Agam melangkah memasuki sebuah kamar yang cukup mewah dan luas. Hanya dengan berdiri diam, sosoknya yang tinggi dan kekar tampak mendominasi ruangan remang yang hanya menggunakan cahaya bulan sebagai penerangannya. Dengan langkah panjang-panjang dan tegas, Agam melangkah untuk menaiki ranjang yang berada di sudut kamar tersebut. Dalam diam, Agam memandang wajah seorang wanita yang tengah tertidur pulas.
Masih di bawah keremangan, Agam mulai mengamati relief indah wajah hawa yang berada di dekatnya itu. Kedua mata yang terpejam erat, dihiasi bulu mata yang melengkung lentik dengan indahnya. Hidungnya tampak mancung walaupun kecil. Pipinya yang putih bersih dihiasi pemerah pipi yang samar. Ya, Agam tidak berbohong jika dirinya memuji jika wanita ini memilik wajah ayu yang tentu saja mudah mencuri hati pria mana pun yang melihatnya.
Pandangan Agam turun pada bibir wanita itu. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda, terlihat tidak terkatup rapat seakan mengundang Agam untuk melumatnya sekarang juga. Agam berdecak dan tanpa sadar tangan Agam yang besar menyentuh pipi si wanita dan mengusapnya dengan lembut. Apa setiap wanita memiliki kulit selembut dan sekenyal ini? Agam bertanya dalam hatinya. Cukup menyukai tekstur pipi si wanita yang memang kenyal. Pipi wanita ini memang cukup berisi dan memungkinkan orang lain untuk mencubit kedua pipinya yang putih bersih menjadi merah karena bekas cubitan.
Beberapa saat kemudian, Agam kembali dibuat terpaku, saat melihat bibir si wanita tertarik menjadi senyuman cantik. Agam merasa terkejut, tentu saja ia merasa takut jika wanita itu bisa terbangun karena perlakuannya ini. Tapi beberapa saat kemudian Agam bisa bernapas lega karena si wanita kembali lelap dalam tidurnya. Agam menyeringai dan berkata, “Kenapa aku harus cemas akan hal yang sudah pasti? Kau tidak akan terbangun hingga fajar menyingsing. Sayang sekali, kau harus kehilangan malam pertamamu karena kebodohanmu sendiri.”
Agam menoleh ke arah meja di mana sebuah kamera telah ia letakkan di sana. Ia memastikan kamera tersebut masih merekam dengan baik, sebelum kembali menatap si wanita. Tanpa permisi, Agam segera melucuti gaun hitam yang menutup sempurna tubuh wanita tersebut. Setelah tak ada lagi yang menghalangi tubuh si wanita, Agam menelan ludah dengan kelu.
Agam mengeratkan rahangnya. Ia mencengkram rahang si wanita yang masih terlelap dengan kasar. “Sebenarnya apa yang kau lakukan padaku, hingga aku menjadi seperti ini? Ah apa kau senang telah membuatku seperti ini?” tanya Agam dengan nada frustasi yang kental. Sunguh Agam merasa bingung hingga mencapai batas frustasi karena tidak bisa menemukan jawaban atas kebingungannya itu.
Tidak ada jawaban, karena tentunya si wanita masih tenggelam di alam bawah sadarnya. Hal itu membuat Agam menggeram dan menyentakkan miliknya dengan kasar dan dalam. Tindakan Agam rupanya direspon oleh tubuh si wanita. Tubuh mungil itu bergetar beberapa saat, sedangkan milik Agam dicengkram semakin kuat.
“Kau menantangku? Ah baiklah. Malam masih panjang. Dan kita lihat, siapa yang akan menang. Aku, atau kau … Yasmin.”
“Argh!”
Agam terbangun dari tidurnya dengan paksa. Napasnya terengah dan tubunya dibanjiri keringat. Agam bersandar di kepala ranjang dan menatap bagian bawah tubuhnya yang masih ditutupi selimut. Ia mendengkus saat sadar sudah mimpi basah, bahkan kebanggannya saja masih bangun dengan gagahnya.
“Sial,” maki Agam saat mimpinya kembali terbayang. Semenjak kejadian Yasmin yang menghilang karena diusir oleh keluarganya, setiap malamnya Agam selalu mendapatkan mimpi yang sama. Hal ini yang membuat harinya selalu buruk karena suasana hati Agam yang tak terkendali. Sungguh menyebalkan, bagaimana Yasmin bisa mempengaruhinya sampai seperti ini? Apa yang sebenarnya gadis bisa itu lakukan padanya? Jika benar di dunia ada yang namanya guna-guna dan sihir, mungkin Yasmin telah melakukan hal itu padanya.
Agam menatap jemarinya, yang seakan-akan masih merasakan sensasi lembut dan hangatnya kulit telanjang Yasmin yang ia sentuh dan raba sepuas hati. Wajah memerah Yasmin yang berkeringat dan suara napasnya yang tersenggal-senggal juga masih lekat dalam ingatannya. Hal itu semakin membuat yang di bawah sana menegang dengan hebatnya. Agam melirik jam di atas nakas, dan ini baru jam dua pagi. Ini masih terlalu dini untuk mandi, apalagi mandi air dingin.
Sungguh memalukan, bagaimana Agam bisa menjadi seperti ini hanya karena bayangan Yasmin yang mendatangi mimpinya. Agam mengetatkan rahangnya. Jika Yasmin ada di hadapannya saat ini, Agam memberikan sebuah pelajaran padanya atas semua siksaan yang telah ia berikan. Dan jika bisa, Agam juga ingin menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin berendam air dingin untuk meredakan sesuatu yang meledak-ledak dalam dirinya ini. Agam tidak ingin dengan ini. Ya, Agam tidak mau kalah dengan bayangan Yasmin yang datang di mimpinya.
Tapi apalah daya, Agam tentu saja harus segera berendam air dingin, jika tak mau merasa tersiksa dengan keadaannya kali ini. Agam bangkit dan masuk ke kamar mandi. Sayangnya, niatan Agam untuk segera mandi tidak terealisasikan. Karena begitu dirinya di bawah sower, imajinasi Agam semakin liar, dan Agam tidak memiliki pilihan lain selain memuaskannya sesegera mungkin.
***
Bina menggigit bibirnya dengan penuh amarah. Ia menatap Vero yang masih menenggak minuman beralkohol dengan santainya. Entah sudah berapa botol minuman yang telah ia tenggak dengan lancarnya. Dan entah sudah berapa lama Vero tidak bisa jatuh tertidur tanpa mabuk parah lebih dulu. Sejak terakhir kali bertemu dengan Yasmin, Vero memang berubah secara drastis. Jelas saja, Vero merasa begitu kecewa pada Yasmin. Ia sudah menyukai Yasmin sejak pertama bertemu.
Tapi sejak awal, Vero berusaha untuk menyimpan perasaannya lebih dulu. Dan secara perlahan mendekati Yasmin untuk menyatakan perasaanya. Sayang, saat di mana Vero akan menyatakan cintanya, ia malah mendapatkan kejutan tak terduga. Saat di mana foto asusila Yasmin tersebar, saat itulah Vero akan menyatakan isi hatinya. Ya, saat itu Vero memang membawa untuk menyatakan cinta pada Yasmin. Sayang, niat Vero harus urung karena dirinya melihat hal tak terduga yang membuat dunia dan hatinya terguncang dengan hebatnya.
Bina merebut gelas minuman Vero. “Kita pulang!” teriak Bina mencoba untuk menembus bisingnya musik yang menghentak club malam tersebut. Bina dan Vero memang sudah menjadi langganan di club malam ini. Keduanya memang sering menghabiskan waktu bersama di club, tentu saja tanpa sepengetahuan Yasmin. Itu memang tidak terlepas dari keinginan Vero yang ingin tampil sempurna sebagai calon kekasih yang baik di mata Yasmin. Bina sendiri tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang diinginkan Vero. Bina terkesan mendukung apa yang dilakukan Vero.
Vero tidak menghiraukan Bina dan memilih untuk memesan minuman yang baru. Tapi Bina tidak mau kalah, ia kembali merebut gelas minuman Vero. Hal itu rupanya membuat Vero kesal. “Apa yang kau lakukan?” tanya Vero tajam. Sungguh, demi apa pun ini kali pertama bagi Bina dirinya mendapatkan perlakuan kasar seperti ini dari Vero.
Tapi Bina tidak boleh fokus pada hal itu. Ada hal yang lebih penting dari pada hal itu. Bina harus segera membuat Vero sadar dan membawa pria itu untuk segera pulang. Jika Vero terus seperti ini, ia hanya akan melukai dirinya sendiri dan Bina tidak mau hal itu sampai terjadi. “Aku ingin kita pulang,” ucap Bina tegas. Ya, Bina harus bertindak tegas pada Vero yang sudah terlihat mabuk berat ini.
Vero berdecak dan memilih mengamati orang-orang yang menggila di lantai dansa. “Jika ingin pulang, tinggal pulang. Apa susahnya?” tanya Vero ketus. Tentu saja ia tidak ingin beranjak dari sini. Ia masih ingin menenangkan diri. Sayangnya, Vero sangat salah memilih club malam sebagai tempat tempatnya menenangkan diri. Club malam seperti ini tempat bagi orang-orang melepaskan rasa frustasinya dan bersenang-senang denga gila-gilaan. Tentunya tempat seperti ini sama sekali tidak tepat dengan tujuan Vero.
“Maka ayo pulang,” ucap Bina sembari mencoba menarik Vero. Tapi Vero dengan sigap menepis tangan Bina. Ia tidak peduli jika dirinya telah melukai perempuan yang berstatus sebagai teman dekatnya.
“Maksudku, kau yang pulang. Aku masih ingin di sini,” ucap Vero singkat, masih dengan tatapannya yang tertuju pada lantai dansa.
Bina menggigit bibirnya. “Kenapa kau berubah sampai seperti ini hanya karena jalang itu?” tanya Bina kesal bercampur frustasi.
Vero menoleh dan menatap tajam Bina. “Jangan mengungkitnya lagi, Bina.”
“Kenapa, apa salahnya? Aku akan terus mengungkitnya agar kau sadar, jika selama ini kau telah sangat bodoh. Karena telah membuka hati untuk wanita semacam itu!” teriak Bina tanpa mempedulikan tatapan-tatapan penuh ingin tahu yang ditujukan padanya dan Vero.
Vero mencengkram botol minuman di dekatnya dan tanpa permisi membantingnya ke lantai. Suara nyaring yang tiba-tiba tersebut rupanya berhasil menarik perhatian sepenjuru club, bahkan musik yang menghentak berhenti saat itu juga. Vero menatap Bina dengan tatapan yang mengancam. Bina sendiri merasa takut mendapatkan tatapan mengerikan itu.
“Aku bilang jangan membicarakannya lagi! kau memang sahabatku, tapi aku tidak mengizinkanmu mengomentari hidupku!” teriak Vero lantang. Vero memang merasa sangat frustasi jika ada yang mulai mengungkit mengenai Yasmin di hadapannya.
Rasa frustasi ini bukan hanya terbentuk oleh rasa kecewanya terhadap pada wanita yang ia cintai itu, rasa frustasi ini juga terbentuk karena bersalah yang memebuat hatinya sesak. Seharusnya Vero tidak melakukan hal sama seperti orang lain. Seharusnya, sampai terahir pun, Vero harus mencoba untuk berdiri di sisi Yasmin. Atau setidaknya, ia mencoba untuk mendengarkan penjelasan dari sisi Yasmin.
Padahal harusnya Vero sadar, jika Yasmin tidak mungkin melakukan hal itu. Yasmin yang ia kenal tidak mungkin berbuat seperti itu. Ya, Vero merasa menyesal karena telah dibutakan oleh sesuatu yang ia lihat. Semakin frustasilah Vero saat kesadarannya itu datang terlambat. Tentu dirinya tahu jika Yasmin telah diusir oleh keluarganya. Sekarang, Yasmin entah berada di mana, dan denga siapa. Bagaimana kondisinya saat ini tidak ada siapa pun yang tahu.
“Kau tidak akan pernah mengerti, bagaimana perasaanku saat ini, Bina,” ucap Vero pelan lalu meninggalkan Bina begitu saja.
Bina sendiri mengepalkan kedua tangannya sembari menyorot pada punggung Vero yang kini melangkah menjauh. “Kamu yang tidak mengerti apa yang aku rasakan, Vero.” Ucapan Bina sarat akan luka. Ya, Bina terluka, sangat.
***
Cuaca cerah, dan beberapa petani terlihat khusyuk mengerjakan tugas mereka membersihkan ladang sayur. Di antara para buruh tani yang sudah berumur tersebut, terlihat seorang wanita muda yang susah payah menggemburkan tanah yang akan digunakan sebagai ladang sayur. Wanita muda itu tak lain adalah Yasmin. Gadis berkubutuhan khusus itu terlihat ceria dengan sebuah garpu tanah berukuran kecil di tangannya. Dengan pakaian sederhana yang terlihat agak kotor karena tanah, Yasmin masih saja terlihat cantik.
Mungkin, karena hormone kehamilannya, Yasmin malah terlihat lebih cantik daripada biasanya. Kini kehamilannya memang sudah lebih terlihat. Bentuk tubuh Yasmin juga sudah cukup berubah. Pipinya yang putih tampak bersemu tipis dan pipinya lebih berisi daripada sebelumnya. Jelas terlihat jika berat badan Yasmin sudah naik drastis dari berat badan normalnya.
Ya, kini Yasmin sudah mendapatkan tempat tinggal baru. Tempat yang nyaman dan jelas jauh dari tempat di mana orang-orang telah membuangnya. Yasmin kini tinggal di sebuah desa yang berada di daratan tinggi. Di sini, warga-warganya menggantungkan hidup dari perkebunan sayur dan kebun teh. Yasmin sendiri mendapatkan pekerjaan untuk memetik teh selama dua jam di pagi hari, sedangkan selanjutnya Yasmin akan bekerja di kebun sayur. Meskipun terasa lelah, Yasmin harus menjalankan semua hal ini demi menjalani hidup yang baru. Lagipula, Yasmin merasa jika semua ini jelas lebih baik daripada hidupnya yang lama.
“Yasmin, ayo istirahat dulu. Kita makan siang!”
Yasmin menoleh dan tersenyum melihat seorang wanita paruh baya melambaikan tangannya kepadanya. Yasmin mengangguk. Ia bangkit lalu melangkah menuju gubug yang memang disediakan untuk tempat beristirahat para buruh. Yasmin tersenyum saat wanit aparuh baya yang tadi memanggilnya, memberikannya piring makan siang. “Harusnya Yasmin dengar perkataan Ambu. Yasmin sedang hamil muda, harusnya istirahat saja di rumah,” ucap wanita paruh baya yang menyebut dirinya sendiri sebagai ambu.
Yasmin menggeleng. Ia menuliskan sesuatu pada notes yang sebelumnya ia simpan di sakunya. “Ambu, Yasmin hidup menumpang, setidaknya Yasmin harus melakukan sesuatu agar tidak terlalu membebani Ambu.”
Ambu ini, adalah pemilik perkebunan sayur di mana Yasmin bekerja. Sebenarnya ambu adalah panggilan ibu di daerah tersebut. Nama asli dari wanit paruh baya itu adalah Iis, istri dari juragan yang disegani di desa tersebut. Iis dan suaminya Aan, sudah menginjak usia empat puluhan, tapi masih belum memiliki keturunan. Karena itu, saat menemukan Yasmin yang tengah hamil muda dan dalam kondisi menyedihkan, keduanya memutuskan untuk membawa Yasmin ke desa. Keduanya memang menemukan Yasmin saat mereka dalam perjalanan pulang dari mengirim sayuran ke kota.
Karena didorong rasa iba yang mereka rasakan, akhirnya mereka menawarkan pertolongan pada Yasmin. Yasmin pada akhirnya di bawa pulang menuju desa yang rasanya sangat berada di pelosok. Perlu awkatu berjam-jam, hingga Yasmin tiba di tempat yang akan menjadi tempat tinggal barunya dan semoga menjadi tempat tinggal untuk seterusnya.
Yasmin di beri tempat tinggal, diberi pekerjaan, dan diperlakukan dengan sangat baik oleh keduanya. Bukan hanya oleh keduanya, tapi oleh seluruh warga desa. Mungkin karena Iis dan Aan yang disegani, sudah memperlakukan Yasmin dengan sangat baik dan menganggap Yasmin seperti anaknya sendiri, jadi, semua orang pun melakukan hal yang sama.
“Kamu benar-benar anak yang baik. Ambu beruntung menemukanmu,” ucap Iis sembari mengusap kening Yasmin yang berkeringat. Sikap Iis mencerminkan betapa dirinya sangat bersyukur dan menyayangi Yasmin seperti putrinya sendiri.
Yasmin tersenyum. “Yasmin yang beruntung bertemu dengan Ambu dan Abah.” Seperti biasa, Yasmin berkomunikasi menggunakan notes yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi.
Ya, Yasmin sangat bersyukur karena Iis dan Aan sudah berbaik hati memungut dirinya. Jika saja Yasmin tidak bertemu dengan dua orang berhati mulia ini, Yasmin tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya. Tanpa tujuan, tanpa uang sepeser pun, Yasmin pasti akan berakhir menjadi seorang gelandangan yang hidup di jalanan. Dan Yasmin tidak bisa membayangkan, bagaimana dirinya akan membesarkan anaknya dengan kondisi seperti itu? Tapi Tuhan memang tidak pernah tidur.
Tuhan memberikan pertolongan pada Yasmin setelah memberikan ujian yang bertubi-tubi padanya. Tuhan mengirimkan pertolongan melalui dua orang yang memiliki hati yang mulia. Tuhan mengetuk hati keduanya agar mengulurkan tangan mereka pada Yasmin, dan memberikan kehidupan layak yang sebelumnya telah direnggut paksa darinya.
Yasmin jelas sangat bersyukur. Kini dirinya sudah bisa memulai hidup yang baru. Bukan sebagai Yasmin yang dulu, tapi Yasmin yang baru. Yasmin yang memutuskan untuk meutuskan hubungannya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Yasmin akan melangkah terus ke depan, demi masa depan yang lebih baik untuk anak yang berada dalam kandungannya.
Sebenarnya, awalnya Yasmin merasa sangat ragu dan takut. Yasmin takut, jika orang-orang di desa ini juga akan memberikan penolakan padanya, apalagi setelah tahu jika dirinya seorang anak tanpa ayah yang jelas. Yasmin juga takut jika dirinya akan mendapatkan hinaan yang sama seperti dulu, atau bahkan lebih parah. Tapi semua ketakutan Yasmin itu hanyalah ketakutan tanpa alasan.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kedua orang tua angkatnya, semua orang di desa tersebut memang sama baiknya dengan Iis dan Aan. Semua warga di sini memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang mengungkit mengenai kehamilannya yang memang tidak seperti wanita lainnya. Tidak ada pula yang bertanya mengenai ayah dari janin yang Yasmin kandung. Mereka semua memperlakukan Yasmin selayaknya ibu hamil yang normal. Wanita yang menikah dan mendapatkan buah hati bersama orang yang ia kasihi. Semua orang memperlakukan Yasmin, selayaknya seorang wanita muda yang mendapatkan karunia berharga dari Tuhan.
Untuk kesekian kalinya Yasmin mengucapkan syukur. Sebelumnya Tuhan memang telah merenggut semua yang ia miliki, tapi kemudian Tuhan menggantikan semuanya dengan hal yang lebih baik. Kini Yasmin akan berpasrah pada Tuhan, Yasmin berharap jika takdir yang Tuhan tuliskan untuknya berakhir dengan sebuah kebahagiaan. Tentu saja, selain hanya berharap, Yasmin juga akan berusaha. Ia akan berusaha membuat hidupnya lebih baik. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk calon anaknya. Yasmin akan memastikan jika anaknya nanti hidup jauh dari penderitaan yang telah Yasmin alami. Ya, Yasmin akan memastikannya.