"Ngapain kamu kesini?" tanyaku ketus, rasanya ingin berbalik pergi.
"Emang salah ya?"
"Banget, sana kamu. Kurang kerjaan banget pake kesini segala. Saya engga terima tamu kalau di apartemen mending pulang saja."
"Sombong amat."
"Siapa peduli?"
Setelah mengatakan itu, kubuka pintu apartemen dan masuk kedalam menutupnya tanpa memintanya masuk kedalam. Masa iya saya harus mengajak dia masuk? Apa kata orang-orang sekitar sini?
Padahal siang ini aku ingin istirahat dengan tenang tanpa gangguan sama sekali, tapi baru keluar dari lift mood harus hancur karena melihat Lexion berdiri di depan pintu apartemenku.
Kurang kerjaan banget kan? Bukannya bekerja dan menghasilkan banyak uang malah santai-santai disini. Kulirik jam, ternyata sudah hampir siang. Untungnya klien yang akan kutemui siang ini mau diajak kompromi jadinya akan bertemu jam 1 siang nanti.
Karena terlambat bangun, kami pulang ke Bandung sekitar jam 8 pagi. Berpamitan pada bibi dan Benfa berjanji akan datang dalam waktu dekat, katanya.
Kubongkar isi koperku, dan menatanya kembali. Menyimpan baju kotor di dalam plastik untuk di loundry nanti, setelahnya memutuskan untuk mandi. Akan lebih baik aku yang menunggu daripada klien itu yang menunggu.
***
Bandung dengan segala kenyamanannya, spertinya kalau disuruh memilih mana yang lebih tenang antara Bandung dan Jakarta pastinya akan lebih ku pilih Bandung. Disini terasa sangat tenang sekali, tapi setiap orang punya kesukaan dan pandangannya masing-masing.
Ku pejamkan mataku sembari mendengar alunan lagu yang diputar Joe didepan sana. Waktuku malahan lebih banyak dimobil daripada di rumah, apa aku rubah mobil ini saja seperti rumahku sendiri?
"Tadi tuan muda berpesan untuk memberitahunya kemana nyonya pergi siang ini."
Aku mendengus kesal mendengar apa yang Joe katakan, memangnya hubungan kami apa hingga dia harus tau kemana aku pergi? Padahal kami hanya sekedar rekan kerja yang kebetulan dekat, itupun dalam pandangan media.
"Tidak perlu, kami hanya sekedar rekan kerja tidak lebih dari itu." ujarku ketus, dengan mata tetap memandang jalanan yang lumayan lancar.
Joe tidak berbicara lagi, memilih fokus menyetir tapi aku sangat yakin jika dia sudah memberitahu tujuanku padanya. Apa aku harus bertemu Andatio untuk membahas mengenai pengawalan yang dia berikan? Dan aku bisa meminta padanya untuk berhenti.
Dan aku bisa bebas melakukan apapun.
"Hmm, kamu bisa mengatur pertemuanku dengan Pak Andatio?"
"Dengan tuan besar? Dalam rangka? Saya harus tau nyonya jadinya saat dia bertanya saya bisa menjelaskan alasan pertemuan ini."
"Aku ingin mengucapkan terimakasih kepadanya, dan juga ingin meminta padanya untuk menghentikan pengawalan ini. Rasanya aku kurang bebas, lagian aku bukan siapa-siapa jadinya tidak perlu di kawal sejauh ini."
"Akan saya sampaikan nyonya."
"Terimakasih."
"Sudah menjadi tugasku, Nyonya."
Kembali hening, hanya iringan lagu yang terdengar. Aku berharap nantinya Andatio setuju dan mengiyakan permintaanku ini, itu benar. Aku hanyalah orang asing disini, jadi semua ini tidak perlu sama sekali.
***
"Benarkah?"
"Benar Nyonya."
Aku diam, menatap kantor yang menjulang tinggi didepanku.
"Beliau sudah menunggu Nyonya, apakah ada kendala lain?" kubalas dengan gelengan kemudian masuk kedalam.
"Selamat datang Bu Qeila, saya akan mengantar anda keatas." baru beberapa langkah aku masuk kedalam, perempuan yang tadinya berdiri dibalik meja resepsionis langsung menyapaku ramah, menampilkan senyum terbaiknya.
"Mari saya Antar,"
Kuikuti langkahnya dari belakang, sesekali kuamati apa caranya berjalan. Begitu anggun.
Dia menekan tombol 15,angka tertinggi yang ada didalam lift ini. Dan itu berarti ruangan Andatio berada disana, aku serasa menjadi tamu paling terhormat karena disambut seperti ini.
"Saya hanya bisa mengantar sampai disini, Nyonya. Ruangan Pak Andatio yang berpintu hitam, sedang ruangan Pak Lexion yang berpintu coklat. Silahkan."
"Terimakasih." ujarku padanya.
"Sama-sama,"
Kulangkahkan kakiku keluar lift, menatap di ujung lorong ada pintu berwarna coklat sedang tak jauh dariku ada pintu berwarna hitam.
Tujuanku adalah pintu hitam, jadinya yang perlu ku ketuk adalah pintu yang hanya berjarak 5 langkah dariku, aku berjalan kedepan pintu tujuanku.
"Qei,kamu disini."
Tanganku yang semula ingin mengetuk pintu kuturunkan kembali, sedikit memiringkan badan menatap Lexi yang sedang menatapku dengan wajah bahagianya, perlahan mendekat padaku.
"Pengen ketemu sama papa? Ngapain?" tanyanya, pertanyaannya tidak kepedulikan. Kembali ku hadapkan kembali badanku ke pintu mengetuknya beberapa kali.
Tujuanku kemari adalah bertemu dengan Andatio bukan bertemu dengan anaknya.
"Siapa?" sahutan dari dalam membuatku sedikit takut.
"Saya Qeila, sebelumnya sudah berbuat janji." jawabku tenang. Lexi masih berada di dekatku entah menunggu apa.
"Qeila? Masuk saja."
Sebelum membuka pintu, ku hadapkan badanku kearah Lexi.
"Silahkan lanjutkan bekerja, saya hanya ada urusan dengan Pak Andatio."
"Kamu tidak mungkin suka dengan papaku kan,Qei?" pertanyaan macam apa itu?
"Ngawur. Saya duluan." ku putar knop pintu dan masuk kedalam, tak lupa menutup pintu kembali meninggalkan Lexi sendirian didepan sana.
Pertama kali masuk ke ruangan ini kesannya nyaman, terasa tenang.
"Selamat bertemu kembali, Qei. Inti dari kedatanganmu kemari sudah Joe beritahu. Jadi? Apa ada alasan lain yang bisa membuat saya benar-benar merasa kamu aman dari siapapun? Kurasa makin hari akan banyak orang mengincarmu mengingat kini media terus menerus mengatakan kalau kamu adalah calon menantuku."
Itulah alasannya, aku lelah dengan pemberitaan tiada henti itu.
"Saya hanya ingin terbebas dari keluarga anda, lagian faktanya adalah kami berdua tidak memiliki hubungan apapun selain rekan kerja. Bolehkah anda menarik Joe serta mobil itu? Ada Arfan dan Benfa yang akan menemani saya setiap kali keluar."
Andatio meninggalkan meja kerjanya, dengan gerakan tangan dia mempersilahkan duduk di sofa panjang serta dia duduk di sofa single.
"Apa ada jaminan kamu akan aman? Apa ada jaminan mereka akan menemani kamu setiap kali kamu keluar?"
"Pak Andatio, saya hanyalah orang asing dan saya merasa perlakuan anda ini terlalu berlebihan. Untuk apa Joe selalu disamping saya? Saya lelah setiap kali melihat berita itu. Saya tertekan setiap kali menatap banyaknya flash kamera yang terus saja memotret saya secara diam-diam."
"Saya mungkin lupa akan tata krama, bukannya berterimakasih malah melunjak seperti ini. Tapi saya mohon, saya hanyalah orang asing. Saya camkan sekali lagi, kami yaitu saya dan anak anda hanyalah rekan kerja tidak lebih dari itu."
Kuraih tas pemberian Kena berbulan-bulan lalu, katanya sebagai hadiah karena aku berhasil meraih mimpiku seperti inginku sendiri.
"Tunggu sebentar, saya ingin memperlihatkan sesuatu padamu." aku berhenti melangkah, membalikkan badan dan dia kini berjalan kearah lemari yang dipenuhi banyak buku.
Tangannya meraih map berwarna biru, kembali duduk dan memintaku kembali duduk dengan gerakan tangan, mempersilahkan.
"Kamu kenal siapa dia?" dia menyodorkan selembar foto padaku.
Dengan enggan, kuterima foto yang dia sodorkan. Ku tatap foto itu, hanya foto biasa yaitu seorang perempuan lusuh dengan penampilan hampir sama dengan pengemis sedang mencuci di pinggir sungai, dan ada beberapa anak-anak sedang bermain di sekitarnya. Penampilan anak-anak itu malahan tidak terurus sama sekali.
Sangat menyedihkan.
"Lalu ini," dia menyodorkan selembar foto lagi.
Kusimpan foto tadi, lalu menerima foto baru lagi.
Sebuah rumah pohon sederhana,dindingnya hanyalah dedaunan besar sedang atapnya palingan menggunakan kayu-kayu yang saling disilangkan. Pintunya malahan terbuat dari lembaran kain, kemungkinannya kalau ingin masuk ya selembar kain itu cukup digeser ke samping.
Dibawah rumah pohon terdapat banyak anak-anak yang saling bermain, mainannya hanyalah ranting.
Aku tertegun, tawa mereka begitu lepas tanpa beban sama sekali. Pakaiannya malahan banyak yang robek, kasihan sekali.
"Lihat yang ini lagi."
Dengan gerakan malas, ku terima foto yang lainnya lagi.
Perempuan dengan rambut tak terurus sedang berjalan kedepan, di foto dari arah belakang dengan pakaian benar-benar membuatku miris melihatnya. Rambutnya memang terikat hanya saja tidak smeuanya, memakai rok tetapi robek sebagian di bagian bawah.
Memakai sandal lusuh, dengan tangan menenteng keranjang. Menurutku, pembantu Benfa sangat jauh diatasnya.
"Menurutmu, bagaimana perempuan yang ada di foto itu?"
Aku menyimpan selembar foto yang terakhir di meja, ku tatap nanar dinding yang ada ruangan ini. Memang seperti pembantu, tetapi auranya serasa dia itu bahagia sekali.
"Dari cara di berjalan, walaupun hanya melalui selembar foto. Kurasa dia begitu bahagia walaupun penampilannya sangat memprihatinkan seperti itu, saya iri padanya. Begitu sederhana tetapi dikelilingi anak-anak yang dapat kutebak sangat perhatian padanya."
Itu adalah jawaban dari sudut pandangku, Andatio tidak menjawab memilih mengambil foto itu dan memasukkannya lagi kedalam map, berdiri untuk menyimpannya kembali ke tempat semula.
"Saya tidak akan menarik Joe darimu, mobil saya keluarkan atas namamu jadi bisa dikatakan mobil itu adalah punyamu."
"Pak And-"
"Saya akan menarik Joe darimu kalau kamu bisa memberikan bukti kepada saya kalau kamu aman. Masa lalu kamu, beberapa dari mereka masih hidup disuatu tempat, dalam pikiran mereka kamulah yang merusak takdirnya."
Aku mengerutkan kening bingung, apa maksudnya?
"Lalu, anda tidak takut jika saya malah menyalahgunakan kekhawatiran anda kepada saya? Semisal saya menggunakannya agar makin banyak perusahaan yang mendatangi saya untuk kontrak."
Bukannya marah,Andatio malah tertawa di tempatnya.
"Kamu adalah penyebab dia akhirnya ada, saya malah tidak mempermasalahkan kalau sampai kamu memanfaatkan posisi yang media sematkan padamu, yaitu sebagai calon menantu saya. Keluarga saya akan selalu terbuka untuk kamu, mata mu selalu mengingatkan saya obsesi mimpi yang begitu besar."
"Bagaimana jika saya malah mengajak rekan saya kemari untuk pertemuan? Mengingat saya tidak punya kantor sendiri. Apakah anda akhirnya berpikir jelek tentang saya?"
Andatio dengan umur tuanya tapi masih sehat itu kembali tertawa.
"Tidak kupermasalahkan, lagian saya senang."
"Baiklah, saya akan mencari jaminan dan bukti untuk membuat saya akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang anda, Pak Andatio. Sampai sekarang pun saya masih bingung apa yang membuat anda begitu kukuh ingin menjaga saya, walaupun putra anda menyukai saya sekalipun itu bukan alasan untuk berbuat sejauh ini."
Aku berdiri, menatapnya yang kini juga menatapku. Bedanya ia duduk.
"Akan kubuktikan jika saya tidak begitu menjadi incaran para penjahat diluar sana, selama saya bagun dari koma hingga sekarang, saya tidak pernah membuat seseorang menjadi musuh saya, atau pun benci dengan saya."
"Saya mohon, pertimbangkan segala sikap saya. Rasanya mustahil jika nantinya saya di posisi memanggil anda dengan sebutan papa."
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Nak Qeila. Mungkin putra saya masih bingung dengan dirinya sendiri tapi saya yakin, perasaannya padamu murni karena kamu adalah kamu."
Kubalikkan badanku tanpa pamitan sama sekali.
"Perempuan di foto itu adalah kamu, perempuan yang ada disana, dengan pakaian lusuhnya adalah kamu."
Suara sepatu yang saling bersahutan terhenti pertanda langkahku terhenti, kubalikkan badanku cepat dan menatapnya dengan pandangan tajam.
"Kamu tidak percaya? Itu adalah kamu, anak yang dibuang oleh keluarganya sendiri demi harga diri keluarganya. Anak perempuan buta yang tidak tau apapun, yang akhirnya dijadikan babu di sebuah markas besar penjualan anak. kenapa? Kamu baru tau?"
Badanku gemetar, mana mungkin perempuan yang sangat memprihatinkan itu adalah aku kan? Rambutku lurus, lembut dan terawat. Sedang dia? Benar-benar lebih kasihan daripada seorang pengemis.
"Kamu tidak ingat tentang rumah pohon itu? Bukankah ada seseorang yang membuatkannya untukmu."
Mataku memejam, suara tawa anak-anak seakan menggema tetapi disana itu gelap, tanpa sinar sama sekali.
"Kak Herlena, tadi kakak seram minta bajunya cepat dicuci soalnya mau dipake ke kota pagi besok."
"Oh ya? Memang kakaknya seram banget ya?"
"Seram banget, aku jadi takut. Kakak jangan lama-lama rendam bajunya takutnya warnanya malah memudar."
"Iya iya, cerewet banget sih."
"Hahahah."
Suara tawa kembali menggema,kupegang kedua sisi kepalaku yang terasa sangat sakit sekali.
"Qeila,kamu tidak papa," tidak ku pedulikan pertanyaan Andatio yang terdengar khawatir sekali, kepalaku serasa ditusuk banyak pisau.
Plaakk
Plaakk
Plaakk
"JANGAN MENTANG-MENTANG KITA SELALU BAIKIN, LO MAKIN NGELUNJAK SPERTI INI."
Plaakk
Kujatuhkan badanku dilantai,rasa dingin langsung menyerpa.
"Qeila, astaga! Saya tidak tau kalau efeknya akan sebesar ini."
Kupindahkan satu tanganku ke pipi,tangan yang satunya kupakai untuk memeluk diriku sendiri. Suara tamparan memenuhi telingaku, suara Pak Andatio sama sekali tidak terdengar lagi.
"Maafkan aku, kumohon maafkan." bisikku pelan,kurasakan badanku gemetar.
"Kumohon, maaf. Maaf, pipiku sakit. Jangan dipukul lagi, kumohon maafkan aku." lanjutku, tangisku datang. Dadaku terasa sesak sekali.
"Qeila? Qeila? Kamu engga papa? Kenapa? Kenapa kamu minta maaf dan siapa yang menampar kamu?" suara itu hanya samar-samar kudengarkan.
"Kak Arfan, tolong." dan kurasakan semuanya gelap.
***
Lexi menatap nanar tubuh Qeila yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Setelah menunggu selama sekitar 25 menit di depan pintu, papanya tiba-tiba saja keluar dan memintanya memanggil pengawal untuk segera membawa Qeila kerumah sakit.
"Papa engga tau ada apa dengannya, papa hanya memperlihatkan beberapa foto padanya itupun reaksinya biasa saja. Tetapi setelah papa memberi tau beberapa hal tentang masa lalunya, dia tiba-tiba saja memegang kepalanya dan terus menerus meminta maaf."
Itu adalah perkataan papanya beberapa menit lalu, karena ada pertemuan yang tidak bisa diwakilkan akhir nya papanya pamit pulang. Katanya, segera telepon dirinya jika terjadi hal serius.
Lexi sudah menelepon Arfan, harusnya Lexi membawanya ke rumah sakit tempat Arfan bekerja tetapi rasanya itu terlalu jauh dari kantornya jadilah disini. Jaraknya hanya 20 menit saja.
"Pasien hanya mendapatkan serangan dari ingatannya sendiri, bisa dikatakan kaget. Untuk sementara jangan membahas apapun dulu, berikan jeda dan jangan dipaksa. Orang lupa ingatan jangan dipaksa untuk terus mengingat, bukan keinginan mereka untuk mengalami nya."
Mengingat perkataan dokter membuat Lexi sedikit tersinggung, bukan salahnya tetapi kenapa dokter itu kesannya malah menyudutkanya?
"Trauma,sangat sulit untuk mengendalikan trauma apalagi ingatan datang secara tiba-tiba. Kehidupan yang dikira baik ternyata sebelumnya mempunyai kengerian sendiri. Saran saya, untuk sebulan kedepan jangan ada yang membahas tentang ingatannya."
Lexi duduk didekat pintu, tidak berani masuk kedalam untuk menemani Qeila tepat di sampingnya.
Apakah ingatan Qeila akan segera pulih lagi? Mengingat semua perlakuan kejam dari teman-temannya di masa lalu?