11. Kembali Berhutang Budi

1087 Words
Gama memeras handuk yang dicelupkan air hangat kemudian menggunakannya untuk mengompres dahi Vei. Melihat Vei pingsan, ia segera membawa Vei ke kamarnya dan merawatnya tak peduli ia akan terlambat ke kampus. Dipandanginya wajah Vei dalam diam kemudian mengedarkan pandangan ke penjuru kamar wanita itu. Dalam hati ia memuji, rumah Vei begitu rapi dan bersih begitu juga kamarnya. Tiba-tiba perhatian Gama jatuh pada sesuatu di atas meja rias. Bangkit dari duduknya di tepi ranjang, ia mengambil benda itu dan memperhatikannya dengan seksama. Getaran aneh terasa di dalam d**a melihat foto pernikahan Vei dengan mantan suaminya. Itu artinya, Vei sama sekali tak berbohong, dirinya benar-benar sudah pernah menikah. Gama tersenyum kecut, ia akui mantan suami Vei cukup tampan. Dalam hati pun bertanya-tanya kenapa Vei dan suaminya itu berpisah? Gama menoleh menatap Vei yang masih memejamkan mata. “Apa masih cinta?” gumamnya karena Vei masih menyimpan foto pernikahannya. Gama memasukkan foto itu ke saku celana kemudian kembali duduk di tepi ranjang tanpa berhenti memandangi wajah wanita pujaannya. Dirinya sudah punya kesempatan dua kali untuk melakukan sesuatu pada Vei, tapi ia tidak akan melakukannya. Tiba-tiba ponsel Gama berdering. Ia pun segera mengangkat panggilan yang tak lain dari Galih. “Oi, di mana kau? Sebentar lagi dosen killer masuk kelas.” “Aku tidak masuk. Katakan aku sakit perut.” “He? Alasan macam itu? Aku tidak percaya,” balas Galih. “Semoga diareku menular padamu.” Setelah mengatakan itu Gama mematikan sambungan telepon tak ingin membuat suara berisik dan akan membangunkan Vei. Ia anggap pingsannya Vei sebagai caranya beristirahat. Perlahan dahi Vei tampak berkerut diikuti kedua matanya yang terbuka. Saat pertama kali membuka mata, kepalanya seakan berputar-putar. Vei berusaha meraih kesadaran dan memijit kepala sampai ia merasakan handuk basah di dahinya. Ia pun terkejut, siapa yang mengompresnya? “Sudah bangun?” Vei begitu terkejut mendengar suara Gama. Pandangannya mengarah pada sumber suara dan menemukan Gama tersenyum padanya. Sekarang Vei ingat, dirinya jatuh pingsan saat Gama berada di rumahnya. “Apa yang kau lakukan di sini? Cepat pergi,” kata Vei seraya berusaha bangun untuk duduk. “Kurasa itu bukan kata-kata yang harusnya kau ucapkan. Bukankah harusnya bilang terima kasih? Gara-gara kau, aku bolos kuliah, loh.” Vei terdengar mendesis. “Aku tidak menyuruhmu menolongku,” ucapnya. “Haish, kenapa kau keras kepala sekali? Harusnya saat ini kau takut, bukan? Dengan keadaanmu yang seperti ini, aku bisa melakukan apapun padamu dengan mudah.” “Berani kau melakukannya, aku akan berteriak,” geram Vei dengan tatapan tajamnya. Namun, tatapan tajam itu tak seperti biasa, tampak sayu karena kondisinya. “Sudah lah, jangan keras kepala. Sebaiknya cepat minum obat,” titah Gama seraya mengambil obat yang ia bawa dalam tas. Bukan hanya di rumah, ia juga selalu membawa obat Paracetamol dalam tasnya untuk jaga-jaga. Sebagai pemuda yang hidup mandiri dirinya selalu sedia payung sebelum hujan. Vei menepis tangan Gama yang menyodorkan sebutir obat padanya membuat obat itu jatuh ke lantai. “Kubilang pergi!” bentak Vei. Dirinya marah kenapa harus terus berhutang budi pada Gama. Ia tidak ingin membuka sedikitpun celah bagi pemuda itu. Selain itu, ia berprasangka buruk mengenai obat itu Gama menatap obat itu yang kini terkapar di lantai. Apakah setidak sudi itu Vei padanya? Niat baiknya selalu mendapat balasan buruk darinya. Namun, teringat foto pernikahan Vei yang saat ini ia sembunyikan dalam sakunya membuatnya melapangkan d**a. “Ssh, padahal itu persediaan obat terakhir dalam tasku,” kata Gama. Vei tersenyum mengejek. “Jadi kau selalu menyediakan obat seperti itu dalam tasmu?” Dahi Gama tampak berkerut. Ia yang berdiri di sisi ranjang, menatap Vei menaruh curiga. “Apa maksudmu obat seperti itu?” Vei mencebik mencemooh. “Aku tidak akan tertipu cara murahan yang dilakukan anak-anak," ucapnya sarkas. Gama terdiam sejenak sampai akhirnya ia tahu maksud ucapan Vei. Decakan disertai gelengan ringan tercipta, ia tak mengira Vei berpikir seburuk itu tentangnya. “Kau pikir itu obat perangsang atau semacamnya? Ssh, lucu sekali. Apa kau lupa? Kemarin aku punya kesempatan tapi aku tidak melakukan apapun. Kenapa sekarang aku harus menggunakan obat untuk menidurimu? Orang dewasa benar-benar munafik. Mulutnya mengatakan tidak, tapi yang ada dalam otaknya hanya hal-hal berbau persetubuhan.” Amarah Vei memuncak, tangannya terkepal kuat. Kalimat panjang yang Gama ucapkan begitu menusuk ulu hatinya. Tiba-tiba Gama membalikkan badan. “Baik lah, kalau begitu aku akan pergi. Kurasa aku benar-benar telah membuang waktu di sini.” Setelah mengatakan itu Gama melangkah keluar dari kamar dan pergi dari rumah Vei meninggalkan Vei seorang diri seperti hari-hari yang biasanya ia lalui. “Aagh!” Vei membanting handuk yang sebelumnya menempel di dahi. Nafasnya naik turun tak terkendali dengan d**a terasa panas terbakar. Ia benar-benar marah dan berharap Gama benar-benar pergi. “Pergi saja! Pergi! Karena aku memang ingin kau pergi dari hidupku!” teriaknya. Vei membuang baskom bekas kompres di atas nakas dekat tempat tidur meluapkan emosi. Emosinya tak terkendali menjadi dua sisi. Dirinya marah karena lagi-lagi berhutang budi tapi juga marah telah bersikap seperti manusia tak punya hati. Tak berapa lama setelah itu, ternyata Gama kembali dengan obat dan makanan. Vei kira Gama sudah menyerah bahkan membencinya tapi, kenapa Gama masih saja peduli padanya? “Sarapan dulu baru minum obat. Atau, mau aku suapi?” Vei yang saat ini terbaring di ranjang, hanya membuang muka dengan memasang wajah garang nan masam. Ia tidak ingin menatap wajah Gama dan membuatnya merasa bersalah. Gama terdengar menghela nafas lalu mengatakan, “Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tapi kau tidak akan makan nanti. Ya sudah, aku akan pergi. Jangan berpikir aneh-aneh, aku tidak menambahkan sesuatu pada makanan itu atau memberimu obat untuk membuatmu tergila-gila padaku. Di luar sana masih banyak yang tidak bisa makan, jadi jangan berpikir membuang makanan. Kalau aku jadi kau, aku akan makan dan minum obat. Aku tidak mau ditemukan meninggal saat sudah jadi kerangka. Kau tinggal sendirian dan sepertinya jarang ada orang datang bahkan temanmu sendiri.” “Sampai kapan kau bicara? Kalau mau pergi, cepat pergi,” sela Vei. Sebenarnya ia tetap ingin bungkam tapi telinganya terasa panas mendengar nasehat yang Gama sampaikan. Gama tersenyum tipis. Mengedikkan bahu, ia pun membalikkan badan dan kembali melangkah pergi. Kini kamar Vei kembali hening. Ia menatap nasi bungkus dan obat yang Gama tinggalkan dalam diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia memang lapar dan juga butuh obat. Tapi, apakah ia akan menjilat ludahnya sendiri? Kembali menerima bantuan Gama dan berhutang budi? Di sisi lain, Gama tengah dalam perjalanan ke kampus meski terlambat. Saat hampir sampai kampus, dirinya baru menyadari ada sebuah mobil yang mengikuti dan mobil itu adalah, mobil kemarin yang mengikuti Vei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD