Dalam Misi

2324 Words
"Berantem lagi?" Fasha terbatuk-batuk. "Enggak," ia menyangkal lantas mengelap sudut bibirnya. Pandu menahan senyum. Ia tahu kalau Fasha jago silat. Ayahnya sudah pernah memperingatinya soal itu. Dan lagi, Pandu tidak takut. Ia justru merasa lucu karena mungkin Fasha tidak mau jujur. Gadis itu kan bar-bar kalau kata Ferril. Tapi ia belum pernah melihat sisi itu. Fasha selalu anggun dan feminin ketika bersamanya. Sangat perempuan sekali. Jadi bagi orang yang tak terlalu mengenalnya, pasti akan sangat kaget kalau tahu bagaimana aslinya. Pandu saja masih belum tahu terlalu banyak. Karena Fasha memang terlihat sangat jaim ketika bersama Pandu. Ia takut kalau Pandu tak bisa menerima sisi kurangnya sebagai perempuan yang terlalu kuat. Pandu mengangguk-angguk. Tak mempermasalahkan hal-hal semacam itu. Kalau Fasha tak mau jujur ya tak masalah. Nanti hal itu akan bisa dibicarakan. Inilah kunci awet hubungan mereka selama ini. Karena hal-hal kecil tidak pernah dibesar-besarkan. Pandu bukan tipe lelaki yang suka mengungkit sebuah masalah. Ia juga sangat menjaga sikapnya ketika berada di luar sana. Sama dengan Fasha. Keduanya memang tergolong sudah sangat dewasa. Sudah banyak yang merasa kalau keduanya sudah cocok untuk menuju jenjang pernikahan. Tapi Fasha sendiri belum terlalu berpikir ke arah sana. Ia masih ingin menikmati kebersamaan semacam ini dengan Pandu. Meski kadang hatinya agak tersentil juga kalau ada yang bertanya tentang kenapa ia belum juga menikah diusia yang sudah mencapai 28 tahun. "Kamu akan segera berangkat?" Pandu mengangguk. Mereka sedang menikmati makan malam berdua. Lusa, Pandu memang akan segera berangkat ke Jerman. Mungkin sekitar dua minggu. "Besok kamu ke mana?" "Kenapa?" "Aku ada kunjungan ke Jakut." Aaaah. Fasha mengangguk-angguk. Ia selalu mengerti akan kesibukan Pandu. Jadi wakil rakyat kan tidak mudah. Apalagi DPR di Senayan. Perjuangannya sangat panjang. "Jadi mungkin gak bisa makan siang sama kamu." Fasha tersenyum kecil. Ia adalah sosok kekasih yang sempurna. Cantik, kaya raya, dan sangat pengertian. "Gak apa-apa. Asal kamu juga gak makan dengan perempuan lain." Pandu terkekeh mendengar lelucon itu. Meski bernada bercanda sesungguhnya ada keseriusan di dalamnya. Itu memang cara Fasha untuk tak terlalu berterus terang dengan apa yang dikhawatirkan. Meski ia percaya kalau Pandu bukanlah lelaki b******k. Lelaki itu bisa mati jika berani menyelingkuhinya. Hohoho. Mau merasakan jurus sabuk hitamnya yang sangat spesial? "Sudah?" Fasha mengangguk. Biar tak pulang terlalu malam dan membuat ibunya Fasha khawatir, mereka segera kembali di jam sepuluh malam. Jarak dari restoran ke rumah juga hanya setengah jam. Biasanya ibu Fasha memang belum akan tidur kalau anaknya belum juga pulang. Fasha berdeham ketika masuk ke dalam mobil lalu memasang sabuk pengamannya. Ia sempat melirik ke arah Pandu yang baru saja menyalakan mesin mobil. Rasanya mungkin akan rindu karena besok tak bisa bertemu Pandu sementara lusa nanti, Pandu sudah harus berangkat ke Jerman. "Pesawat kamu ke Jerman jam berapa?" "Kenapa? Mau nganterin?" Fasha berdeham. "Mungkin kalau ada waktu." Pandu terkekeh. "Aku bersama rombongan. Nanti kamu diledek-ledek sama mereka." Fasha menundukkan kepalanya. Ya sih. Ia kadang malu kalau bertemu ibu-ibu DPR yang sekantor dan seprofesi dengan Pandu. Kalau sudah mengolok, tidak ada habisnya. "Di kantor saja lah. Pekerjaanmu pasti banyak." Ya pekerjaan memang banyak. Tapi sebetulnya Fasha rela-rela saja meluangkan waktunya untuk Pandu. Seperti sekarang. Meski tubuhnya lelah sekali karena selama beberapa hari ini ia kerap bertengkar dengan klien. Mereka juga sih yang mencari mati padanya. Seperti kasus Nuraga yang berakhir di pengadilan nanti. Fasha tentu saja melaporkan semua kekurang-ajarannya selama berkomunikasi dengannya. Bahkan sikapnya yang tidak sopan dan tertangkap CCTV. Opanya melalui ayahnya sendiri sudah bergerak untuk melibas usahanya. Tentu kerja sama dihentikan dan itu akan berpengaruh besar pada nasib saham perusahaannya yang terancam. Kalau bukan karena memikirkan nasib para tenaga kerja di sana, pasti benar-benar ditumpas biar miskin sekalian. p**************l itu memang harus dihabisi. Orang-orang seperti mereka cenderung tidak akan berhenti sebelum diberikan pembelajaran hidup. Fasha mengangguk lemah. Ia memang tunduk dengan lelaki yang satu ini tapi jangan harap yang lain. Para sepupunya saja takut dengannya kecuali Ferril. Cowok itu memang tidak peduli. Kalau Ardan? Sudah pasti kabur kalau mata tajamnya sudah melotot. Mereka hampir tiba di dekat rumah Fasha tapi mata Fasha sudah menyipit saat melihat satu mobil merah dengan bagian atap yang terbuka terparkir di depan rumahnya. Lebih tepatnya di rumah Adit. Lalu tampak orang-orang di sana menoleh ke arah datangnya mobil Pandu yang tentu saja membawanya. Hal yang membuat Pandu tersenyum kecil. Ia sudah hapal tingkah para sepupu Fasha. Apalagi kalau ada dua cowok sableng, Ardan dan Ferril. Keduanya memang duduk di atas mobil merah itu yang sepertinya adalah salah satu koleksi mobil Ferril. Fasha tak begitu tahu apa saja mobil Ferril saking banyaknya. Ada Dina dan Adit juga yang berdiri di pintu pagar dan sudah tertawa-tawa. Kalau tidak mengoloknya sehari saja pasti ada yang kurang. Para sepupunya memang begitu. "Bang! Gak disilatin kan, Bang? Tadi ada yang abis ngamuk di rumah klien!" Ferril mulai mengadu. Fasha yang baru saja keluar dari mobil jelas langsung melotot. Ingin ia jambak rambut Ferril tapi masih ada Pandu. Pandu hanya menurunkan jendelanya. Ia sudah tertawa. Makanya tadi ia bertanya pada Fasha, apakah gadis itu bertengkar? Karena sudut matanya agak terluka. Meski ini tergolong biasa. Fasha bisa menyembunyikannya tapi karena agak bengkak dan berbeda dengan matanya yang satu lagi, Pandu jadi tahu. Pandu terkekeh saja. Tak mau membahas atau Fasha akan merajuk padanya. Lalu obrolan teralihkan. Karena mereka membicarakan hal yang lain lagi. Ferril hendak mengajak liburan ke Bandung Sabtu nanti. Siapa tahu Pandu bisa ikut. Namun sayangnya Pandu harus ke luar negeri. Hal yang tentu saja mengundang riuhan lagi. "Yaaah jomblo deeeh!" Fasha berdeham-deham. Ia melipat kedua tangan di depan d**a. Para sepupunya memang asem. Sementara Pandu pamit karena tak mau pulang terlalu malam. Ia lelah sementara besok harus berangkat kerja lagi. "Aku pulang ya?" Fasha mengangguk. Semakin lama Pandu di sini, ia bisa mati diledek. "Iya. Kamu hati-hati." Pandu mengangguk. Lelaki itu berpamitan juga dengan para sepupunya Fasha. Begitu mobil Pandu menghilang, Adit dan Dina terbahak melihat Ferril dan Ardan kompak melompat turun dari mobil sebelum dihajar oleh Fasha. Hal yang menjadi hiburan malam-malam begini. Entah kenapa pula datang ke sini meski yaa sering juga begini. Terlebih semenjak Adit menikah dengan Dina dan rumah ini sedang dalam tahap akan direnovasi. Adit ingin menjadikannya lebih besar. Sementara itu, Pandu tampak termenung menjalankan mobilnya. Ada banyak hal yang dipikirkan. Ada banyak hal yang tak ingin ia katakan. Entah akan ke mana pula hubungan ini dibawa. Ia juga tak paham. Semua hancur total karena ia tahu, akan sulit sekali. Ia harus bagaimana? Ia juga tak tahu. Satu solusi pun tak muncul di dalam kepala. "Oh, halo." Setidaknya ia menyadari kalau ada telepon yang masuk. "Jadi berangkat?" "Ya, lusa." "Mampir dulu kalau begitu?" "Gue transit empat jam. Nanti bertemu saja di sekitar bandara." Perempuan di seberang sana mengiyakan. Pandu mematikan teleponnya. Ia mengenang semua jerih payahnya selama sepuluh tahun terakhir yang sangat sulit ia bangun. Ia membangun semuanya dari nol. Dari keringatnya sendiri. Tidak mudah berada di posisi ini tanpa adanya bantuan siapapun. Lalu masa ia harus merelakannya begitu saja? Hancur? Sehancur-hancurnya. @@@ "Aaaawwww! TATAAAAAAAAA!" Fasha menghela nafas. Ia menajamkan matanya dan melotot ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Tak ada seseorang di sana tapi anggap saja ada Rain. Si pelaku yang baru saja berteriak. Adiknya itu memang selalu seperti itu. Paling dekat dengan Tata tapi paling sering bertengkar juga. Ia heran sekali dengan dua adiknya itu. Tapi lebih heran lagi dengan Rain yang sudah dewasa tapi masih kekanak-kanakan. Lalu ia geleng-geleng kepala. Ini masih jam tujuh pagi. Ia masih sibuk di depan laptop sejak bangun jam empat pagi. Karena asyik makan malam lalu tidur dengan bahagia, ia hampir lupa dengan jadwal meeting hari ini dan belum menyiapkan bahannya. Untung saja ia bangun lebih pagi dibandingkan biasanya. Setelah selesai, ia segera ke kamar mandi dan bersiap-siap. Tata tentu saja sudah kabur ke sekolah. Belum puas kalau belum membalas dendam akan perlakuan Rain kepadanya sepagi ini. Dari pada menahan dongkol lalu malah lupa, lebih baik ia lampiaskan dulu lalu kabar secepat mungkin. Fadli geleng-geleng kepala. Dua gadis ini memang selalu bertengkar seperti Fasha dan Rain dulu. Rain memang suka mencari gara-gara. Si anak usil yang tak bisa diam sejak dulu. Tapi kalau pada Fasha, terkadang ia masih ada rasa takut. Kalau pada Tata? Hohoho. Untuk apa takut pada Tata? Mau ayahnya melotot pun ia tak perduli. Hahaha. Fasha baru muncul satu jam kemudian. Ia memang cukup terlambat. Rumah sudah agak sepi. Yang tertinggal hanya ibunya yang memang sejak awal memilih menjadi ibu rumah tangga. Ibunya senang-senang saja dnegsn profesi ini. Meski kadang agak kewalahan. Apalagi saat mengurus mereka ketika kecil dulu. Kalau sekarang? Mereka sudah beranjak dewasa kecuali Tata yang akan memasuki fase remaja. Fase genit-genitnya. Tapi sepertinya akan berbeda dengan fase remaja Fasha dan mungkin akan mirip dengan fase remaja Rain. Karena kepribadian Tata memang lebih bawel dan ceria. "Kamu ada kerjaan?" "Dikit, Bu." "Buru-buru gak?" Fasha mengangguk. Ibunya sudah menyiapkan sarapan. Ia hanya perlu menyantapnya dan ibunya menatap dengan senyuman kecil. Waktu berjalan begitu cepat hingga tak sadar kalau anaknya sudah berkembang pesat. Fasha berubah dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan yang sungguh signifikan. Tapi menyenangkan. "Semalam bagaimana?" Fasha terkekeh. "Biasa lah, Bu. Kayak Ayah sama Ibu makan malam berdua." Ibunya tertawa. "Tapi beda lah. Pandu kan gak tengil kayak ayahmu." Fasha tertawa mendengar itu. Kalau bagian itu memang benar. Tapi kalau ayahnya sudah serius, ia bisa seperti Pandu. Bahkan mungkin melebihinya. Semenjak satu kantor dengan ayah sendiri, Fasha baru menyadari kewibawaan Ayahnya. Mungkin karena tak mau anaknya malu ya? Hahaha. Ia pamit karena harus segera berangkat. Biar tak terlalu terlambat. Hampir jam setengah sepuluh ia baru tiba di kantor. Lalu menjelang jam sebelas, ia masuk ke ruang rapat dan memulai presentasinya. Rapat dilanjutkan lagi setelah makan siang dan ia hanya perlu menyimak. Ada Adit juga yang akan datang siang ini. Katanya sekitar jam dua siang untuk membicarakan proyek ibu kota baru. Bukan kah Adit yang menang terakhir kali bukan? Sebelum dapat di Istana besok, ia sengaja menemui Fasha dulu untuk menanyakan desain interior yang tekah dibuat. Fasha juga yang sempat membantu namun tidak secara penuh. Karena Fasha memilih tak bergabung dengan Adit. Ia merasa pekerjaannya benar-benar menyita waktu. Apalagi banyak pembangunan hotel dan juga rumah sakit yang dipegangnya. Usai rapat dan hendak kembali ke ruangan, memang ada Adit. Lelaki itu sudah menungguinya. Mereka mengobrol selama hampir satu jam. Yang tentu saja dijeda dengan berbagai kisah lucu. Ia senang sih karena hubungan dengan Adit sudah lama membaik. Mereka benar-benar seperti saudara sekarang. Adit juga sangat menjaganya kalau hanya rapat berdua ke kantor orang lain. Lalu tak lama ada Ferril. Cowok ktu tentu tahu kalau ada Adit di ruangan Fasha. Mereka sama-sama ke kantor Ardan. Adit perlu bertemu dengan Papa mertuanya juga. Ferril? Hanya ingin bermain-main menganggu Ardan. Hahaha. Fasha geleng-geleng kepala melihat Ferril dan Adit masuk ke lift bersama. Ia juga diajak tapi waktunya sangat berharga dari pada hanya meladeni Ardan. Itu tidak ada gunanya. @@@ "Kak, lo ikutan gak?" "Ada apaan emangnya?" Rain menghela nafas. Ia mengira kalau Fasha sudah tahu. Rain sedang dalam perjalanan. Katanya, ia akan bertemu Agha di persimpangan jalan di depan nanti. Sementara sekarang, ia masih berada di dalam taksi. Baru saja selesai pemotretan di Bogor. Mobil Aidan yang ditumpangi tadi masih di bengkel. Aidan juga masih di sana. Lelaki itu sengaja menyuruhnya pulang lebih dulu. Karena sepertinya mobilnya akan memakan banyak waktu. Sementara Rain sebetulnya ada pekerjaan lain tapi terpaksa dilempar dulu pada yang lain. "Kasus Om Nuraga kemarin. Mereka berencana ngirim bom ke markas kita." "Sinting." Memang betul. "Lalu?" Rain terpaksa mematikan teleponnya. Ia lupa akkau sedang berada di dalam taksi. Kontan saja, si supir jadi agak-agak takut mendengar ucapannya barusan. Haaah. Ia ceroboh. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Fasha dan menceritakan detil informasi yang ia dapat dari Ferril beberapa menit yang lalu. Ferril tampak terburu-buru. Fasha menghela nafas. Ia kembali melajukan mesin mobilnya. Pulang dulu sebentar ke rumah baru kemudian berangkat lagi. Ia sudah lama tak ikut dalam misi karena kesibukan dalam pekerjaan dan juga Pandu. Tapi rindu juga. Maka mungkin karena itu, Ferril tak menghubunginya. Ia mencari lokasi para sepupunya. Mengecek ke arah mana mereka pergi lalu segera menyusul. Biasanya, ia termasuk yang berada di depan bersama Ferril dan Farrel. Kalau Ardan sih jelas masih ada di belakangnya. Hahaha. Cowok itu juga kadang manut padanya. Kini ia baru menginjak pedal gasnya dalam-dalam untuk menyusul para sepupunya. "Di mana?" "Oh," Ferril reflek melirik ke arah peta di dalam layar dekat dashbor mobilnya. Ada mobil Fasha di sana yang juga mencoba menyusul mereka. "Poin 038. Tahu jalan pintasnya, Kak?" "Belum nyoba sih." "Coba lah. Mobil keluaran terbaru kok gak pernah terbang." Terdengar makian di seberang sana. Hal yang membuat Ferril langsung terbahak. Ia paling suka kalau mendengar Fasha sudah memaki. Wujud keanggunan dan kelembutan di depan Pandu adalah kamuflase. Tanpa tendeng aling, ia mematikan teleponnya. Lalu segera menyusul. Jantungnya berdebar usai mengirim sinyal untuk terbang. Ini bukan fitur baru di dalam permobilan. Sudah banyak mobil yang bisa terbang termasuk keluaran terbaru miliknya. Tak lama, ia mendapat izin dengan sinyal hijau dan juga pemberitahuan dalam bahasa Inggris. Ia menaikan kecepatan dulu sebelum menekan tombol untuk mengeluarkan sisi sayap mobil yang sebetulnya juga tak terlihat seperti sayap. Tak lama, mobilnya memang mulai naik. Fasha sudah mengantongi surat izin mengemudi khusus mobil terbang. Tapi belum pernah menerbangkan mobilnya sendiri. Sendirian pula dan malam pula. Jelaslah ia gugup. Meski mobil ini tentunya juga didesain dengan keselamatan yang sangat canggih tapi yang namanya kematian tak akan melihat itu bukan? Jantungnya semakin tenang saat mobil tak lagi menukik dan ia sudah mulai terbang di udara dengan datar. Semakin lega lagi saat mulai bisa mengendalikannya. Ia terus mengejar para sepupunya yang sudah bergerak jauh malam ini. Ada yang berada di jalur darat. Ada yang berada di jalur udara. Mereka tidak sedang adu balap. Namun tujuan mereka malam ini sama, yaitu menumpas kejahatan dengan cara mereka sendiri. Tak lama, terdengar suara Ferril yang kali ini menghubungkannya dengan para sepupunya yang lain. Ferril tampaknya memasukannya ke dalam sistem. "Let's go!" seru Ferril. Ia lah paling terdepan memimpin perjalanan panjang di malam ini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD