38 - Karena Herlena

2042 Words
Lexion memandang mobil Arfan yang menjauh, pagi ini Herlena benar-benar dijemput oleh kakaknya. Perempuan itu awalnya enggan pulang tapi setelah bicara empat mata didalam kamar dengan kakaknya entah kenapa pendirian Herlena langsung berubah. "Apa anda akan pulang juga, Tuan? Apakah ini semua gara-gara kejadian kemarin?" Lexion mengepalkan tangannya, masuk ke dalam mobilnya menunggu Supirnya ikut masuk juga. Syarat utama yang Lexion berikan adalah Joe harus selalu ada disamping Herlena, Arfan tidak setuju awalnya tapi Herlena menyetujui. Didalam mobil, Lexion berusaha menepis ingatan masa lalu yang datang padanya. Dengan wajah sumringah, Langit memasuki hutan dengan berbagai macam belanjaan ditangannya membayangkan wajah bahagia Herlena atas hadiahnya. Berjalan dalam keheningan tanpa bersuara sama sekali. Butuh waktu sekitar 20 menit lebih hingga markas bagian depan terlihat tapi ekspresi wajahnya berubah banyaknya temannya atau bahkan orang yang ia anggap kakak tumbang. Paper bag yang ada ditangannya terjatuh, berlari kecil masuk kedalam markas matanya membulat menatap banyaknya percikan darah dilantai. Matanya membulat menatap sahabatnya kini terbaring tak bernyawa. "Demis sudah meninggal, Ngit. Dia udah engga ada, adu tembak dengan polisi." ucapan lirih rekannya tidak begitu Langit dengarkan, ia menunduk memeluk sahabatnya kini terbaring tak bernyawa. "Bagaimana bisa?" tanyanya dengan bisikan pelan, tubuh sahabatnya penuh dengan tembakan. "Gue tadi bertanya siapa pelakunya tapi Demis selalu mengatakan Herlena hingga meninggal, bos dan rekan yang selamat beranggapan jika Herlena lah pelakunya." Langit melepaskan pelukannya, pakaian bersihnya kini penuh. "Mana mungkin Herlena, dia tidak tau arah ke kantor polisi." elaknya, mana mungkin Herlena adalah pelakunya. "Markas belakang juga kena, untungnya anak-anak masih sempat di selamatkan sebelum penjaga disana kena tembak dan meninggal ditempat. Sampai sekarang Herlena belum kembali dari pasar, padahal menurut rekan yang selamat dia sudah berpamitan sejak pagi hari sekali. Perempuan lo engga selugu yang kita kira Ngit. Lo harus relain dia menjadi korban kali ini. Bos engga akan pernah lepasin dia," ia menepuk pundak Langit dan pergi. Langit diam, mana mungkin perempuan selugu dan sepolos Herlena adalah pelakunya. Mana mungkin Herlenanya mengkhianati kumpulan preman yang membiayainya sejak kecil, memberinya kehidupan yang layak. Tapi dimana Herlena sekarang? Andaikan Herlena bukan pelakunya lalu kenapa perempuan buta itu belum kembali sama sekali? Ia menatap nanar mayat sahabatnya, orang yang selalu mendukung hubungannya dengan Herlena meskipun sikapnya seringkali kasar. "Herlena pelakunya?" bisiknya pada diri sendiri. Matanya mengedar menatap ruangan yang selalu mereka tempati senang-senang dan berkumpul kini berubah menjadi mencekam, darah dimana-mana. "Lo selalu bilang sama gue kalau Herlena adalah perempuan yang layak diperjuangkan, lalu maksud dari ucapan terakhir lo apaan, Mis?" bisiknya lagi, menatap nanar kedepan. Padahal niatnya kemari ingin memberitahu perempuannya jika ayahnya berhasil menemukan donor mata untuknya, Langit akan membawa Herlenanya keluar dari tempat ini dan melupakan semuanya. Pengkhianatan? Perempuan yang ingin ia perjuangkan ternyata seorang pengkhianat? "Gue engga percaya kalau Herlena adalah pelakunya," Langit berbalik menatap orang yang selalu ia temukan mendekati Herlena secara diam-diam. "Gue yakin, saat ini Herlena sedang berusaha pulang sebisanya. Kalau lo engga bisa mempercayainya itu berarti perasaan lo sama dia cuman sebatas pengagum kecantikan, kalau lo biarin dia disiksa saat ditemukan maka dimasa depan jika dia bisa melihat lagi, jangan deketin dia. Lo engga pantes." "Tau apa lo? Tau apa lo? Lo pikir gue engga tau kalau selama ini lo deketin perempuan gue?" Langit berdiri,menatap tajam laki-laki yang berdiri di daun pintu. "Hahaha, perempuan lo? Herlena bukan milik siapa-siapa. Dia milik dirinya sendiri, gue bersyukur dia engga ikut lo ke kota setiap kali lo nawarin. Laki-laki yang engga punya kepercayaan lebih pada perempuan itu engga pantes mengenggam perempuan yang percaya sepenuhnya pada sekitarnya, lo engga tau apa-apa." setelah mengatakan itu ia pergi, berusaha menyusuri hutan mencari keberadaan Herlena. "Herlena balik, Ngit." Langit dengan cepat lari ke markas utama menatap nanar Herlena yang kini dilempar begitu saja ke lantai. Matanya menatap nanar Herlena yang menatap sembarangan arah. "Kak Langit... Kak Langit disini kan?" "Kamu mengkhianati kepercayaan aku, Herlena. Kamu membuat sahabat aku meninggal akibat perbuatan gegabah kamu." ujarnya, berbalik meninggalkan ruangan itu. Suara lirih serta tamparan tak lagi ia pedulikan, hanya memandang Herlena dengan kecewa. "Pak Lexion!" Seolah ditarik dari kegelapan, Lexion memandang kedepan dengan tatapan kaget. "Bapak tidak papa? Kita sudah sampai di perusahaan, anda tidak turun?" Lexion memijat pelipisnya sejenak sebelum keluar mobil. Berusaha menepis ingatan masa lalu yang selalu datang tanpa diminta. Baru saja Qeila pergi tapi ia sudah merindukan perempuan cantik itu, bagaimana perempuan itu selalu menepis segala tuduhannya. Perusahaannya terasa sepi, biasanya Lexion akan keruangan Qeila dulu memantau perempuan itu apakah sudah datang, sedang apa, ataukah sibuk mengurus apa. Sesekali Lexion akan mengambil Roti lapis yang Qeila bawa membuat perempuan bodoamat itu sangat marah. "Selamat pagi Pak Lexion," sapa sekretarisnya, mulai mengikuti Lexion dari belakang. "Jam 8 nanti anda akan mengadakan rapat dengan manager pemasaran membahas produk yang akan diturunkan minggu depan, dan pihak pemasaran meminta waktu anda selama 3 jam untuk membahas bagaimana taktik mereka dalam memperkenalkan produk terbarunya." keduanya terus berjalan sembari salah satunya bicara satunya lagi mendengarkan. Langkah terhenti menunggu lift terbuka, "saya bersedia, tapi minta mereka gunakan waktunya sebaik mungkin." jawabnya, masuk kedalam lebih dulu disusul sekertarisnya mulai mencatat. "Jam setengah sebelas hingga makan siang akan ada pertemuan besar-besaran, pihak Hekasa akan menggantikan pihak Bu Qeila dalam menjelaskan perkembangan pembangunan yang sudah jalan 65%. Menurut kabar, Bu Qeila sedang mengambil cuti dua minggu sebelum kembali lagi kema-" ia Berhenti berbicara saat Lexion menaikkan tangannya memintanya berhenti bicara. "Dua minggu?" tanyanya, ia belum tau soal ini. "Ya, beliau sudah membahas ini dengan pihak Hekasa dan juga pihak kita. Meminta waktu istirahat selama dua minggu dan akan kembali lagi aktif seperti biasanya. Anda tidak tau?" "Tau, lanjutkan." baiklah, setelah ini Lexion akan menelfon Arfan, karena jika Qeila pasti perempuan itu tidak akan mengangkat teleponnya. "Untuk makan siang,Pak Andatio meminta waktu anda untuk makan dengannya. Apa anda ingin?" tanyanya, Lexion masih memberi jawaban hanya meneruskan langkahnya menuju ruangan. "Biar saya yang membahas ini dengan papa, untuk acara setelah makan siang nanti kamu kabari saya." ia membalikkan badannya untuk mengatakan itu setelahnya benar-benar masuk kedalam ruangannya. Sesampainya didalam ruangan pun malah bayangan Qeila yang datang, sedang menangis sesenggukan didalam pelukannya. Lexion terkekeh, ia benar-benar sudah gila gara-gara perempuan cuek itu. *** Arfan memandang adiknya yang sepanjang perjalanannya tadi hanya diam tanpa suara, Arfan sangat ingin tahu apa yang sedang adiknya pikirkan, apa yang sedang adiknya ingin lakukan ataukah perang pikiran apa yang terjadi dalam dirinya. Arfan ingin tau. "Mau minum?" tawarnya tapi tidak ditanggapi. "Qei? Are you okay?" tanyanya pelan, bukannya mendapatkan jawaban adiknya itu malah menyandarkan kepalanya di bahu Arfan membuat Benfa yang duduk didepan heran, seperti bukan Qeila sekali. "Apa salah kalau aku terlahir buta?" bisikan itu membuat Arfan memejamkan matanya sejenak, tanpa sepengetahuan adiknya tangannya terkepal erat. "Apa salah kalau aku cacat? Memangnya apa yang salah kalau mata tidak berfungsi? Banyak orang diluar sana memilki banyak prestasi tapi ada anggota tubuhnya tidak berfungsi dengan baik. Tapi ada orang anggota tubuhnya lengkap malah tidak punya prestasi apapun, orang kan punya kelebihan masing-masing, memangnya apa yang salah kak?" Arfan menangis dalam diam mendengar nada keputusasaan adiknya, sepasrah inikah adiknya sekarang? "Padahal aku menyelamatkan banyak anak-anak tapi mereka mengatakan aku membunuh banyak anak-anak? Aku memberi mereka kabar tapi mereka malah mengataiku pengkhianat?" lanjut Qeila lagi, memejamkan matanya dan memeluk lengan kakaknya sendiri. "Apa sempurna begitu penting dari seorang anak?" tanyanya lagi, terus meracau tanpa henti. Arfan mengenggam tangan adiknya, berusaha menguatkannya. "Qei,setiap sudut pandang orang itu berbeda-beda. Mereka mungkin taunya yang terpenting dari seorang anak adalah kesempurnaan fisiknya, tapi tanpa mereka ketahui yang terpenting dari seorang menusia adalah cara berpikir mereka, bagaimana mereka menilai orang, bagaimana mereka memuji orang," "Kita tidak bisa menyamakan pemikiran kita dengan mereka, Qeila. Semua berbeda sebagimana mereka dibesarkan sejak kecil, sejak dulu kamu selalu dibawa sama Tante Naesa. Dibesarkan dengan baik, diajarkan banyak hal jadinya beda." "Qeila?" Arfan sedikit menunduk ternyata adiknya tertidur, Arfan sedikit menggeser badannya agar Qeila bisa berbaring dengan paha Arfan sebagai bantalnya. "Spertinya Qeila benar-benar terguncang, Ar. Apa tidak sebaiknya Qeila di Bandung terus aja? Tidak perlu mengizinkannya kembali ke Jakarta?" Dari depan Benfa mulai bersuara, "Ini perjanjian aku dengannya, Fa. Aku engga bisa melanggar janjiku dengannya. Takutnya dia kecewa dan malah memikirkan yang lainnya, lagipula aku sangat yakin besok ataupun sore nanti Qeila akan kembali menjadi perempuan bodoamat sperti biasanya." mengelus kepala adiknya dengan sayang, berapa tahun waktu mereka terbuang hanya karena kegilaan orangtuanya? Orangtua yang seharusnya mendukung anaknya malah membuat anak-anak melupakan jati dirinya sendiri. Orangtua yang tidak pantas disebut orangtua, mengapa melahirkan seorang anak jika memang tidak mampu membesarkannya dengan baik? Untuk apa mengandung dan membiayainya jika hanya memberikan banyak luka padanya? Untuk apa mengumumkan kehamilan jika pada akhirnya kelahiran anak itu malah menjadi malapetaka sendiri untuknya, semenyedihkan itukah kehidupan seorang anak tidak bersalah? Arfan berusaha menahan tangisnya dengan memandang kearah lain, memilih menatap keluar mobil. Semua itu tak lepas dari pandangan Benfa, tapi hanya berusaha bungkam. Bagaimana jadinya kalau Arfan tentang adiknya yang pernah tertembak? Mengetahui kemungkinan adiknya tak perawan lagi membuat Arfan menggila, berteriak bak orang kesetanan didalam ruangannya. "Kamu tidak menyembunyikan apapun padaku kan, Fa?" tanyanya, dibalas Benfa dengan gelengan. Benfa akan berusaha semaksimal mungkin menyembunyikan apa yang berusaha ia tutupi, Benfa hanya takut kesabaran Arfan menghilang, takutnya Arfan akan mendatangi kediaman Jespara berteriak marah disana. Biarkan dua anak ini berjuang sekali lagi, dua saudara yang berusaha bangkit dari keterpurukan. *** "Aku tadi masakin kamu makanan yang enak walaupun agak susah sih soalnya sedang hamil besar juga, kamu harus makan banyak biar bisa lindungin aku dari perempuan penuh drama itu, kamu juga harus kembali kuat. Aku lebih suka liat kamu bodoamat daripada lemes kayak gini," Kena menyendokkan nasi untuk adik iparnya. "Aku bukannya mau egois, Qei. Seberapa hancurnya kamu sekarang tapi suamiku lebih hancur dari itu. Kegilaannya saat kamu koma engga main-main, Qei." menyimpan nasi tanpa lauk itu didepan Qeila. "Egois memang, tapi tolong Qei. Kamu engga tau apa yang bisa kakak kamu lakukan demi membalas lukamu pada orangtuanya sendiri. Kamu engga tau bagaimana Arfan menentang keluarganya, merelakan semua aset yang dia miliki demi kamu," perempuan hamil itu ikut duduk disamping Qeila. "Aku menikah dengan kakakmu bukan karena hartanya kok, aku cuman ingetin kamu bagaimana perjuangkan kakak kamu membuat kamu seperti sekarang. Kalau kamu kembali seperti sebelum koma maka perjuangan suamiku akan sia-sia. Semua yang dia lakukan selama ini sia-sia," Kena tersenyum saat Qeila menoleh padanya. "Anakku akan sangat bahagia jika disambut tantenya dengan wajah tenangnya yang cukup cantik, dengan pakaian mahalnya, sepatu mahalnya juga tas bermereknya. Setiap orang punya ujian, Qeila." mendengar langkah kaki, Kena segera menghentikan ucapan nan panjangnya, ikut makan dalam diam. Mereka sudah sampai sejak tadi, bukannya langsung dibawa ke kamarnya yang biasa Qeila tempati setiap kali bermalam di rumah Arfan, Kena malah membawa Qeila langsung masuk kedalam dapur untuk makan. Sedang Benfa katanya ingin beristirahat di kamar tempat Qeila, akan disini menemani Qeila sampai kembali ke Bandung. Arfan ingin mandi dulu katanya. Joe ada didepan memeriksa keamanan Qeila. Arfan tersenyum menatap adiknya kini makan dengan lahap, menarik kursi disamping Qeila jadinya pasangan suami istri itu mengapit Qeila ditengahnya. Qeila berusaha makan dalam diam, belum mengatakan apapun sejak bangun hingga sekarang. Setelah makan pun, tanpa mengatakan apapun Qeila langsung meninggalkan dapur menuju kamarnya, membuat Arfan menatap punggung adiknya dengan tatapan sedih, ingatan adiknya yang datang baru beberapa tapi sudah dalam mode begitu? "Eh udah makan? Mau istirahat?" pertanyaan Benfa pun tidak Qeila tanggapi, hanya langsung merebahkan badannya di ranjang. Membiarkan Benfa melakukan apapun yang dia lakukan, hanya ingin istirahat. "Qeila,kamu jangan membahas bekas tembakan itu dengan kakakmu." pintanya membuat Qeila kembali membuka pejaman matanya, bertemu langsung dengan fotonya dan ada Arfan merangkulnya dengan senyuman khasnya. "Saat kamu koma, Arfan sperti orang gila setiap harinya. Penampilannya acak-acakan, menentang banyak dokter. Arfan bahkan sempat mempunyai niat membeli klinik itu demi kamu, Qeila. Dia membeli banyak peralatan medis mahal demi kamu, banyak orang memintanya menyerah tapi Arfan malah mengusir mereka semua." Qeila menangis dalam diam, tanpa Benfa ketahui. "Aku mohon, kembali seperti sebelumnya. Seolah kamu tidak terpengaruh dengan masa lalu, kamu tidak terpengaruh dengan keluarga Jespara, kamu dengan bangganya berjalan ditengah-tengah banyaknya orang bukan malah lemah begini." Qeila tersenyum di sela-sela tangisnya, matanya masih sibuk menatap fotonya bersama Arfan dimeja itu. Tidakkah orang berpikir betapa lelahnya pura-pura setiap hari? Kenapa orang terus memaksanya baik-baik saja? Tidak bolehkah sehari saja Dirinya melepaskan topeng dan membiarkan dirinya lemah, sehari saja tanpa dipaksa. Kenapa semua orang egois?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD