siapa yang meneleponnya lebih dulu bahkan segera mematikan sambungan telepon sebelum si penelepon mengatakan sesuatu.
Vei menarik nafas panjang dan mengembuskam perlahan. “Tenang, Vei, tenang. Yang harus kau lakukan adalah tenang,” ucapnya pada diri sendiri kemudian kembali melajukan motornya.
Selama beberapa saat Vei hanya berputar-putar di jalan yang sama sambil menunggu bantuan datang. Dirinya sengaja tidak segera pulang khawatir penguntit itu memang sengaja ingin tahu alamat rumahnya. Dirinya juga sengaja berputar-putar di jalan yang cukup ramai meminimalisir jika penguntit itu tiba-tiba menghentikannya dan menculiknya.
Tak berselang lama sebuah motor datang dari arah belakang, menyalip mobil yang mengikuti Vei dan menyamakan laju motornya dengan motor Vei. Pemotor tersebut memberi isyarat pada Vei dengan menunjuk sebuah warung makan di pinggir jalan menyuruh Vei menepi ke sana.
Vei yang mengerti segera menghentikan motornya di depan warung diikuti pemotor tersebut. Ia pun begitu terkejut saat pemotor itu membuka helmnya karena pemotor itu adalah, Gama.
“Kau–”
“Sudah diam dan cepat masuk,” kata Gama dengan mengacak rambut Vei dan mengajaknya memasuki warung.
Mobil yang mengikuti Vei berhenti di seberang jalan. Namun, tak ada tanda-tanda dari pengendara mobil itu keluar.
“Sejak kapan mobil itu mengikutimu?” tanya Gama dengan mengintip mobil tersebut dari celah dinding warung yang terbuat dari kayu.
Vei hanya diam. Jika saja tahu Gama yang meneleponnya, ia tak akan meminta bantuan.
“Dari pada itu, dari mana kau tahu nomorku?” Vei selalu bertanya-tanya bagaimana bisa Gama selalu tahu nomor ponselnya. Mau berapa kali pun ia mengubah nomor ponsel, Gama selalu bisa mengetahuinya.
Gama mengalihkan perhatian dari mobil itu dan menatap Vei dari jarak begitu dekat. “Aku hacker, mau berapa kalipun kau ganti nomor, aku akan selalu mengetahuinya,” ucapnya.
Vei terkejut dengan mulut terbuka. “Pembual,” ucapnya kemudian.
Gama mengedikkan bahu kemudian memesan minuman. Tak mungkin mereka bersembunyi di sana tanpa memesan apapun, bukan?
Tiba-tiba Vei berdiri dari duduknya dan bersiap pergi. Ia lebih baik ke kantor polisi daripada berhutang budi pada Gama. Namun, Gama segera menahan tangan Vei.
“Mau ke mana?”
“Sebaiknya aku ke kantor polisi,” ucap Vei seraya berusaha melepaskan tangan Gama.
Gama menatap Vei cukup lama dengan pandangan tak terbaca kemudian tersenyum miring lalu mengambil ponsel dari saku hoodienya. Ia mengutak-atik ponselnya kemudian menyuruh Vei menelepon polisi saat itu juga.
“Telpon polisi sekarang.”
Vei menatap Gama penuh curiga.
“Bagaimana jika orang yang mengikutimu menculikmu sebelum kau sampai kantor polisi?” ucap Gama.
Mendengar itu Vei segera mengambil ponselnya. Namun, dirinya begitu terkejut saat mengusap layar dan menemukan wajah Gama menjadi wallpaper.
“Apa yang kau lakukan pada ponselku?!”sentak Vei dengan menunjukkan layar ponselnya.
Gama tersenyum kecil dan mengatakan, “Kan sudah kukatakan aku ini hacker. Sekarang, coba lihat ponselmu lagi.”
Vei kembali dibuat terkejut hingga matanya melebar melihat ponselnya kini telah mati.
Gama menggoyangkan ponselnya dan menyeringai tipis. “Sekarang, kau tidak akan bisa menelepon polisi. Kalau ke kantor polisi pun, bisa saja kau tidak akan sampai. Orang itu mungkin akan menangkapmu lebih dulu, menculikmu lalu melakukan hal aneh padamu. Masih untung jika kau langsung dibunuh, bagaimana kalau dia memperkosamu lebih dulu? Masih untung jika hanya satu orang, bagaimana jika beramai-ramai?”
“Diam!” teriak Vei membuat pemilik warung sampai terjingkat hingga menjatuhkan minuman yang Gama pesan.
Gama justru tertawa melihat bagaimana Vei melotot padanya. Wajahnya merah padam, gemeletuk giginya terdengar, dan kedua tangannya terkepal kuat seakan ingin memberi Gama bogem mentah.
“Jika aku jadi kau, aku akan tetap duduk di sini setidaknya sampai calon penculik itu pergi,” ucap Gama dengan menepuk bangku yang ia duduki.
Vei dalam kebimbangan, apa yang Gama katakan sangat menakutkan. Tapi, jika dirinya tetap diam, dirinya akan kembali berhutang budi pada Gama. Vei menghela nafas kasar saat dirinya memutuskan duduk. Pada akhirnya dirinya mengalah pada egonya.
Gama tersenyum puas. Sepertinya cara terbaik membuat Vei menurut adalah dengan menakut-nakutinya. Namun, kali ini ada hal lebih penting yang harus ia lakukan. Ia kembali mengintip mobil itu yang masih diam di tempat tanpa ada seorang pun yang turun.
“Apa mereka penagih hutang?” tanya Gama tanpa menoleh pada Vei yang duduk di sebelahnya.
Seketika dahi Vei berkerut tajam. “Apa maksudmu?”
“Mungkin kau punya hutang dan mereka ditugaskan menculikmu sebagai ganti bayaran,” ucap Gama seraya menoleh menatap Vei.
“Jangan gila, aku tidak punya hutang pada siapapun,” ucap Vei dengan membuang muka dan tangannya bersedekap d**a.
Gama terkekeh melihat reaksi Vei kemudian kembali mengamati mobil itu.
Tak terasa sudah setengah jam lebih dan mobil itu masih terparkir tanpa seorang pun yang keluar. Gama pun makin waspada karena artinya, orang dalam mobil itu benar-benar mengincar Vei.
Vei terlihat semakin cemas terlebih karena hari mulai gelap.
“Dia sudah pergi," ucap Gama tiba-tiba.
Vei terhenyak dan segera mengintip ke luar dan menemukan mobil yang mengikutinya sudah tidak ada. Hela nafas penuh kelegaan pun terdengar lolos dari mulutnya.
Tak menunggu waktu, Vei segera bangkit berdiri dan membayar. Dirinya pun bergegas keluar tanpa menunggu pemilik warung memberi kembalian.
Gama segera mengikuti Vei dan bicara padanya saat Vei sudah naik motor dan tengah memakai helm.
“Kau langsung pulang? Bagaimana jika penculik itu menunggumu di jalan?”
Seketika gerak tangan Vei yang hendak menutup helm terhenti. “Aku akan tancap gas ke kantor polisi,” ucapnya kemudian segera pergi.
Gama tak tinggal diam, ia mengikuti Vei memastikan Vei selamat sampai di rumah.
Dalam perjalanan Vei tak berhenti berpikir siapa yang hendak berbuat jahat padanya. Dirinya tidak memiliki musuh, dirinya juga tidak berhutang pada siapapun, lalu, siapa orang yang terus mengikutinya tadi? Tiba-tiba Vei terpikirkan satu orang. Namun, dirinya segera mengenyahkan pikiran tersebut.
Di sisi lain, mobil yang sebelumnya mengikuti Vei berhenti di parkiran sebuah hotel. Namun, hingga beberapa saat pengemudi mobil itu tak segera turun.
“Sialan, apa pria itu kekasihnya?” gumam pria tersebut teringat wajah Gama.