52 - Herlena - Qeila

2082 Words
"Dia sudah tidak bisa diselamatkan, Ar. Luka di dadanya akibat tembakan terlalu parah karena terlambat ditangani. Kita cuman bisa liat dia pergi, itu aja." Kulihat Dokter Arfan mengacak rambutnya frustasi. Ya, aku tiba-tiba berada didalam ruangan serba putih juga suara menitor yang terus berjalan, ada Benfa juga sedang memandang Dokter Arfan, kakakku itu memilih duduk melantai layaknya orang gila. Mataku berpindah menatap orang yang memejamkan matanya diatas bankar rumah sakit, Akbar? Ya,segala ingatanku tentangnya telah kembali. Seseorang bernama Akbar itu adalah orang yang menyelamatkanku, orang yang membawaku pergi dari sana. "Lalu kita harus apa? Apa yang harus aku katakan pada Herlena saat dia bangun nanti?" Benfa ikut duduk disamping Arfan, mendongak menatap nanar Akbar. "Kamu masih ingat apa dia katakan sebelum pria itu jatuh koma? Dia rela menjadikan badannya temeng saat mereka dihadang kumpulan preman jalan, dia berusaha semaksimal mungkin membawa Herlena jadinya bisa sampai tempat kita temukan?" "Dia bilang besar kemungkinan Herlena bangun dalam keadaan lupa ingatan karena katanya kepalanya terbentur saat mereka berdua dipalak dipinggir jalan. Buat Herlena menjadi perempuan yang kuat, mandiri dan tidak mengenal simpati. Jika tidak memungkinan baginya untuk sembuh, maka donorkan matanya pada Herlena dan rahasiakan." "Jadi?" Arfan berdiri, menatap Akbar dan Benfa bergantian. "Kita lakukan donor mata, sesuai keinginannya." Setelahnya mereka berdua keluar, aku mendekat pada ranjang rumah sakit menatap intens wajah seseorang yang ternyata berperan penting untukku. Dialah orang yang menyelamatkanku, dialah orang yang merelakan matanya untukku. "Hai Akbar," gumamku pelan, jadi luka yang ada di dadanya itu bekas tembakan? Ditambah lagi dengan dihadang preman lain di jalan? Berapa banyak tenaga yang dia habiskan untuk menyelamatkanku? "Ternyata sikapku yang sekarang berasal dari harapanmu ya? Aku menjadi perempuan sekuat ini, seluar biasa ini ternyata keinginanmu. Mata ini milikmu? Pantas saja aku langsung bisa mengenali semua hal di sekelilingku. Kamu bahagia sekarang?" tak ada jawaban. Aku tak tau apa yang sedang terjadi sekarang, aku seolah dibawa ke masa lalu berkelana melihat diriku sendiri dan juga orang yang tak ku ingat sama sekali. "Jadi aku bukan perempuan suci lagi, kakak preman?" tanyaku lirih. "Bukankah aku telah disentuh mereka semua, kamu bahkan menyaksikan semuanya tanpa bisa melakukan pembelaan apapun. Setelah semua ini berakhir,lalu bagaimana aku menanggapinya? Untuk apa aku mengingat masa lalu jika untuk terluka saja?" aku menjatuhkan badanku, menangis dalam diam. "Kakak preman, kenapa meninggalkanku sendirian?" bisikku lirih. "Kamu yakin operasinya akan berjalan lancar?" aku tersentak kaget, Arfan dan Benfa kembali. "Mungkin ini yang dia mau makanya berusaha bertahan sampai sekarang. Dia mau mendonorkan matanya dulu sebelum benar-benar pergi." "Aku ragu, Ar." "Jangan sampai kamu ragu,yang bisa kuandalkan disini cuman kamu. Kamu siap-siap, kita akan mulai sejam lagi." Mereka berdua keluar lagi, aku kembali berdiri memandang wajah lakilaki yang sayangnya tidak bisa kucintai sama sekali. "Terimakasih kakak Preman," lirihku. "Sama-sama, aku senang karena kamu menjadi perempuan hebat sekarang. Jangan sia-siakan pengorbananku dengan menjadi perempuan lemah." kubalikkan badanku cepat, mataku membulat menatap Akbar berdiri di daun pintu dengan senyumannya. "Kak Akbar?" panggilku. "Setelah bangun nanti, aku mengijinkanmu terpuruk tapi jangan lama-lama. Kamu harus bangkit jangan menjadi perempuan lemah seperti kemarin. Bisa kan?" dia mendekat, mengelus rambutku masih dengan senyumannya. "Boleh minta peluk?" Aku mengangguk pelan, dia mendekapku erat. Aku menangis didalam pelukannya, kembali menjadi perempuan lemah. "Kamu harus menjadi perempuan hebat,bisa?" kuanggukkan kepalaku berkali-kali. "Aku harus pergi," kugelengan kepalaku, aku masih ingin dia disini bersamaku. "Kamu sudah bersama laki-laki yang kamu mau, Herlena. Lexion akan membahagiakan kamu, sebagai bayaran atas pengorbananku kamu harus bahagia bersamanya. Lexion hanya salah paham saja, aslinya dia sangat mencintaimu malahan melebihi perasaanku padamu." dia melepaskan pelukannya, mundur selangkah. "Dia menyebalkan, bisa engga sih aku sama kamu aja." Akbar tertawa, kenapa dia tampan sekali? "Dia mencintaimu, buktinya dia sudah mewujudkan semua keinginan kamu hingga sekarang. Aku pergi dan kamu harus kembali." dia melepaskan pegangan tangannya, perlahan pergi dan ditelan cahaya. Kepalaku yang tiba-tiba sakit dan juga suara-suara bising langsung memenuhi. *** Mataku mengerjap beberapa kali, suasana kamarku langsung kutemukan. Aku tanpa sadar tersenyum sembari menaikkan jemariku menggoyangkannya ke kanan dan kekiri. Aku terkekeh pelan, seolah sangat bersyukur karena bisa melihat lagi. Mataku menatap sekitar,sudah berapa lama aku disini tapi tidak terlalu mengamati semuanya. Kududukan badanku, kubiarkan rambutku tergerai tanpa diikat sama sekali. Suara pintu yang terbuka mengalihkan mataku kesana, aku tanpa sadar tersenyum menatap seseorang yang berdiri disana. Dia adalah orang yang dulunya selalu ada untukku, memberikan banyak kebahagiaan denganku. "Apa kabar, Om?" tanyaku padanya, dia terlihat kaget dengan sapaanku. Ya,aku telah mengingatnya. Dia sangat menyayangiku, selalu membelikan banyak barang untukku. "Oh iya, Kak Benfa sama Tante mana? Aku sedikit menyesal karena melupakan kalian." Om Bian terlihat mundur beberapa langkah, apa yang salah dengan pertanyaanku? Padahal aku hanya menyapanya dengan hangat. Aku tertegun sejenak, aku lupa jika Tante kesayanganku telah lama tiada karena penyakitnya. "Jangan nyalakan lampunya Om,aku suka kegelapan." ujarku lagi saat kulihat ia masuk berjalan menuju saklar lampu. Aku menyukai kegelapan, setelah mengingat semuanya entah kenapa aku lebih suka kegelapan karena itu duniaku dulunya. Ku baringkan badanku kembali, kilasan masa lalu terus saja berdatangan tanpa henti. Kurasakan ranjang bergerak pertanda Om Bian ada belakangku, dia pasti sudah menjagaku sejak lama. "Kamu baik-baik saja, Qeila." aku tersenyum, mengangguk sebagai tanda jika aku masih baik-baik saja. "Saya nyalakan lampunya, bagaimana?" "Jangan Om, aku engga mau. Bukannya dari dulu aku buta kan? Makanya aku pengen merasakan hal seperti dulu lagi, Om. Rasanya menyenangkan bisa kembali seperti dulu," jujur ku, tidak ada jawaban. "Qeila, ka-" "Namaku Herlena, Om. Bukannya Tante Naesa sangat menyukai namaku karena katanya itu sangat cantik? Lalu kenapa sekarang aku dipanggil dengan nama itu?" suaraku lagi, aku terpaku menatap pigura foto yang kupasang sebelum berangkat ke Jakarta kemarin. Fotoku dengan Lexion saat pertama kali menghadiri pesta, dimana semua keluarganya menerimaku dengan baik. Mereka melayaniku seolah-olah aku adalah seorang Ratu didalam istana mereka. Aku tersenyum lagi, kak Akbar benar. Lexion perlahan telah mewujudkan impiannya padaku. "Kamu sehat? Kamu ditemukan pingsan didalam kamar mandi. Tidak ada yang melukaimu kan?" "Melukaiku?" tanyaku ambigu. "Ya, atau ada orang yang melukaimu?" "Tidak ada orang yang melukaiku disana tetapi orang yang di masa lalulah yang menyakitiku. Mereka bahkan merenggut kesucianku, bukankah harusnya Om jijik padaku?" tawaku menggema, tak lama setelahnya suara tangisanku yang terdengar. "Nak! Itu hanya masa lalu." "Mana mungkin aku mengabaikan fakta itu, Om? Perempuan mana yang tidak menangis ketika dia kehilangan hal terpenting dalam hidupnya? Bukannya dari dulu Tante Naesa memperingatiku banyak hal termasuk tentang hal itu. Pasti Tante Naesa sangat kecewa padaku. Iya kan, Om?" suaraku terdengar serak. "Semua ingatanmu telah kembali?" "Iya, memangnya kenapa? Apa yang akan kalian lakukan ketika semua ingatanku kembali? Ingin mengatakan padaku kalau semuanya hanyalah masa lalu seperti yang Om katakan tadi?" Aku bangun dari rebahnku berbalik menatap Om Bian yang duduk pinggir ranjang. "Apa yang akan kalian lakukan Hah? Apa? Apa yang kalian tau tentang betapa hancurnya aku dulu? Bukannya dulu dan sekarang sama saja ya?" bisikku pelan, menggeser badanku dan berdiri menuju pigura foto yang tergantung. Pigura foto itu kubuka, mengusap wajahku yang penuh dengan senyuman. Mana mungkin aku tersenyum sebebas ini setelah mengalami kejadian mengerikan itu? Suara-suara tangisan piluku saat itu kuingat dengan jelas. Suara tawa mereka diatas tangisanku bahkan bisa kuingat dengan jelas. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas suara tembakan yang mengenai Akbar, manusia macam apa kamu Herlena? Bagaimana mungkin kamu bersikap baik-baik saja setelah disentuh banyak orang? Tangisan makin menjadi-jadi saat aku bisa mendengar mereka menyumpahiku. Herlena, sekotor inikah kamu sekarang? Kemana perginya perempuan yang selalu menjaga kesuciannya? Kujatuhkan badanku, kulempar pigura foto itu ke dinding membuat kacanya berserakan didekat kakiku. Sedikit saja aku bergerak maka kupastikan kakiku akan berdarah terkena pecahan kaca, aku tertawa disela-sela tangisku. Dadaku rasanya sesak sekali, kupukul dadaku kuat-kuat siapa tau bisa menghilangkan rasa sakit yang kuterima. "Kamu harus tetap sadar, Herlena. Kumohon, jangan pergi." Suara tangisku makin terdengar pilu saat ingatanku kembali, suara Akbar terdengar lagi. Aku berdiri dan dugaanku benar kakiku langsung terkena pecahan kaca. Aku bahkan tidak bisa merasakan sakitnya, sakit di dadaku malahan lebih menyesakkan. Mataku bertemu pandang dengan Om Bian, entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Kamarku masih gelap dia melakukan apa yang aku inginkan. Aku berhakan tertatih menuju ranjang, tertawa kecil melihat jejak kakiku yang berwarna merah. Cahaya rembulan yang berasal dari pintu balkon yang terbuka membuatku bisa melihatnya dengan jelas. "Om bersihkan dulu lukanya." dia mendekat, kubiarkan Om Bian memangku kaki kananku. Dia membersihkannya dalam diam tanpa mengatakan apapun. "Herlena sayang! Tante bawain kamu banyak baju cantik. Hari ini modelnya luar biasa, pokoknya kalau kamu yang pake pasti lebih cantik. Tante beli baju ini butuh perjuangan banget soalnya stoknya cuman sedikit, pasti banyak yang iri pas kamu pakai baju ini." "Oh ya? Kalau tante yang pilihkan pasti cantik. Dua kan tante? Aku pengen couplean juga sama Herlina, takutnya dia ngambek kalau aku pake baju itu tapi dia engga punya." "Jangan kasi dia dong, dengerin tante. Kamu jangan menyamakan kebaikan kamu dengan kembaran kamu itu. Kamu cukup menikmati setiap waktu yang takdir berikan, kamu bahagia yaudah kamu bahagia, kamu pengen nangis yaudah kamu nangis aja jangan di tahan. Jangan terlalu mikirin orang lain, egois juga perlu di budidayakan." "Hihihi tante lucu, memangnya ikan pake kata itu segala." Aku tersentak kaget saat kamarku berubah menjadi terang benderang,suara percakapanku dengan Tante Naesa menghilang seiring dengan mataku menatap nanar pantulan wajahku di pintu balkon. "Sudah selesai, kamu jangan jalan dulu. Benfa, jangan ganggu adikmu dulu, biarkan dia sendiri." mataku beralih menatap Om Bian, dia tersenyum hangat tapi aku tau dari matanya yang berkaca-kaca dia sedang menahan tangisnya. Dia sedang berusaha tetap kuat didepanku tapi aku yakin dia sebenarnya kasihan padaku. Memangnya siapa yang tidak kasihan padamu Herlena? Siapapun yang merasakan duniamu ataupun mendengar kisahmu pasti akan terluka juga. "Tante bilang sama aku kalau mau nangis yaudah nangis aja, jangan dipaksa. Lalu kenapa Om menahan diri begini? Om pasti kasihan sama aku kan?" dia menggeleng pelan, mengelus rambutku. Sedikit berjongkok lalu mendongak menatapku. "Tante kamu selalu bilang sama Om kalau harus menjaga kamu dengan baik, harus selalu menjadi perempuan yang kuat. Menangis bukan tanda lemah, malahan orang menangis itu luar biasa karena mereka masih bisa mencurahkan kesedihannya. Lebih berbahaya malahan kalau kamu menanggapi ingatanmu dengan tawa, tidak menangis. Itu mengerikan, Nak." ujarnya panjang lebar. Aku yakin Benfa masih berdiri didekat saklar lampu. "Om bahkan akan takut jika tadinya kamu terus diam tanpa menangis. Terluka tanpa adanya tangisan adalah sebuah tanda bahaya, dan Om tidak mau melihat kamu merasakan itu. Kamu itu masih suci, merekalah yang menyentuhmu menjijikan." tangannya terulur menghapus airmataku. "Nangis sayang, kamu harus terus menangis sampai berhari-hari sekalipun akan Om biarkan. Malahan o*******g karena sesak didalam sana bisa berkurang, kamu bisa melampiaskan luka-luka yang selama ini tidak bisa kamu ingat sama sekali." dia tersenyum, menepuk lututku beberapa kali. "Kamu tidak sendirian, diri kamu sendiri masih ada bersamamu. Kepercayaan dirimu masih ada, egoismu masih ada, sikap ketidakpedulianmu masih bertahta dengan baik makanya kamu harus bisa kuat tapi bukan sekarang." dengan gemetar aku menegang kedua pundak laki-laki yang sejak dulu kuanggap sebagai malaikat terbaikku setelah Tante Naesa. "Om akan mengizinkan kamu berkabung selama dua minggu ataupun berapa lama pun yang kamu mau. Tapi setelah itu kamu harus bangkit, menjadi perempuan terbaik yang pernah ada." aku tertawa diapun ikut tertawa. Om Bian menunduk sebentar sebelum kembali tersenyum menatapku hangat. Aku beralih menatap Benfa yang masih berdiri disana. Dia adalah orang yang menyalakan lampu tadi, mungkin kaget dengan suara yang tadi kulakukan. Melempar pigura foto itu suaranya pasti sangat keras. "Benfa, tolong bersihkan pecahan kacanya." Dia berlari keluar kembali dengan membawa sapu juga skop s****h, aku bisa melihat tangannya gemetar saat memegang sapu. Aku bisa melihat dengan jelas, Benfa juga menahan tangisnya sama seperti ayahnya. Setelah bersih, tanpa mengatakan apapun Benfa keluar dari ruangan tanpa menatapku sama sekali. Sayangnya aku bisa melihat pipinya basah karena airmata, aku bisa melihat dia mencengkram erat pegangan skop s****h. Menyedihkan sekali hidupmu Herlena. "Kamu istirahat, Om akan memeriksa keadaanmu nanti. Kalau butuh apa-apa telepon Om aja jangan berteriak. Ponsel kamu ada didekat ranjang, oke?" ku anggukan kepalaku pertanda setuju. "Jangan berbuat aneh sperti tadi, kaki kamu masih butuh istirahat. Kalau mau ke kamar mandi telepon Benfa saja biar bisa membantumu kesana atau telepon Om. Kamu jangan sok kuat dengan berjalan kesana, disini engga ada tongkat. Bisa nurut kan?" "Iya Om." jawabku dengan suara serak. Om Bian tersenyum lagi, mengelus kepalaku lagi dan berdiri. "Lampunya mau dimatikan lagi?" "Tidak perlu Om." "Om keluar dulu." Dia tak menoleh lagi, berjalan cepat lalu menutup pintu. Tepat setelah pintu tertutup aku tertawa pelan, menunduk menatap tanganku yang sejak tadi mengenggam pecahan kaca. Tanganku penuh akan darah. "Luka macam apa ini? Kenapa sakitnya tidak terasa sekali?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD