bc

Diam-diam Menikahimu

book_age18+
211
FOLLOW
2.3K
READ
billionaire
HE
drama
bxg
brilliant
office/work place
addiction
assistant
seductive
like
intro-logo
Blurb

Jenaya Cordie, seorang wanita dengan masa lalu yang kelam, secara tak terduga terjerat dalam pusaran hidup Sagara Xavero Adnan, seorang nama besar dalam industri yang gemerlap. Jenaya, yang tumbuh sebagai anak seorang p*****r dan pembunuh, tidak pernah berpikir bahwa dunia akan mengizinkannya bersentuhan dengan kebahagiaan. Namun, ketika cinta memasuki kehidupannya dalam bentuk Sagara, ia harus menghadapi sorotan dunia yang tak terhindarkan. Termasuk orang tua Sagara. Sanggupkah Jena menanggungnya?

chap-preview
Free preview
SADAR DIRI
Jenaya Cordie, begitulah nama yang tertulis jelas di tag nama yang ia pakai. Ponselnya terus menerus berdering entah itu panjang atau pendek. yang jelas saat ini Jenaya sangat pusing dan muak dengan ponselnya. ada rasa ingin melempar ponselnya, tapi ia sangat sayang karena uangnya tidak sebanyak untuk membeli ponsel baru. Mr. Saga [Jena, sayang, Kamu sudah makan?] Tulisan yang terbaca dari layarnya itu membuat Jena makin malas menatap ponselnya. Cepat-cepat ia menyimpan lagi ponselnya sebelum ada yang melihat. Jena memutuskan bergegas menuju kantornya tanpa menghiraukan lagi ponselnya. Matanya menerawang jauh. Ia mengingat lagi, bagaimana bisa ia terlibat sejauh ini dengan pria bernama Saga? Tiba-tiba saja kepalanya terasa berat dan aroma di dalam kereta bawah tanah itu terasa menusuk hidung Jena. Sekian lama menikmati fasilitas dari Saga, apakah kini ia mulai tidak terbiasa dengan kehidupan sederhana di kota London, kota kelahirannya? Jena kembali dari lamunannya ketika getaran kembali terasa di sakunya. Ia juga dikejutkan dengan panggilan pemberhentian di Stasiun Pusat Kota London, Stasiun Pimlico. Jena sedikit kesusahan untuk keluar dari kereta karena memang ini jam padat. Ia bahkan takut pintu kereta sudah menutup sebelum ia sampai di depannya. Setelah perjuangan yang cukup berat berdesak-desakkan dan menghirup berbagai aroma yang membuatnya mual. Jena akhirnya bisa bernafas lega. Tapi perutnya tidak. Ia berlari menuju toilet umum dan memuntahkan makan malamnya. Jena buru-buru mengusap ujung bibirnya dan melihat ke arah jam tangannya. Ia terbelalak saat mendapati jarum jam menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Itu artinya dia sudah terlambat. Rasanya ia ingin menangis sekarang. Pagi tadi ia bersiap-siap dengan terburu-buru untuk ke kantor. Ternyata ia masih saja telat. Semuanya terasa sia-sia “Ini semua gara-gara Saga Sialan itu! Aku jadi sangat bodoh mengatur waktu. Kenapa aku begitu bergantung dengan pria tidak tahu malu itu?!” gumam Jena dengan mata berair dan langkah gontai meninggalkan kamar mandi. Ia tak lagi bersemangat melangkah menuju kantor. Langkah terburu-burunya sudah tak berarti. Perutnya kini sudah sangat lapar, ia pun memilih untuk mampir ke sebuah kedai kecil yang menawarkan roti isi. Saat ia sedang mengantri, matanya menatap ke arah televisi yang menampilkan seorang pria tampan yang tersenyum lebar saat seorang wanita memeluknya erat. Jocelyn Vieux, wanita keturunan Perancis - Indonesia itu dikabarkan sudah menjalin hubungan sangat lama dengan Sagara Xavero. Pria berkebangsaan Indonesia itu juga terlihat tak canggung lagi memperlihatkan kedekatan mereka di depan publik. Mendengar penuturan pembawa berita itu, kini Jena merasa nafsu makannya hilang. Tapi tidak dengan perutnya. Perutnya itu tetap berdemo, jadi ia memilih untuk tetap berdiri mengantri dengan mata berkaca-kaca. “Hello, pumpkin. Kamu terlihat pucat hari ini. Aku akan menambahkan ekstra daging cincang untukmu pagi ini. Kamu pesan seperti biasa kan?” ucap seorang wanita paruh baya yang memang sangat hafal dengan kebiasaan Jena. Jena hanya mengangguk. Ia tahu, jika sedikit saja dirinya membuka mulutnya. Bukannya menjawab, dia pasti akan menangis. “Baiklah, tunggu sepuluh menit. Aku tahu kamu terburu-buru,” ucap wanita tua itu. Jena kembali mengangguk sambil menghela nafas panjang. Ia kemudian menunggu sedikit jauh dari kedai supaya tak bisa mendengar narasi berita yang sangat mengganggu telinganya itu. “Jocelyn itu sangat beruntung. Aku dengar prianya itu sangat kaya. Kau tahu toko di ujung sana? Itu milik pria di layar itu. Aku baru tahu toko kecil itu menjual quiet luxury brands. Penampilan tokonya memang terlihat mewah, tapi kamu tahu brandnya tak banyak kita dengar. Kau mau mampir kesana?” ucap seorang wanita yang berdiri tak jauh dari dirinya. “Bukankah itu artinya harganya akan sangat mahal?” timpal seorang wanita di depannya dengan badan yang cukup indah dengan rambut yang tergerai. Jena hanya menghela nafas panjang lagi. Ia berdecak sebal dalam hatinya, padahal ia sudah duduk cukup jauh dari keramaian, tapi ia masih bisa mendengar kasak-kusuk tentang pria dan wanita yang sangat tidak ingin dia dengar. “Lihatlah penampilan pria itu, gila! Aku tahu dibalik jasnya itu, pasti ada otot-otot yang menonjol,” ucap wanita yang dilihat Jena menatap layar itu penuh minat. “Kau tahu, jangan ke tokonya sekarang. Dia pasti masih berada di Paris hari ini. Bagaimana jika beberapa hari lagi. Siapa tau kita bisa memastikan otot kekarnya itu secara langsung.” Mendengar salah seorang perempuan mengatakan itu, Jena tak lagi tahan untuk berada di sana. Ia segera menghampiri Bibi pembuat roti isi. Setelah mendapatkan pesanannya Ia segera berjalan cepat dan menuju kantornya. “Jena, kenapa baru datang? Ini bahkan sudah setengah jam berlalu dari jam masuk. Apa terjadi sesuatu?” tanya Felipe, sahabat satu kantornya yang lumayan dekat dengannya. “Maaf, aku merasa tidak enak badan,” ucap Jena asal. “Ya, kamu terlihat pucat. Oh, tadi Tuan Saga menelepon dan menanyakan keadaan kantor. Dia juga meminta kamu untuk segera menelponnya terkait stok produk terakhir.” “Aku akan menelponnya sekalian sarapan,” pamit Jena sambil membawa sekantong roti isi dan berjalan menuju pantry kantor. “Kalau kamu merasa sangat tidak nyaman, pulanglah Jena. Tenang saja, aku tetap akan menghitung mu masuk hari ini!” ucap Felipe setengah berteriak karena Jena yang berlalu begitu saja. Sementara itu di dapur kecil milik kantornya, Jena duduk termenung. Ia tak langsung memakan roti isi miliknya. Tidak juga menelpon Saga sesuai dengan perkataannya tadi. Raganya mungkin ada di kantor itu, tapi ingatannya menerawang jauh pada malam-malam panas yang ia habiskan bersama pria yang mengatakan akan memberikan seluruh dunianya hanya untuk Jena. Kata-kata bualan yang seharusnya memang tak perlu Jena percaya. Jena menunduk, “kenapa anak yang tidak jelas asal-usulnya bisa menyukai pria dengan latar belakang yang menakjubkan seperti dia? Sadar Jena! Sadarlah dimana posisimu! Bagaimana bisa kamu mengharapkan pria sehebat itu untuk masuk dalam kehidupanmu? Kamu tidak memiliki apapun. Tidak, Bahkan Kamu jena, Kamu itu anak seorang pembunuh dan p*****r! Bagaimana bisa kamu mengharapkan masa depan yang cemerlang? Seperti kamu biasanya. Andalkan dirimu sendiri!” Jena menunduk lalu menangkup wajahnya dan menangis tanpa suara. Tapi pundaknya sudah bergetar. Tiba-tiba tangisnya terjeda. Suara ponsel yang berdering sangat keras itu membuat Jena segera mengusap air mata juga ingus di hidungnya. Tanpa melihat nama di ponselnya, Jena segera mengambil ponselnya. “Halo?” ucap Jena dengan suara sedikit parau. “Sayang, akhirnya kamu mengangkat telponku. Syukurlah! Aku pikir kamu sakit, baru saja aku ingin menyuruh Lily melihat keadaanmu. Kamu dimana sekarang?” ucap suara pria di ujung sana dengan suara yang terdengar lega. Jena terdiam. Ia melihat ke arah ponselnya. ‘Tuan Saga’. ‘Bodoh!’ rutuk Jena dalam hati. “Saya di kantor. Sebentar lagi saya akan melaporkan yang Tuan minta,” ucap Jena terpaksa. “Ayolah Jena, kenapa kamu kaku sekali? Kamu berada di ruangan? Pergilah dulu ke dapur. Aku ingin berbicara santai denganmu,” bujuk pria di ujung sana yang sepertinya peka dengan keadaan mereka. “Baik, Pak. Nanti akan saya hubungi kembali,” ucap Jena yang kemudian mematikan sambungan telepon begitu saja. Matanya sudah berkaca-kaca dengan helaan nafas panjang. “Hubungan ini tidak benar! Aku harus mengakhirinya. Aku hanya bawahannya. Iya, Jena. Kamu pasti bisa!” ucap Jena dengan lirih. Ia kemudian memakan roti isinya, tapi baru beberapa suapan rasa mual menyergap dirinya. “Kenapa roti isi ini hambar sekali–” Tak dapat melanjutkan kalimatnya, Jena malah berlari begitu saja menuju toilet kantor. Ia muntah dan tak menyadari bahwa suara muntahannya itu lumayan terdengar di lantai dua toko kecil bernama Embun Boutique. Tanpa ia sadari, seisi ruangan sudah saling menatap satu sama lain. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook