Suara dentingan anting yang terjatuh membuatku berdecak kesal. Segera membungkukan badanku untuk mencarinya, bisa saja sebenarnya aku menggunakan anting yang lain tapi sayangnya anting ini satu set dengan kalung, gelang dan juga cincin yang sudah terpasang dengan baik di tempatnya.
Deina-lah atau bisa kukatakan sepupu Lexion yang kemarin datang kemari membawakan satu box perhiasan katanya wajib kupakai, perempuan bersuara lemah lembut itu juga memberiku gaun sepanjang mata kaki, berlengan hingga siku.
Belahan bajunya hanya sampai lutut, tidak begitu ketat dan juga terdapat pita di pinggangnya sebagai pemanis. Tak lupa syal bulu berwarna silver yang harus kupakai, mereka juga memberikan sepatu high heels berwarna sama dengan syalnya.
Berapa biaya yang mereka keluarkan? Entahlah. Mungkin berpuluhan juta.
"Ketemu!" seruku senang, tertawa kecil menertawakan sikapmu yang hampir mirip dengan kanak-kanak yang baru saja menemukan temannya yang bersembunyi.
"Kamu harus tetap disini, Herlena. Bahumu masih terluka, Mba yakin mereka masih mencarimu hingga sekarang."
"Engga bisa, Mba. Aku harus kembali memastikan anak-anak lainnya baik-baik saja. Aku titip Syakila sama Mba,Setelah semuanya aman aku akan kembali menjemputnya,"
Suara percakapan yang tiba-tiba datang membuatku mundur beberapa langkah, duduk dengan tergesa-gesa di pinggir ranjang. Mba Tira? Kamu dimana sekarang, bahkan orang seperti Delion saja belum mampu menemukanmu.
"Kakak jangan pergi, kakak jangan tinggalin aku disini."
"Syakila sayang, kakak mau buat teman-teman kamu yang lainnya aman dulu. Kamu sama Mba itu ya,dia baik kok. Selama ini selalu membantu kakak setiap kali kakak ke pasar, membantu kakak membelikan kamu permen. Kalau kamu ikut sama kakak nanti mereka malah menahanmu."
Kuremas gaun hitam berkilau nan Indah ini, kepalaku terasa sakit sekali. Mataku kupejamkan berusaha menormalkan kembali pikiranku yang sedang kacau, aku tidak boleh tumbang sekarang banyak orang yang berharap padaku.
"Kamu mengkhianatiku, Herlena. Kamu penyebab semua orang terluka, kamu membuat orang kehilangan nyawanya, kamu membuat Demiz meninggal."
"Kakak Demiz meninggal? Tidak kak Langit bukan aku penyebabnya, dia sendirilah yang memintaku pergi membawa anak itu. Kakak kenapa menuduhku, bukan aku pelakunya."
"Lalu,kenapa baru sekarang kamu kembali? Aku sengaja mendatangimu sekarang karena takutnya kamu enggan membuka suara. Katakan saja padaku, kamu pelakunya kan?"
"Aku bukan pelakunya kak Langit, ak-"
"Ngit kamu disini? Anak-anak nyariin kamu, ada yang mau dibahas katanya."
"Kamu membuatku kecewa,Herlena."
"Qeila sayang! Pengeranmu sudah datang."
Kubuka pejaman mataku saat suara Kena terdengar dari luar kamar, berusaha menahan sakit kepalaku. Kupakai antingku cepat, memeriksa dandananku apakah sudah baik atau belum. Setelah merasa sudah lengkap, kuraih tas jinjing berwarna senada dengan gaunku, berjalan keluar kamar.
"Cantik banget adik iparku," keluar kamar aku disambut pelukan serta suara senang Kena, "selamat bersenang-senang, malam ini aku akan kembali ke Bandung. Kakak kamu harus kembali bekerja, sampai bertemu di Bandung esok hari." lanjutnya dengan bisikan.
Aku tertawa, membalas pelukannya. Beralih memeluk Arfan dan dia juga mengucapkan selamat tinggal. Setelahnya barulah aku keluar kamar, disambut uluran tangan Lexion seolah aku adalah seorang tuan Putri pujaannya.
"Mari pergi bersamaku, Tuan Putri."
"Terimakasih, Pangeran."
Kami sama-sama tertawa dan berjalan berdampingan menuju lift. "Kamu harusnya menungguku dibawah didekat mobilmu saja bukan malah menjemput sampai depan apartemen. Untung hanya sebatas disana, bagaimana kalau sampai depan kamarku?"
Disampingku Lexion tertawa kecil, dia sedikit menunduk barulah menoleh padaku. "Bagaimana mungkin aku melewatkan melihat kecantikanmu malam ini, rasanya terlalu lama menunggu kalau didepan mobil jadinya aku naik. Bukankah kamu senang? Kukira perempuan suka hal-hal seperti ini," dia mengatakan itu tanpa melepaskan tatapan matanya dari wajahku.
"Apa malam ini saya begitu cantik?" tanyaku layaknya bisikan.
"Ya, malam ini kamu begitu cantik."
"Kakak preman, apa aku cantik? Memangnya ada orang cantik menjadi seorang pengkhianat? Memangnya aku punya tujuan lain jadinya sampai melakukan hal seperti yang kak Langit tuduhkan?"
Mataku terpejam dengan cepat saat suaraku terdengar kembali, badanku hampir saja jatuh andaikan Lexion tidak dengan sigap memegang tanganku.
"Kamu cantik,sangat cantik. Saking cantiknya aku bingung bagaimana lagi harus memuji kecantikanmu."
Kugelengan kepalaku beberapa kali, membuka pejaman mataku dan memperbaiki posisi berdiriku kembali. Melepaskan pegangan Lexion pada lenganku. Ku tatap pantulan diriku yang ada di dinding lift, apakah benar aku sangat cantik di mata kakak preman itu?
"Kamu baik-baik saja?"
"Hmm?"
"Kamu baik-baik saja?" ulangnya sekali lagi.
"Baik," jawabku dengan senyuman, berusaha terlihat baik-baik saja didepannya. Aku mana mungkin mengatakan padanya ingatanku pada malam itu kembali, takutnya Lexion akan berbuat nekat.
Seperti akan menunda pesta malam ini dan mengundurnya, aku yakin Lexion bisa melakukan hal seperti itu. Saat pintu lift terbuka kami berjalan sambil tanganku memeluk lengannya, saat akan masuk mobil pun Lexion membantuku dengan hati-hati.
"Pihak polisi datang lagi, kita kalah jumlah. Mana si Langit pergi, orang cuman dia dan Demiz yang begitu menguasai s*****a. Kita harus apa?"
"Bawa si buta bareng kita, Bar! Lo yang bawa."
Genggaman tangan Lexion pada jemariku membuatku tersentak membuatku dengan refleks menarik tanganku. Dia terlihat kaget dengan responku, aku juga memasang ekspresi yang sama. Ada apa denganku?
"Kamu benar-benar baik kan, Qei? Kita bisa menunda acara malam ini kalau kamu sedang tidak sehat." nah kan!
"Aku hanya sedang gugup, ini acara besar pastinya lingkupnya lebih luas dari pesta yang diadakan di Bandung kemarin jadinya agak nervous. Kamu kenapa gampang banget bilang nunda, engga mikirin biaya yang dipakai engga sih?" omelku, dia tertawa. Baguslah, aku bisa membuatnya percaya dengan sikapku ini.
Mataku memilih menatap suasana Jakarta yang selalu identik dengan keramaian. Lexion kembali menggenggam tanganku kubalas menumpukan tanganku yang satunya diatas genggaman tangan kami.
Apakah malam ini ingatanku akan pulih dengan seluruhnya?
Entahlah. Aku sendiri takut jika nantinya ingatan yang kudapatkan malah membuatku lupa dengan perjuanganku bangkit dua tahun lamanya ini.
"Kita hampir sampai." bisiknya padaku, aku mengangguk. Duduk tegak, melepaskan genggaman tangan kami agar lebih leluasa memeriksa penampilanku apakah sudah rapi atau belum.
Saat mobil berhenti didepan hotel mataku membulat menatap banyaknya wartawan yang menunggu diluar sana.
"Sampai saat ini aku masih bingung, seberapa pentingkah keluargamu hingga wartawan begitu ingin meliputnya? Bukankah kamu dan ayahmu hanya sebuah pebisnis?" tanyaku, beberapa penjaga sudah berbaris menyambut kami berdua turun.
"Hahaha, aku selalu suka dengan apa yang kamu tanyakan Qeila, identik dengan kesederhanaan." bukan jawaban itu yang kumau.
Lexion turun terlebih dahulu, setelahnya kulihat berjalan mengelilingi mobil. Dia mengetuk kaca mobil beberapa kali, tersenyum menyapa warwatan. Aku bernapas pelan, mengembangkan senyuman setenang mungkin barulah pintu mobil dibuka oleh Lexion.
Aku turun dibantu dengan uluran tangannya, warwatan yang tadinya tenang ditempatnya kini ramai menggunakan kameranya. Apakah sekarang aku benar-benar dijadikan Ratu? Oleh seseorang yang katanya sangat membenciku.
Kami berjalan disertai flash kamera, bukannya langsung masuk kedalam Lexion malah menuntunku berjalan kearah panggung kecil, kami berdiri layaknya Raja dan Ratu.
"Selamat malam semuanya, seperti yang sudah diberitakan. Malam ini kami akan melakukan peresmian hotel terlebih dahulu, pemotongan pita sebelum masuk kedalam. Nah, orang yang akan melakukannya adalah tunangan saya sekaligus calon istri saya, Qeila Purnamasari." aku tersentak kaget.
Lexion membawaku lanjut masuk kedalam, tepat didepan pintu terdapat pita yang membentang. Didalam ada beberapa orang berbaris rapi termasuk Pak Bian dan Andatio.
"Ayo di potong," bisik Lexion padaku.
Aku mengambil gunting yang seseorang bawa, di pegangannya saja terdapat pita juga disana. Aku menghela napas pelan, berusaha bersikap tenang dan mengembangkan senyum manis.
"1... 2... 3." tepat di hitungan ketiga Lexion, aku memotong pitanya. Disambut tepuk tangan yang begitu meriah. Aku tersenyum memandang semua orang, Lexion malahan tertawa, mengenggam tanganku kembali setelah aku menyimpan gunting itu diatas nampan.
"Kerja Bagus." bisiknya padaku, aku rasanya ingin menginjak kakinya saat ini.
"Kalau kamu ingin menginjak kakiku jangan sekarang, banyak wartawan yang sedang meliput. Andaikan tau kamu akan secantik ini, aku mana ikhlas membiarkan mereka memotretmu bahkan nantinya memperlihatkan wajahmu di banyak siaran TV." ku cengkram tangannya, bahkan ku tekan kukuku kuat-kuat pada lengannya.
Dia hanya tertawa, kami berjalan masuk kedalam terus masuk menuju meja dimana ada Pak Bian, Benfa dan Andatio di meja itu. Aku penasaran apakah Detan ada disini atau tidak ada?
"Mencari siapa? Tidak ingin duduk?" aku tersentak, ternyata tanpa sadar aku mengedar menatap sekitar.
Aku menatap tiga orang lainnya, mereka hanya tertawa melihat sikapku. Aku duduk dikursi yang telah Lexion tarikkan, tak lama setelahnya acara pun dimulai. Mungkin malam ini acara akan sangat panjang sekali, dilihat banyaknya hidangan yang disediakan.
***
Suara alunan musik kesukaanku terputar dengan baik didalam ruangan Hotel ini, bagian lantai satunya yang sudah disulap menjadi tempat yang begitu megah. Sejak tadi hingga sekarang aku hanya sibuk mengedarkan pandanganku memandang hasil desainku, ternyata sangatlah mewah.
"Mengagumi karya sendiri?" aku menoleh kesamping, tersenyum membenarkan apa yang Benfa katakan.
"Ya emang gitu sih, kadang kita engga sepercaya diri itu pas buat sesuatu ataupun berusaha menghasilkan sebuah karya. Tapi sekalinya jadi, kita malah bertanya-tanya pada diri sendiri. Inikah karyaku? Kenapa luar biasa banget?" kami tertawa bersama, barulah Benfa menyodorkan segelas minuman padaku.
Aku memang sedang berdiri diantara banyaknya orang yang berkelompok, wartawan hanya ada didepan jadinya aku bebas melakukan apapun. Semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing, kunikmati seteguk minuman yang Benfa bawakan untukku.
"Maka dari itu,Qei. Jangan percaya kecewa setiap kali kamu menemukan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginanmu, kayak apa ya? Apa salahnya karya itu? Kenapa dia harus disambut dengan kekecewaan? Padahal dia diciptakan dengan semangat, menggebu, sempurna, lalu kenapa disambut dengan begitu rendah?"
"Namanya juga manusia, suka sekali merendahkan karyanya sendiri." balasku, Benfa hanya tertawa setelahnya pamit karena dari kejauhan ada perempuan anggun melambaikan tangan padanya.
Dia berpesan memintaku untuk tidak kemana-mana hanya kubalas dengan gumaman. Aku bersenandung mengikuti alunan musik, sangat tidak menyangka Lexion akan bertindak sampai sejauh ini demi kenyamananku.
"Selamat malam Nyonya Lexion,"
Aku memasang senyum tipis, menyambut uluran tangan perempuan yang umurnya hampir sama dengan Ameera.
"Saya masih berstatus tunangan, Bu. Masih sangat lama untuk sebuah gelar yang anda sebutkan tadi, semoga hari anda menyenangkan dan terimakasih telah meluangkan waktu anda kemari."
Badanku tersentak kaget saat tiba-tiba dia menarikku kedalam pelukannya,menepuk punggungku beberapa kali. "Almarhuma calon mertuamu adalah sahabat baikku, sikapnya sangatlah lemah lembut berbanding terbalik dengan keluarganya yang selalu haus dengan uang." dugaanku salah, kalau dia adalah sahabatnya mamanya Lexion, berarti umurnya diatas Ameera.
Dia melepaskan pelukannya, untungnya gelas yang berada di genggamanku masih aman isinya tidak tumpah sama sekali.
"Dari dulu, saat Lexion masih kecil. Dia selalu bilang padaku ingin mempunyai menantu yang cantik, anggun, dan punya arah hidup yang baik. Paling pentingnya adalah perempuan itu milik dunianya sendiri, tidak peduli apapun statusnya. Itu adalah do'anya sejak dulu, " aku hanya tersenyum, tentu saja dia mengatakan itu dengan suara pelan.
"Saat melihatmu Pertama kali, saya serasa melihat sahabat saya sendiri dalam diri kamu. Cara berpakaian kalian, cara kamu menanggapi orang-orang, cara kamu berbicara. Benar-benar melihat sahabat saya sendiri," Dia meraih tanganku, menggenggamnya erat.
"Nak! Saya titip Lexion. Sejak mamanya meninggal dia menjadi orang yang bebas, jarang pulang malahan kabarnya jarang terdengar. Keluarga Andatio sangatlah terkenal, punya banyak lingkup bisnis dan bukan hanya di negara ini saja," lanjutnya lagi. Dia memelukku sekali lagi dan berlalu.
Kuminum minuman yang tadi Benfa berikan, jadi penampilanku selama ini hampir mirip dengan mama kandungnya Lexion? Kuraih tasku dan mengambil ponsel. Membuka laman pencarian untuk melihat bagaimana dulunya istri seorang Andatio.
Semenit setelah aku mengetik 'istri Andatio' foto-foto perempuan dengan gaya cantiknya bermunculan. Make-up yang selalu tipis, pakaian yang terlihat sederhana tetapi kuyakini harganya tidak main-main.
Ku sandarkan badanku di dinding, menatap intens wajah perempuan yang nyaman di pandang. Ternyata perempuan ini yang berhasil membuat Andatio tak ingin menikah lagi, memilih Setia bersama istrinya itu. Kuminum lagi, menghapus jejak pencarianku dan memasukkan kembali ponselku kedalam tas.
Acara ini masih cukup panjang, merasa rambutku yang ku gerai kurang rapi aku memutuskan untuk ke toilet tanpa mengatakan apapun pada orang-orang. Sejenak aku mencari Joe tapi tidak kutemukan dimanapun, jadinya aku memutuskan ke toilet sendirian.
Suara alunan musik semakin tidak terdengar pertanda aku semakin jauh dari tempat acara, suara sepatuku begitu menggema hanya aku sendirian di lorong ini. Aku tetap berjalan anggun, bernapas lega karena bisa menemukan toilet.
Sesampainya didalam suara tawa yang tadinya begitu jelas terdengar dari dalam menghilang, mereka terlihat kaget kemudian sibuk dengan dunianya sendiri. Tak cukup semenit, mereka semua pergi meninggalkanku sendirian didalam sini.
Aku tersenyum menatap wajahku sendiri dari pantulan cermin tapi lima detik kemudian senyumku menghilang tergantikan dengan wajah kaget. Yang ada didalam cermin adalah diriku yang dulu, dengan rambut terikat acak, sudut mata kanan yang memerah, wajah yang begitu pucat.
Aku meraba wajahku sendiri tapi dicermin itu juga melakukan hal yang sama, memar di pipiku terlihat begitu jelas.
"Kamu bahagia sekarang?" langkahku mundur tiba-tiba, suara siapa itu? Kenapa mirip suaraku?
"Kenapa bisa kamu melupakan kejadian setelah mereka membawa kita pergi, kenapa bisa kamu melupakan tangisan pilu kita diruangan itu. Bukankah malam itu kita memutuskan untuk mati?"
Kugelengan kepalaku beberapa kali, tapi wajah pucat itu masih disana.
"Kamu ingin melihat dan kembali kesana? Kamu ingin merasakan dan mengingat luka itu lagi?" aku menjatuhkan badanku, aku mendongak, malahan kini sosok itu kini berdiri tepat didepanku.
"Bisa melihatnya sendiri? Bagaimana bisa kamu tertawa disaat kita sudah kehilangan semuanya?"
Aku menangis, histeris didalam kamar mandi. Rok yang sosok itu pakai bahkan tidak bisa dikatakan sebagai pakaian karena begitu kotor, robek disana sini. Bajunya bahkan penuh darah, baju pemulung lebih baik dari baju itu.
"Mari ikut bersamaku kembali kesana."
Dan semuanya gelap.