"Menurut saya, akan lebih baik jika bagian ini di renovasi saja Pak. Kita ganti menjadi tempat khusus bekerja, bagaimana?"
"Bekerja?"
"Coba lihat sekeliling hotel anda ini, semuanya adalah pekerja kantoran tidak ada cela bagi mahasiswa atau pelajar kemari. Kalaupun memang mereka ingin kemari harus menempuh perjalanan beberapa puluh menit terlebih dahulu. Di lantai dasar hotel anda, sudah anda sediakan semacam tempat santai dan restoran mini. Harusnya untuk pekerja bukan? Menurutku ini terlalu santai."
Kami berdua kembali berjalan, hari ini aku kembali bekerja walaupun pagi tadi harus mendengar omelan Kena sepanjang sarapan pagi. Memintaku istirahat, mana bisa! Sedang pekerjaanku sangat menumpuk.
"Walaupun ini hanya restoran mini, anda harusnya tetap memperhatikan agar pemasukannya ada. Nah! Bisa saja kan ada karyawan yang tidak sempat ke tempat lain dan ingin sarapan juga. Bisa sebenarnya kesini, tapi mereka agak sungkan karena tema yang anda berikan malahan untuk remaja. Kursi kayu? Meja kecil selayaknya untuk mahasiswa? Dan musik galau?"
Dan sepanjang perjalanan kemari, Arfan terus saja menatapku kesal. Niatnya ingin meliburkanku selama dua hari penuh gagal total karena selepas shalat subuh aku malah mendapatkan telepon untuk bertemu dengan pemilik hotel Bintang lima, bagaimana mungkin aku menolaknya?
"Bisa anda berikan sofa empuk, alunan musik santai, dan meja melingkar agar bisa dipakai untuk membahas kerjasama antar klien. Kalaupun memang anda masih ingin memperuntukkan untuk mahasiswa, harusnya itu di outdoor agar terkesan membuat pikiran mereka rileks setelah berhadapan dengan banyaknya tugas."
Pemilik hotel disampingku mengangguk beberapa kali, aku menyukai pekerjaan ini. Aku terasa bebas berbicara tanpa harus takut ada keraguan.
"Tidak salah saya mengikuti saran klien kemarin, kamu memang arsitek terbaik di daerah Bandung. Kita ke bagian ruangan istirahat dulu, menager hotel sedang menunggu kita disana dengan jamuan yang cukup banyak."
Kubalas dengan senyuman manis, "benarkah? Kudengar masakan koki disini sangat khas dengan rasanya. Apakakh benar?" selain berbincang, aku cukup tau setiap orang sangat suka pujian apalagi itu menyangkut pekerjaannya.
"Benar, saya berusaha memberikan kesan alami agar tidak menjauh dari daerah kita. Kokinya asli daerah sini, kalau kamu mau bisa bertemu dengannya lain kali."
Kami sama-sama tertawa pelan, kutebak pemilik hotel terkenal ini sudah berumur 40-an tetapi masih sangat muda keliatannya. Sayangnya, setelah kucari di laman pencarian istrinya meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit kronis, kasihan sekali.
Langkah kami memasuki kawasan hotel, restoran tadi berada di bagian sebelah kanan katanya sengaja ia buat untuk mengenang istrinya, sangat Cinta istrinya ternyata.
Langkahnya terhenti dan aku yang tadinya menunduk kini mendongak. Setahuku Bandung itu luas sekali, tapi kenapa harus bertemu dengannya sangat merusak pagiku.
"Selamat pagi Pak Detan, sebuah kehormatan bagi saya karena anda ingin mampir kemari."
Ya. Detan Jespara, salah satu alasan kenapa aku ada di dunia ini.
"Selamat pagi juga, terimakasih atas penghargaan yang anda berikan, saya merasa sangat tersanjung."
Masa bodolah, untung apa juga aku berdiri didepannya dengan menampilkan senyuman manis seperti sekarang ini? Padahal rasanya aku ingin mendatarkan wajahku, menatapnya dengan pandangan mengejek.
"Bagus, saya merasa senang. Tapi maafkan saya Pak Detan, saya harus melanjutkan perjalanan karena kedatangan tamu penting untuk membahas sesuatu."
"Tidak papa, saya juga akan keluar. Terimakasih."
"Terimakasih kembali."
Tadinya aku tidak berniat, tetapi ternyata dia mengulurkan tangannya padaku yang tentunya langsung kubalas, kuberikan senyum terbaik.
"Kita bertemu lagi Pak Detan, semoga hari anda menyenangkan. Permisi," aku melepaskan jabat tangan kami dan berlalu, senyumku masih terlihat padahal bisikannya cukup mainstream juga.
"Gagal tetap gagal."
Bisikan dimana hanya aku yang dapat mendengarnya, sangat pelan karena aku berlalu didekatnya.
Aku dan pemilik hotel melanjutkan perjalanan, menemui manajer yang katanya menunggu kami sejak tadi.
"Saya rasa kamu pernah bertemu dengannya," tanyanya, padahal aku baru saja duduk tetapi sudah disambut pertanyaan.
"Ya, saya yang menangani restoran yang akan dibangun disamping hotelnya, atau bisa dikatakan hotel milik Pak Arfan." jawabku ringan, meraih segelas minuman yang telah disediakan dan meminumnya.
Pikiranku langsung tenang setelah meminumnya, rasa emosi yang datang langsung memudar.
"Saya merasa senang karena kamu yang langsung datang kemari, kudengar restoran yang akan di bangun disana benar-benar beda dengan restoran yang lainnya. Kemarin, saya tidak sempat datang di rapat penting itu. Kalau tau kamu yang menanganinya mungkin setelah ini saya yang akan turun tangan langsung."
Kubalas perkataannya dengan senyuman lagi, beginilah. Sandiwara memang sangat diperlukan setiap saat untuk memperlihatkan kepada orang-orang kalau kita itu tidak kekurangan apapun. Merasa senang saat dipuji padahal aslinya aku muak, pujian itu tidak penting.
"Apakah anda benar-benar adik dari istri pak Arfan, yaitu Bu Kena?" senyumku masih ku pertahankan.
"Bukan, bagaimana jika kukatakan saya adalah adik dari Pak Detan? Keponakan anda sendiri?" dia tersentak, matanya mengerjap.
Bian Hekasa, adik bungsu dari Detan Jespara yang juga memiliki beberapa hotel yang sudah sangat terkenal. Sayang-nya mereka bertemu di luar pastinya membahas pekerjaan, sangat formal.
Ku sandarkan punggungku, menatapnya dengan pandangan biasa saja.
"Masih ingat dengan anak buta yang katanya menghilang 14 tahun lalu? Bagaimana jika kukatakan itu adalah saya?" aku tertawa kecil, kembali meminum minumanku. Reaksi yang sangat berlebihan menurutku.
"Tidak banyak yang tau, Jespara masih memiliki satu anak yang merupakan kembaran Herlina. Sejak datang ke daerah ini, saya sekalipun tidak pernah berminat pada kegilaan sebuah keluarga.
Dia terkekeh, tetapi tidak kupedulikan. Menyantap makanan ringan yang sudah disediakan.
"Arfan oh Arfan. Mengapa dia tidak memberitahuku sama sekali."
"Dimana kamu selama ini? Mengapa baru sekarang?"
Aku memainkan sendok, menatapnya serius.
"Ameera, perempuan gila itu membuangku ditepi jalan karena tidak ingin merawat anak cacat penglihatan. 2 Tahun lalu, saya bangun dengan keadaan asing lupa akan segalanya. Yang saya tau karena Arfan pernah murka, Ameera membuangku. Itu saja."
Kukatakan itu dengan santai, ku amati perubahan ekspresinya.
"Istriku terus mengatakan, cari Herlena karena dia yakin kamu masih hidup disuatu tempat. Bahkan sebelum dia meninggal dia tetap memintaku, berjanji padaku untuk mencarimu. Aku tidak menyangka kamu telah berada disekitarku selama 2 tahun ini."
Ternyata sperti itu, aku tidak mempunyai ingatan tentang istrinya. Yang aku tau, istrinya katanya ramah dan mempunyai rumah khusus anak-anak tidak beruntung,dan itu semua kudapatkan dari laman pencarian google.
"Kamu tinggal denganku?"
Aku tertawa pelan, apa-apaan?
"Herlena, ka-"
"Qeila, namaku adalah Qeila Purnamasari bukan Herlena Jespara." potongku cepat, sejak awal sebenarnya aku tau alasannya mengajakku kemari, keruangan ini. Pasti ada yang ingin dia bahas dan lihat? Tebakanku benar bukan.
"Kamu bilang ingatanmu menghilang."
"Ya saya rasa." jawabku santai, kulirik jam. Sebentar lagi Arfan akan datang menjemputku
Pagi tadi, karena aku lelah mendengar omelan Kena yang tiada duanya jadinya aku berjanji padanya untuk cepat pulang, dan Arfan sendirilah yang akan menjemputku kemari.
Setelah kusebutkan nama Bian Hekasa, Arfan langsung tidak setuju malahan ingin memutar balik mobilnya. Dan setelah kutanya ada apa, dia mengatakan jika orang yang akan kutemui adalah omku sendiri, adik bungsu dari si penggila sempurna itu.
"Apa saya cukup dekat dengannya dulu?" tanyaku pelan.
"Cukup dekat, setiap kali kakakku memarahi istrinya karena keberadaanmu maka dia akan sangat cepat membawamu pergi dari rumah itu, membawamu ke rumah yang ia bangun sendiri untuk anak-anak tak mampu. Dia sangat menyayangimu, sayangnya saat kami berusaha mengambilmu, yang kami dengar malahan kabar hilangmu."
Cerita menarik, sangat menarik. Sangat cocok dijadikan cerita n****+.
"Ameera memperlihatkan keputusasaan jadinya kami percaya, dia terguncang dan mengurung diri selama berminggu-minggu. Dia selalu mengatakan, dia yakin kamu masih ada, sedang membutuhkan pertolongan."
Jika dia mengatakan aku akan tersentuh maka dia salah besar, untuk apa aku mengharapkan sesuatu yang bisa saja hanyalah sandiwara?
Ting.
Aku yakin itu adalah pesan dari Arfan.
"Kalau begitu, saya permisi. Terimakasih atas waktunya pak Bian, jika membutuhkan bantuan lagi silahkan mengirimkan detailnya di e-mail saya." tanpa membahas apapun, aku berdiri menjabat tangan dengannya dan berlalu.
Aku tidak ingin ada keluarga, aku ingin hidup bebas selayaknya duniaku adalah milikku sendiri. Katakan aku jahat, mengabaikan bantuan yang seharusnya kuhargai.
"Bu Qeila."
Kubalikkan badanku, ternyata dia mengejarku sampai lobby.
"Jika mempunyai waktu luang, datanglah ke tempat ini." kuterima selembar alamat darinya, setelah tersenyum ramah aku membuka pintu mobil dan melaju pergi.
Ku hembuskan napas lega, kenapa tatapannya sangatlah menyedihkan tadi? Mengapa dia begitu berharap aku akan ke sana?
"Apa Om Bian mengatakan sesuatu padamu?" setelah beberapa menit berlalu, Arfan dengan stelan dokternya bertanya padaku.
Tidak kujawab, lebih kupilih menatap keluar.
"Istri Om Bian, Tante Naesa. Dia sangat dekat denganmu sejak masih di sekolah taman bermain, dia sangat menyayangimu malahan dia yang selalu menjemputmu setiap pulang sekolah."
Aku tidak tau, ternyata ada seseorang yang begitu tulus padaku.
"Rumah penyandang d*********s yang dia bangun, itu dia berikan untukmu agar kamu tidak merasa minder. Sayangnya, Tante Naesa tidak bisa bertahan lama. Sesekali datanglah kesana, mungkin kamu mengingat sesuatu. Aku lebih suka kamu mengingat masa dengannya daripada harus masa dengan Langit."
Wajahku datar-datar saja, notifikasi yang masuk membuat perhatianku teralihkan. Pemberitahuan p********n, dan dugaaku benar. Dia memberiku bayaran lebih, tidak masalah karena akan ku anggap sebagai pertemuan pertama.
"Apa kamu menikmati pekerjaanmu sebagai arsitek?"
"Aku mana mungkin mengerjakannya andaikan aku tidak menyukainya. Aku bukan tipe orang yang mau dipaksa sama sekali, sebagai kakak yang baik dan pengertian harusnya kamu mengerti itu, kak Arfan?"
Dia bungkam, ku lirik alamat yang masih ku genggam. Apa aku harus datang kesana? Kenapa takdir membawaku di posisi seperti ini?
Harusnya takdir menjauhkanku dari mereka semua walaupun mereka adalah keluargaku sendiri. Aku ingin berjalan dengan kakiku sendiri, dalam keterasingan yang begitu besar.
"Mau makan sesuatu? Kena memintaku mampir membelikannya mangga."
"Tidak."
Katakan sikapku terlalu berlebihan, tapi kurasa makin kesini ketenanganku makin diusik.
"Yasudah. Aku antar kerumahmu ya?"
"Itu yang kumau."
Tidak ada pembicaraan lagi, aku ingin ketenanganku kembali pulih tanpa adanya desakan sana sini. Aku adalah pecinta kebebasan, kenapa orang-orang selalu saja ingin mengurungku? Bukannya membuatku menetap malah itu membuatku muak, ingin menjauhinya.
***
Detan menatap meja kerjanya dengan pandangan tajam, ia membenci ketika anak gagal itu malah dibanggakan banyak orang. Ia membenci ketika semua orang mengatakan dia adalah yang terbaik. Kenapa mereka begitu buta? Dia adalah anak gagal, itu faktanya.
"Ada Pak Bian diluar."
"Biarkan masuk."
Pintu ruangan terbuka, menampilkan adik bungsunya yang menatapnya tajam. Detan tau, ada sesuatu yang sudah anak gagal itu katakan makanya adiknya datang dengan amarah tertahan seperti itu.
"Kakak membuangnya?"
Detan tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema tetapi itu hanya beberapa menit. Wajahnya kembali serius, menatap adiknya.
"Kursi yang sudah rusak, bukankah harus dibuang?"
Bian mengepalkan tangannya erat.
"Aku sudah mengatakannya, ambil dia jika memang kalian mau. Tetapi sepertinya istri tersayangku juga tidak tahan dengan keberadaannya hingga akhirnya membuangnya. Kalian terlalu terlambat, lambat."
Bian mengalihkan pandangannya, menatap perempuan yang duduk di sofa. Sedang menata makanan dimeja.
"Itu akan menghantuimu sepanjang waktu, tangisan pilu Herlena saat kakak meninggalkannya, teriakannya. Semuanya akan terus menghiasi mimpimu kak, sepanjang waktu."
Setelah mengatakan itu, Bian keluar dari ruangan itu. Merasa muak dengan kakaknya.
"Mas, cari Herlena. Walaupun aku tidak bisa mempunyai seorang anak tetapi naluriku mengatakan dia ada disuatu tempat. Dia masih sangat kecil, tidak tau apapun."
Ia menyesal, sangat menyesal. Harusnya saat istrinya mengatakan ingin mencari maka seharusnya ia mengiyakan bukan malah mempercayai Ameera si gila itu, keluarga kakaknya benar-benar sudah gila.
Didalam ruangan, Ameera terus berusaha tidak perduli agar suaminya menganggap ia tidak menyesal sama sekali. Tetap santai mengeluarkan makanan yang ia bawa, menatanya sperti biasanya.
"Sudah selesai. Aku akan bertemu teman dulu membahas mengenai pembukaan butik di bagian Bogor." ia mendekati suaminya, memeluknya singkat dan berjalan angkuh keluar ruangan.
Detan tersenyum senang, istrinya memang yang paling terbaik dan tidak ada duanya maupun ada sejuta perempuan cantik didepannya. Ameera adalah perempuan yang akan ia pertahankan, ia akan Setia selamanya. Dimana ia akan menemukan perempuan yang bisa menemaninya hingga dititik seperti ini?
Ameera bisa mengimbangi sikapnya, membuatnya senang dengan apapun yang Ameera lalukan termasuk membuang anaknya sendiri. Detan bangga, sangat bangga menemukan perempuan seperti dia.
Didalam mobil, Ameera menangis dalam diam. Mau seberusaha apapun dia abai, ia tidak akan pernah bisa melupakan darah dagingnya sendiri.
Untungnya, ada pembatas jadinya supir yang membawanya tidak akan mengetahui ia sedang menangis. Mengeluarkan alat make-upnya.
Ia kembali memperbaiki riasannya yang sempat rusak akibat menangis tadi. Memperbaikinya sebaik mungkin agar tidak ada temannya yang curiga sama sekali. Walaupun terkadang sulit, Ameera harus tetap terus berjalan, dan yakin anaknya bisa bertahan dengan caranya sendiri.
Tidak ada yang tau bagaimana sebuah masa depan, tapi Ameera akan terus menjadi perempuan yang dianggap jahat oleh semua orang. Walaupun terkadang ia menyesali keberadaan anaknya satu itu, kenyataan tetaplah kenyataan. Dia ada, dan sudah sebesar sekarang ini.
"Kita sebentar lagi akan sampai, Bu."
Ameera kembali memeriksa penampilannya, mengganti sepatunya dan melihat bagaimana tatanan rambutnya. Semuanya harus sempurna, karena ia harus selalu dipuji dimanapun itu.
Keluarganya harus tetap menjadi panutan untuk semua orang.