"Boleh?" bisik Revan, suaranya serak dan dalam. Lekat menatap si cantik tanpa berkedip. Pandangannya sayu, terarah pada bibir sewarna delima milik Feeya yang terlihat begitu indah. "Bolehkah saya mendapat bekal darimu setiap hari dan kita makan siang bersama seperti ini seterusnya?" sambungnya, lantas menjauh. Dengan polos Feeya mengangguk, susah payah menelan sisa kunyahan terakhir. Entah apa yang baru dia pikirkan, padahal Revan hanya ingin bertanya apakah dirinya keberatan atau tidak dapat bekal darinya. Namun otak kecil Feeya malah berkelana kemana–mana. "Apakah kamu yakin itu tidak menjadi masalah?" "I-iya, gak masalah." "Kalau gitu, sebagai balasan, saya yang antar–jemput kamu gimana?" anjur Revan yang ikut–ikutan menawarkan sesuatu. Buru–buru Freeya menggeleng tegas. "Eh, ngg