Bab 2 Sejarah
Lima tahun yang lalu. Musim hujan awal Januari. Kota dingin, Malang, Jawa Timur.
Seorang gadis cantik berbaju seragam putih abu-abu berlari kecil menuju sebuah mobil yang sudah menunggunya. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi di sebuah sekolah favorit yang terletak di jalan Tugu Utara dekat Balai Kota Malang. Dia tak langsung pulang walau bel sudah berbunyi karena sedang menunggu seseorang di dalam halte bis di depan pagar sekolahnya. Di d**a kanannya tertulis nama ‘Mikayla Adara E’. Nama yang sangat cantik sama seperti wajahnya. Dia bertinggi 160 cm. Kulit putih bersih natural, mata bulat dan lentik dengan pandangan sayu, hidung mancung lancip, dan bibir tipis berwarna merah serta lesung pipi kecil di kedua belah pipi tirusnya. Kecantikannya makin sempurna dengan rambut hitam lurus sedikit bergelombang di bagian bawah.
Kayla sedang menunggu kekasihnya yakni pangeran berbaju loreng yang kabarnya meminta bertemu siang ini. Sesekali hatinya berdebar karena dia selalu bahagia jika bertemu dengan Danin, nama kekasihnya itu. Ingin rasanya dia menyusul ke kesatuan Danin yang letaknya tak jauh dari sekolah itu. Iya, kesatuan Danin dan sekolah Kayla tak berjarak jauh. Keduanya hanya terpisah jalan raya besar. Hal itu pula yang membuat keduanya jatuh cinta dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Segala perbedaan tak menghalangi cinta mereka, termasuk perbedaan usia. Danin telah berusia 23 tahun sementara itu Kayla masih 17 tahun. Mereka berselisih 6 tahun. Itu bukan celah yang terlalu lebar, bukan?
Ingin rasanya dia segera menyusul Danin. Namun, apa daya hujan terlanjur menghalangi langkahnya. Tak hanya itu, seorang lelaki berusia 18 tahun juga menjadi penghalang langkahnya siang ini. Lelaki yang merupakan kakak kelas Kayla bernama Ray sedang berlutut di depan kaki gadis cantik itu. Ray sedang menyatakan perasaannya pada Kayla. Khas seperti bunga-bunga anak SMA pada umumnya. Sambil menyodorkan sebuket bunga lili warna merah muda, Ray menyatakan perasaan cintanya pada Kayla. Kayla hanya bisa menatap maklum. Baginya penyataan cinta seperti itu bukan yang pertama kali. Banyak anak laki-laki yang jatuh cinta pada Kayla sebab kecantikan dan keramahan sikapnya. Namun, hanya seorang nama saja yang bisa memiliki hati gadis baik itu, Danindra.
“Maaf ya, Kak. Aku gak bisa terima perasaan, Kakak. Aku udah punya pacar. Permisi ya, pacarku udah jemput,” tolak Kayla halus sambil berjalan cepat menuju mobil Danin yang sudah berhenti mulus di depan halte.
“Cieee…huuuu, makanya Ray kalau mau nembak itu lihat-lihat dulu. Pacarnya loreng tuh, didor kamu ntar!” celetuk beberapa anak sambil menyoraki Roy yang pucat pasi. Anak kelas 3 IPS itu memang terlalu nekat. Bukannya sudah jadi rahasia umum kalau Kayla telah berpacaran dengan seorang tentara muda.
“Haii, maaf ya Kak,” ucap Kayla pelan sambil duduk di sebelah kemudi Danin.
“Iya gak apa-apa kok. Kayla ditembak cowok lagi ya?” telisik Danin yang seolah sudah hapal tentang kehidupan Kayla.
“Hehe, maaf ya Kayla gak bisa halangin perasaan orang lain. Kayla cuma bisa nolak karena di hatiku sudah ada nama, Kakak,” ucap Kayla sambil melumat permen mangga kesukaannya. Danin selalu gemas pada kebiasaan Kayla ini.
“Nanti gigimu rusak loh, Kayla,” cegah Danin sambil mencubit pipi Kayla yang berlesung pipi kecil. Kayla hanya meringis riang.
Kayla, si gadis periang di balik latar belakangnya yang kelam. Dia selalu mengumbar senyum bahagia kendati hidupnya muram. Jalan takdir terlalu terjal dan sakit untuk Kayla. Dirinya menjadi yatim piatu di usia 5 bulan akibat kedua orang tuanya meninggal di kecelakaan mobil. Hanya Kayla yang selamat meski harus terluka parah. Parahnya, tak ada satupun sanak keluarga yang mau menjenguk atau merawat bayi Kayla. Sebab kedua orang tuanya menikah tanpa restu.
Bayi berusia 5 bulan itu akhirnya hidup di panti asuhan hingga saat ini berusia 17 tahun. Tumbuh sebagai anak sebatang kara tak membuat Kayla jadi pribadi yang dingin. Kayla layaknya sang surya yang memancarkan sinar hangat pada semua orang. Dia selalu bisa menghibur orang dengan keceriaannya. Pantas saja dia menjadi kesayangan sekolah favorit itu. Tak hanya pribadi hangat, Kayla juga sangat pandai dalam pelajaran. Cita-cita tertingginya adalah ingin menjadi penulis buku handal. Banyak yang mendukung itu termasuk Danin.
Danin adalah pribadi yang keras namun dia bisa sangat mencintai Kayla. Awal mulanya adalah rasa iba pada gadis sebatang kara itu. Lama kelamaan dia jatuh cinta pada Kayla. Pertemuan mereka diawali dari hari pertama Danin tiba di Kota Malang dan ditampung di Rindam V/Brawijaya yang terletak di dekat SMAN 4 Malang setahun yang lalu. Danin asyik memoto tugu Kota Malang yang indah karena hiasan lampu dan bebungaan cantik. Ternyata dia malah memotret Kayla yang sedang asyik bercanda dengan kawan-kawannya sambil meminum es dari plastik. Danin terpesona dengan tawa manis gadis itu lantas meminta berkenalan dengan blak-blakan. Bagi seorang anak SMA seperti Kayla, perkenalan itu terasa aneh. Namun, bunga-bunga cinta mereka tumbuh begitu saja. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran.
“Aku bakalan pindah satuan loh, Dek,” ujar Danin saat keduanya terjebak lampu merah di dekat lapangan Rampal. Keduanya memutuskan untuk mencari makan di daerah Sawojajar.
“Kemana? Jauh gak? Kayla bisa ke sana gak?” tanya Kayla manja. Danin tersenyum sambil mengacak poni gadisnya itu.
“Tuh, lihat gak? Yonif 512/QY. Dekat kok. Nanti Kayla bisa lari pagi bareng Kakak di lapangan ini,” ujar Danin sambil menunjuk sebuah kesatuan bergenteng hijau.
“Oh itu. Iya sih gak jauh dari sekolahku. Tapi, jauh dari panti asuhanku,” ucap Kayla datar. Panti asuhannya terletak di dekat stadion Gajahyana.
“Gak apa-apa, Kayla. Soalnya aku udah dapat jabatan di sana. Aku bakalan jadi danton 2 di kompi A. Keren gak?” ujar Danin bangga.
“Iya dong, Kayla selalu bangga sama Kak Danin,” ucap Kayla riang. Ditepuknya pundak Danin yang berhias pangkat 1 balok berwarna kuning itu.
Danin baru setahun lebih berdinas di Rindam V. Domisili aslinya di Surabaya. Semenjak berusia 18 tahun dia tinggal di Magelang untuk menempuh pendidikan di Akademi Militer. Di usia 22 tahun dia lulus dari pendidikan dasar kecabangan di Bandung dan ditempatkan di Kota Malang. Di kota dingin itulah dia memulai kisah hidupnya termasuk kisah cintanya pada seorang anak SMA bernama Kayla. Kisah mereka tak hanya berkalang tawa tetapi juga air mata. Di balik tawa bahagia mereka, tersimpan air mata yang tak henti mengalir. Ya, karena keduanya berjalan bersama tanpa restu dari kedua orang tua Danin. Keduanya berjalan di tepi jurang yang menganga.
Ingatan Danin terbawa ke peristiwa beberapa minggu yang lalu, saat Kayla diajaknya ke Surabaya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Kayla memang baru pulang sekolah dan tak sempat mengganti bajunya sebab kepergian mereka sangat tidak direncanakan. Akhirnya, Kayla menemui kedua orang tua Danin dengan memakai seragam sekolah. Tentunya hal itu memancing amarah dan picingan tajam dari papa dan mama Danin yang merupakan seorang pejabat di lingkungan kantor Walikota Surabaya.
“Kamu mau melempar papa dan mama dengan telur busuk ya, Dan? Kamu itu gak sadar apa posisimu? Kamu tentara, perwira muda. Bisa-bisanya kamu bawa anak SMA dengan keluarga tak jelas seperti anak ini! Pulangkan dia, Danin!” ucap papa Danin keras. Itu merupakan sambutan terkejam saat mereka datang ke rumah ini.
“Tinggalkan dia atau kamu keluar saja dari rumah ini!” lanjut si papa makin emosi.
“Pa, saya melakukan semua ini karena ada alasannya. Tolong terima keputusan saya,” kata Danin lagi.
“Mau sampai kapan dia jadi beban untukmu? Mau sampai kapan hah? 1 tahun Danin! 1 tahun! Kamu menjalin asmara dengannya! Usiamu masih muda. Kamu masih punya masa depan yang panjang. Kamu bisa dapatkan perempuan yang lebih dari anak itu,” timpal mama Danin tak mau kalah. Danin hanya menunduk sambil melipat kedua tangannya. Sementara itu sang mama malah mendekati lengan Danin sambil mengurutnya pelan.
“Papa dan mama, saya punya prinsip dalam mencintai perempuan. Asal papa tahu, saya sudah bosan berpacaran atau berhubungan dengan perempuan pilihan papa dan mama. Yang katanya sekasta atau apalah itu. Mengapa? Karena saya tidak cocok dengan mereka. Mereka hanya menuntut saya ini dan itu. Mereka hanya melihat pangkat yang saya miliki. Mereka hanya melihat papa yang sebagai orang kaya raya dan berada. Mereka hanya melihat harta kita, Pa.”
“Lalu apa yang kamu dapat dari anak yatim itu hah?” tanya sang papa marah. Danin menghela napasnya berat.
“Setidaknya ada yang melihat saya hanya sekedar lelaki penyayang. Saya adalah saya. Bukan saya adalah seorang perwira dan anak orang berada,” kata Danin lagi. Sang papa geram. Lelaki paruh baya itu mengepalkan tinju dan hendak memukul anak bungsunya itu.
“Sudahlah, Pa. Tidak ada gunanya lagi kita bicara dengan anak ini. Entah setan apa yang merasukinya. Entah ilmu apa yang dipunya perempuan itu,” kata sang mama sambil menyentak Danin.
“Saya sudah dewasa Pa, Ma. Izinkan saya menentukan hidup saya sendiri,” kata Danin lagi.
“Ini memang salah papa sudah melunak padamu selama ini, Danin. Coba kalau kamu dulu kularang jadi tentara, pasti kamu takkan sesombong ini,” kata sang papa tanpa menatap Danin.
“Baiklah kalau memang kamu tidak bisa meninggalkan perempuan itu, perempuan itu yang harus meninggalkanmu,” kata si mama sambil berlalu keluar ke ruang tamu. Tempat Kayla sedari tadi menunggu Danin. Dia menunduk dan ketakutan mendengar sidang kedua orang tua Danin pada kekasihnya itu.
Tak lama kemudian, mata tajam Danin terbelalak sambil menatap tubuh mungil Kayla yang sudah gemetaran. Mata bulatnya sudah basah dengan air mata. Senyum yang biasanya selalu terukir, kini tak ada lagi. Dia terlihat ketakutan. Danin terpukul melihat kekasihnya yang riang menjadi menangis. Dia seolah tak rela menatap mata indah kekasihnya itu basah. Sungguh kejam kasta yang diciptakan oleh kedua orang tuanya. Danin seolah tak percaya kedua orang tua yang selama ini selalu mendukungnya menjadi seperti ini.
“Kayla, kamu gak apa-apa?” tanya Danin kalut sambil menelisik satu persatu tubuh Kayla.
“Aku gak apa-apa kok, Kak,” kata Kayla dengan suara bergetar. Danin merengkuh pundak Kayla sambil mendudukannya di sofa.
“Maksud papa dan mama apa? Kenapa memperlakukan Kayla seperti ini? Semua ini salah saya, tolong jangan sakiti dan libatkan Kayla,” ujar Danin emosi.
“Kenapa memangnya? Dia yang sudah membuatmu lupa daratan Danin. Mulai detik ini, kalian putus. Kayla akan pergi meninggalkanmu. Kamu bisa janji kan Kayla?” tanya mama Danin tajam.
“Ma! Tolong hentikan semua ini!” kata Danin lagi. Kayla hanya mengangguk lemah. Dia baru saja mengalami kejadian yang menakutkan setelah pernah kehilangan kedua orang tuanya.
“Kenapa kamu mengangguk? Tidak Kayla, kita gak akan pernah putus. Kita sudah saling janji kan?” cegah Danin tak suka.
“Enggak Kak. Sudah cukup Kayla menjadi beban untukmu. Benar kata orang tua Kakak. Kita sudahi saja ya Kak,” kata Kayla lagi.
“Gak akan Kayla. Aku gak mau kita berakhir,” kata Danin lagi sambil menahan tangan Kayla. Namun, Danin kaget ketika merasakan ada yang aneh pada tangan Kayla. Dia melihat Kayla sedang mengenggam sesuatu.
“Apa ini Kayla?” tanya Danin bingung. Benda semacam amplop itu digenggam Kayla dengan erat.
“Bukan apa-apa. Selamat tinggal Kak,” kata Kayla sambil melepas tangan Danin yang rapat. Dia segera berlari keluar menembus hujan deras yang menghujam bumi dengan tajamnya. Hujan Kota Surabaya teramat deras.
“Tidak, aku bisa gila jika kehilanganmu, Kayla. Jangan tinggalin Kak Danin, Kayla,” bujuk Danin di sela hujan deras itu.
“Kayla tidak bisa terus-terusan menjadi beban buat, Kakak,” ucap Kayla sendu diiringi hujan deras yang tajam seperti jarum.
“Tidak, Kayla. Kamu adalah segalanya buatku,” ujar Danin sambil memeluk Kayla erat. Dilepasnya amplop basah itu dari tangan Kayla.
“Apa cintamu padaku hanya seharga uang ini?” tanya Danin parau. Kayla menggeleng tegas.
“Cintaku tak ternilai dengan uang, Kak. Rencananya aku ingin memasukkan uang ini ke kotak amal masjid,” ucap Kayla serak. Danin kembali memeluk Kayla. Keduanya menyatu dalam hujan menyakitkan itu.
***
Bersambung