Sejak sepuluh menit lalu hingga detik ini, bukannya turun untuk sarapan aku malah diam berdiri di balkon kamar memandang kebawah dimana disana ada Lexion, Joe dan Andatio yang sedang membahas sesuatu. Entah mereka sadar dengan keberadaanku disini atau tidak tau sama sekali.
Rumah ini cukup luas,hampir sama dengan milik Andatio palingan bedanya pelayan disini berbatas benar-benar sesuai keinginanku. Suasana paginya sangat menyenangkan, ditemani terik matahari yang langsung mengarah ke kolam renang dibawah sana, seakan melihat pemandangan lautan kemarin.
Pakaianku masih sama seperti semalam bedanya palingan rambutku kuikat asal-asalan. Aku kembali menatap kebawah terlihat Joe menelpon dengan seseorang, Lexion menikmati secangkir teh nya dengan Mata menatap kosong kedepan,Andatio sibuk membaca koran. Apa orang itu juga bermalam disini?
"Maaf menganggu waktu pagi anda, Nona. Tuan meminta saya membawakan pakaian ini,"
Kubalikkan badanku menemukan pelayan membawa tiga paperbag ditangannya, "Lexion?" tanyaku memastikan,
"Ya Nona, Tuan Lexion. Beliau meminta anda turun sarapan bersama setelah membersihkan diri nanti." aku kembali menatap kebawah, Lexion sibuk berbincang dengan Joe lagi. Apa paginya selalu begini? Bukannya menikmati angin pagi malah sibuk bekerja?
"Apa paginya selalu begini?" tanyaku, masuk kembali kedalam kamar.
"Maksud anda, Nona?"
Kubuka ikatan rambutku, "paginya Lexion, apakah selalu diawali dengan pekerjaan?" ulangku, membuka sweater yang kugunakan. Didalamnya aku mamakai kaos polos.
"Setiap kali tinggal kemari sepertinya begitu, Nona. Setahu saya beliau lebih dominan tinggal di apartemen daripada di mension ini. Apa perlu saya menyiapkan air, Nona?"
Aku menggeleng cepat, "tidak perlu, kamu kebawah saja bilang padanya kalau aku memintanya untuk segera membersihkan diri bukan malah sibuk bekerja. Minta padanya untuk menikmati segelas jus dipagi hari bukan secangkir kopi hitam pekat. Pergilah, aku ingin mandi." ujarku, tanpa menunggunya keluar aku masuk kedalam kamar mandi.
Terserah pelayan itu mau menuruti perkataanku atau bukan, aku hanya perlu menyegarkan badanku sebelum sibuk seharian.
***
Menyimpan kembali secangkir kopinya yang tinggal sedikit, Lexion mendongak sudah tidak ada Qeila disana. Ia sebenarnya tau sejak tadi Qeila memperhatikannya hanya berusaha untuk tidak peduli, palingan juga berdiri mematung disana.
"Papa yakin dia tidak akan menganggu Qeila lagi?" lanjutnya, pembicaraannya dengan Papanya masih terus berlanjut.
"Yakin, kalau dia menganggu calon menantu Papa lagi, Papa akan menganggap dia siap kehilangan semua aset miliknya. Papa bisa mengatur liburan kalian kembali, bagaimana?"
"Tidak perlu, Qeila tidak ingin lagi. Palingan nanti dia akan ke kantor untuk bekerja, ikut rapat." Andatio tertawa, membalikkan korannya untuk membaca bagian selanjutnya. Kacamatanya ia perbaiki lagi, sesekali menikmati kue kering yang pelayan bawakan.
"Dia perempuan yang tidak suka diatur."
Lexion tersenyum mendengar apa yang Papanya katakan, Qeila memang perempuan seperti itu. Hanya ingin melakukan apa yang dia mau, tidak suka terlalu diatur apalagi sampai ditentukan apa yang akan dia kerjakan, sangat tidak suka.
"Permisi, Tuan."
Ia menegakkan badannya, "ada apa? Qeila menginginkan sesuatu?"
"Nona meminta anda untuk segera membersihkan diri, Tuan. Bukan bekerja dipagi hari seperti ini, Nona juga inginnya anda menikmati segelas jus dipagi hari bukan secangkir kopi hitam pekat." beritahunya, menyampaikan apa yang Qeila katakan tadi sebelum masuk kamar mandi.
Lexion tertawa kecil, meninggalkan tempat itu tanpa membalas perkataan pelayan yang masih berdiri disana. Andatio yang sejak tadi mendengarkan percakapan keduanya hanya menggelengkan kepalanya pelan, anaknya benar-benar sudah jatuh Cinta pada perempuan bernama Qeila itu.
"Bukannya Lexion selalu minum jus tiap pagi? Kenapa tiba-tiba menikamati kopi?" tanyanya, menutup koran yang sejak tadi dibacanya.
"Saya tidak tau Tuan, pagi sekali tadi Tuan Muda meminta dibuatkan kopi, kepala pelayan saja heran karena biasanya setiap pagi saat baru bangun tidur,Tuan Muda menikmati roti panggang plus jus mangga kesukaannya." jawabnya dengan kepala tertunduk,
"Anak itu, sarapan sudah siap?"
"Sebentar lagi, Tuan."
"Hm. Pergilah."
Pelayan itu membungkuk sekali dan berlalu dari sana, Joe juga masih disana memeriksa beberapa berkas yang akan menjadi bahan di rapat nanti, ia mendekati tuannya memperlihatkan berkas-berkas yang ia rasa sudah rampung.
"Kita bisa mempercepat pembukaan Hotel 'Qei', Tuan. Mungkin 2 minggu lagi," beritahunya, membuka berkas ditangannya lalu memberikannya pada Andatio. Disana banyak foto-foto terbaru hotel yang akan mereka bahas di rapat nanti.
"Bagaimana dengan perusahaan Hekasa? Mereka menyarankan hal yang sama?"
"Pak Bian malahan ingin pembukaannya seminggu lalu, Tuan. Katanya lebih cepat lebih baik, Pak Bian juga ingin memperkenalkan pada semua orang jika kita sudah bersahabat dengan baik. Bukankah nantinya kita akan memperkenalkan Bu Qeila secara resmi sebagai tunangannya Lexion?"
"Iya juga, konfirmasi perkembangan bangunan lagi. Saya tidak ingin ada kesalahan takutnya malah memberikan kerugian untuk kita. Dan jug-, Ada apa?" Andatio menyimpan berkas ditangannya begitu saja, menatap kepala penjaga Lexion yang datang terburu-buru kemari.
"Adik bungsu Nyonya Besar ada didepan, Tuan."
Andatio memijat pelipisnya yang tiba-tiba merasa pening, meminta kepala penjaga itu pergi dari hadapannya.
"Joe, jangan biarkan dia masuk. Lexion sangat tidak suka ada keluarga mamanya menginjakkan kakinya kemari, kalau memang adik iparku ingin bertemu denganku buat saja pertemuan di tempat lain, jangan disini." perintahnya, masuk kedalam rumah.
"Baik Tuan." jawab Joe yang masih Andatio dengarkan dengan jelas.
Sejak dulu, Lexion memang tidak suka dengan keberadaan keluarga mamanya. Menurutnya, mereka semua hanya memerlukan nama Andatio bukan jalinan kekeluargaan.
***
Setelah mengikat rambutku menjadi satu,juga memakai make-up karena akan keluar ke kantor. Kuambil tas yang pelayan tadi bawa, tak lupa memakai flatshoes yang Lexion berikan padahal biasanya aku memakai sepatu hak tinggi bukan sepatu begini, tapi sudahlah.
Pakaianku juga berbeda seperti biasanya, celana kulot ditemani kemeja putih plus blazer berwarna senada dengan celana. Merasa semuanya pas, aku memutuskan turun sayup-sayup mendengar teriakan seseorang di bawah sana.
"Perempuan?" gumamku, sedikit mempercepat langkahku menuruni tangga, meneruskan langkah ke pintu utama.
Dugaanku benar, didepan sana tepatnya di halaman depan terdapat Joe juga seorang perempuan didepannya. Ada beberapa penjaga yang berbaris dibelakang Joe seolah melarang perempuan itu masuk kedalam.
"Itu siapa?" tanyaku pada pelayan yang kebetulan lewat, ditangannya terdapat lap.
"Adiknya Nyonya Besar,Nona. Tuan Lexion tidak suka jika ada keluarga yang berasal dari mamanya mengunjungi rumahnya apalagi masuk kedalam," aku membulatkan mulutku pertanda mengerti, meminta pelayan itu melanjutkan pekerjaannya.
Tak mau ikut campur, aku masuk kembali kedalam rumah mengabaikan perempuan itu, spertinya perempuan itu meneriakiku tapi ayo bodoamat, Qeila. Kamu harus membuat pikiranmu tenang sebelum mengikuti rapat nanti.
"Perempuan Sombong!" heh! Perkataan macam apa itu.
Ku balikkan badanku kembali menatap perempuan yang kuperkirakan seumuran dengan Angga, adiknya Ameera itu. Aku hanya memandangnya sekilas sebelum benar-benar masuk kedalam, aku butuh ketenangan pagi ini.
Sesampainya di ruang makanpun aku terpaku melihat banyaknya makanan yang tersedia di meja, begitu banyak. Aku hanya duduk terpaku, menatap pelayan yang berlalu lalang menyimpan makanan di meja, mengaturnya dengan baik.
"Yang lainnya mana?"
Pelayan yang sedang menata piring menghentikan aktivitasnya kemudian menatapku, dia cantik malahan lebih muda dariku. Sayangnya harus bekerja keras demi mendapatkan gaji yang sesuai ekspektasinya.
"Tuan Lexion sedang mandi, Nona." jawabnya sopan, kembali melanjutkan apa yang tadinya dia kerjakan.
"Apa masih lama? Soalnya aku mau ke apartemenku dulu mengambil laptop serta beberapa bukuku disana. Atau saya kesana duluan, nanti kamu bilang saja sama Lexion, bagaimana?" aku menunggunya tetapi suara dentingan piring membuatku menoleh pada arah dapur.
Terlihat perempuan paruh baya terburu-buru berjalan ke meja makan, "maafkan saya, Nona. Tuan Lexion ingin anda sarapan dengannya, mengenai barang anda mungkin bisa mampir saat berangkat ke kantor nanti." ujarnya dengan terburu-buru, ada apa denganya?
"Saya bisa makan di kantor nanti, kan bisa pesen makanan. Jarak apartemenku dengan rumah ini cukup jauh, kalau kesana dulu baru ke kantor pasti makan waktu lama soalnya jalurnya beda. Aku ketemu Lexionnya di kantor aja, oke?" aku tersenyum pada mereka yang terlihat khawatir semua.
Kuambil tas yang tadinya kusimpan di meja makan, berjalan keluar dari sana menuju halaman depan. Sedikit kaget karena perempuan itu masih berdiri disana, memangnya mereka punya masalah apasih? Sudahlah, jangan ikut campur.
"Anda akan kemana, Nona? Jam rapat masih satu jam lagi." Joe mendekat padaku, kulirik perempuan itu sekilas banyak penjaga yang mengelilinginya.
"Mau ke apartemen mengambil laptop dan buku sketsa, bukankah kemarin sebelum sampai di Jakarta aku sudah meminta Benfa membelikanku Apartemen, aku juga sudah meminta Benfa membawa barangku kesana. Cuma sebentar, aku akan makan di kantor." jelasku panjang lebar,
"Mobil yang mana?" bingung ku, masalahnya selama di Jakarta mobil yang biasa aku pakai adalah milik Benfa.
"Saya akan membawa mobil untuk anda, bawa tiga penjaga bersama anda. Saya tidak bisa ikut dengan anda karena harus mengurus yang lain."
"Hm." balasku enggan.
Tak lama kemudian mobil datang dan aku Segera masuk kedalam meninggalkan perempuan yang sejak tadi menatapku dengan kebencian sangat besar. Padahal aku tidak pernah berbicara dengannya, kenalan apalagi lalu kenapa dia membenciku?
"Ke apartemen saya ya, kamu pasti sudah tau." perintahku setelah mobil melewati pagar rumah Lexion, mudah-mudahan orangnya tidak marah karena aku pergi tanpa mengatakan apapun padanya.
"Tau Nona," sudah kuduga, segala hal tentangku bukan rahasia lagi diantara semua penjaga dan pelayan yang ada dirumah itu.
Sperti biasa, kupandang keluar jalanan masih lenggang padahal biasanya ada macet tapi baguslah. Kubuka tasku karena ponselku berdering tanpa henti, aku berdecak kesal melihat siapa yang meneleponku.
Orang kurang kerjaan alis Lexion.
Kuabaikan saja, lebih kupilih memandang bangunan-bangunan tinggi yang menghiasi kota Jakarta, sangat tinggi dan modelnya yang cukup mewah.
"Perempuan tadi,dia siapa?"
"Adiknya Nyonya Besar, Nona."
"Lalu, kenapa tidak dibiarkan masuk? Bukannya dia masih termasuk keluarga dekatnya Lexion?" tanyaku lagi, sebenarnya aku tak ingin tau tapi cara penjaga melarangnya masuk tadi kurasa sangat berlebihan. Apa ada perang saudara ya?
"Sejak dulu,keluarga Nyonya besar selalu menjadikan nama Andatio sebagai temeng setiap kali ingin menjatuhkan seseorang, mereka menggunakan nama Andatio untuk pamer ke semua orang. Sedang Tuan Andatio dan Tuan Lexion sangat tidak suka, mereka juga sangat suka menjatuhkan orang,"
"Terutama adik bungsu,perempuan tadi. Dia sangat suka menjatuhkan orang karena katanya dia lebih kaya, sempurna dan sangat cantik. Keluarga Nyonya Besar sangat suka mengatai orang, mencaci orang, memandang pertemanan dari segi harta dan ketenaran."
Aku meringis pelan mendengar penjelasannya, tipikal perempuan sangat bangga akan uang. Aku tidak bertanya lagi, memilih bungkam saja, untungnya mobil sudah memasuki kawasan gedung apartemen yang sudah Benfa pilihkan untukku.
"Tunggu sebentar," beritahuku, turun dari mobil diikuti dua penjaga di belakangku. Terserah merekalah, yang terpenting aku aman.
Kuperiksa sekitar terlebih dahulu sebelum masuk kedalam gedung, menuju meja resepsionis yang langsung disambut dengan senyuman ramah, cukup cantik tapi sayangnya warna lipstiknya tidak cocok dengan pakaiannya.
"Mau ambil kunci apartemen, atas nama Qeila Purnamasari." kataku langsung.
"Bisa perlihatkan KTP-nya?"
"KTP saya ada di apartemen atas, yang saya bawa cuman ponsel saja. Masa cuman modal nama saja tidak cukup?" sewotku, memeriksa jam yang juga sudah Lexion berikan bersama pakaian tadi.
"Tidak bisa, takutnya anda asal bilang saja. Apalagi sekarang nama Qeila Purnamasari sedang banyak dibicarakan orang sebagai tunangannya pebisnis suskes Lexion Andatio, jadinya kami berhati-hati."
Aku berdecak malas mendengar perkataanya, kenapa Benfa memilih tempat begini. Aku segera mengambil ponselku menelpon Lexion via video Call agar mereka percaya, menyebalkan sekali.
Tak cukup semenit Lexion langsung mengangkatnya, terlihat wajah khawatirnya diseberang sana.
"Kenapa keluar engga tunggu aku dulu? Kan bisa keluar bareng terus sama-sama ke kantor nanti. Sekarang dimana? Aku susul ke sana?"
Ku sandarkan tanganku pada meja resepsionis, "lagi di meja resepsionis, engga bisa masuk soalnya KTP-ku ada di atas terbawa sama barang kemarin. Coba kamu bilang sama mereka kalau aku benaran Qeila, mereka ngiranya aku asal bilang nama." kuperlihatkan wajah Lexion pada perempuan itu.
"Ini beneran tunangan saya, bukan orang lain. Segera berikan apa yang dia mau," setelah Lexion mengatakan itu aku mematikan sambungan video call, terserah nantinya dia mau marah atau tidak.
"Mana? Saya cuman mau ambil laptop saya diatas sana bukan mau pamer tapi kamu engga mau percaya, saya engga suka pamer apalagi modal sekedar tunangan Lexion doang. Tanpa Lexion pun saya sudah bisa mandiri sendiri," omelku dibalasnya dengan permintaan maaf.
Aku segera menerima kartu yang dia sodorkan, segera menuju lift menuju apartemen. Dua penjaga masih mengikutiku dari belakang, ikut masuk kedalam lift. Saat aku masuk kedalam, mereka memhaga diluar.
Benar-benar hanya mengambil laptop yang tersimpan begitu saja di atas ranjang, buku-buku penting yang ingin kuambil juga ada disampingnya. Terlihat barang-barangku sudah tertata dengan baik, alat kosmetikku saja sudah rapi tatanannya di meja rias.
Masuk kedalam walk in closet, semuanya juga sudah ternyata dengan rapi. Aku berniat mengganti sepatuku dan berganti pakaian sesuai inginku. Hanya butuh 20 menit sampai aku keluar kamar dengan penampilan berbeda.
Rambut kubiarkan tergerai tetapi sudah ku catok model curly, baju sepanjang lutut ditemani sepatu booth kesayanganku. Aku keluar apartemen dengan penampilan berbeda, aku suka mendengar sahutan sepatuku di lantai terasa menantang.
Penjaga masih berada di belakangku, saat melewati meja resepsionis aku tidak memandang perempuan tadi, orangnya menyebalkan.
Mari menuju rapat, bekerja seperti biasanya.