Kupilah penampilanku sekali lagi, rok hingga lutut juga baju kaos yang panjang lengannya sebatas siku. Aku tersenyum menatap pantulan diriku sendiri di cermin, aku seakan melihat diriku sendiri dimasa lalu bedanya adalah kini wajahku lebih segar diliat mungkin efek karena kini aku telah pintar menggunakan skincare.
Kuputar badanku sekali lagi lalu tertawa, memainkan rambutku yang kubiarkan tergerai sejak tadi. Kuraih ikat rambut yang ada di meja rias lalu mengikatnya asal, aku penasaran bagaimana respon semua orang dengan penampilanku pagi ini.
Senyumku menghilang selama semenit saat ingatan itu mengerikan ditambah semalam aku menangis begitu lama di balkon kamar, setelah meninggalkan Joe dan Om Bian di ruang tengah aku masuk kembali kedalam kamar bukan tidur tapi menuju balkon lalu menangis hingga mataku bengkak.
Aku bisa melihat hasil tangisku semalam, mataku benar-benar bengkak bahkan hanya dalam satu kali liat. Ku gelengan kepalaku, aku harus bisa terus baik-baik saja dihadapan mereka memangnya apa yang salah dengan menjadi perempuan lemah?
Sejak subuh Benfa sudah memberiku banyak peringatan terutama belum diizinkan bekerja selama beberapa hari kedepan, Benfa juga melarangku keluar dari apartemen ingin menunggu aku pulih dulu katanya. Baiklah, aku akan menjadi anak yang sangat penurut kali ini.
Dengan bersenandung pelan mengikuti alunan musik yang terputar dari ponselku, aku sebenarnya lebih suka lagu tanpa lirik benar-benar hanya alunan musiknya saja, lagu apapun itu asal bukan remix ataupun dj, rasanya terlalu memekakkan telinga.
Kuperhatikan make up cepat yang kupakai tadi, kalau di diperkirakan ulang spertinya bukan make up tapi skincare. Kupukul dahiku pelan, apasih yang sedang kupikirkan?
Di apartemen ini tinggal aku dan Benfa, katanya dia sengaja ambil cuti demi menemaniku sampai pulih. Om Bian sudah kembali ke kantor, dia harus tetap bekerja apapun yang terjadi. Terus masalah kakakku yang satu itu?
"Arfan akan datang sore nanti soalnya pagi ini dia ambil kerjaan yang kemarin. Tentang Kena dia engga bisa terlalu gerak kesana kemari mengingat hari melahirkannya tinggal menunggu saja, jadi kamu harus menurut padaku, oke?"
Aku tertawa mengingat ceramah Benfa sejam lalu sebelum aku masuk ke dalam kamar mandi. Joe masih ada di depan pintu menjagaku dengan baik, baiklah. Mari menjalani hari membosankan ini selama sehari penuh dengan segala aturan Dokter Benfa.
Mataku membulat menatap orang yang sedang duduk dituang tengah, eh! Sejak kapan Andatio berada di sini? Bahkan sedang berbincang hangat dengan Benfa disana ditemani sepiring kue kering juga jus.
"Nah Qeila sudah keluar kamar, saya ke dapur dulu manasin makanan yang tadi sempat Arfan bawa. Silahkan bicara," tanpa memandangku sama sekali, Benfa berlalu masuk kedalam dapur.
"Selamat pagi, Calon Menantu. Sebuah kejutan melihat penampilanmu pagi ini," kubalas keterkejutannya dengan tawa kecil, duduk di sofa single.
"Mau kubelikan pakaian dengan model seperti itu? Rasanya apapun yang kamu pakai selalu berkelas walaupun baju murah sekalipun. Kamu terlihat seperti perempuan eropa sekarang, cuman kurang jaketnya saja."
Kami sama-sama tertawa mendengar lelucon Andatio, siapa bilang baju yang sedang kupakai ini murah? Sebelum mandi tadi aku meminta Joe membelikanku pakaian yang sama persis dengan foto pakaian yang kuberikan padanya, hasil dari pencarianku di internet.
Aku sangat yakin Joe tidak akan memberikan baju murah, apalagi salah satu kartu kredit milik Andatio dipegang Joe katanya untuk dipakai ketika aku memerlukan sesuatu di keadaan mendadak.
"Kemarin sewaktu dipesta, saya bertemu dengan sahabat lama istri anda. Dia bukan penyebab saya pingsan jangan sampai anda berpikiran seperti itu." ujarku, Andatio terlihat kaget sebentar tapi tetap menunggu apa yang aku katakan selanjutnya.
"Sejak dulu, katanya. Istri anda menginginkan perempuan luar biasa untuk anaknya, Lexion. Perempuan mandiri, bertanggung jawab atas dirinya sendiri seperti bisa bekerja tanpa paksaan ataupun dibawah tekanan. Saat sahabat istri anda melihat saya, katanya dia bisa melihat istri anda sendiri."
Andatio meminum jusnya lebih dulu, sebelum mengeluarkan dompetnya dan menarik sesuatu dari sana. Dia menyimpannya diatas meja, badanku sedikit kumajukan menatap foto yang dia simpan disana.
"Namanya Zarsakia Kedrayani. Perempuan keras kepala yang berhasil menarik perhatianku berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dia cantik dengan cara berpikirnya, suka membantah setiap kali saya melarangnya ini itu. Sangat mandiri, malahan dia sangat tidak suka ketika aku membayar makanannya." Andatio tertawa kecil, sangat kentara sekali dia begitu mencintai istrinya.
"Sejak kecil hingga dewasa, Zarsa tinggal bersama neneknya yang merupakan pengusaha sukses di bidang kuliner dan fashion. Dia masih punya keluarga, tapi lebih suka tinggal bersama neneknya. Selepas kepergian neneknya, ibunya Lexion menjadi kesulitan karena semua keluarga menentangnya menjadi pewaris tunggal." Ia tertawa lagi,
"Jadinya, Zarsa memutuskan untuk pergi dan melepaskan semua warisan itu. Dia memilih bekerja dibawah kuasa saya sampai akhirnya kami menikah, sayangnya keluarganya mengejarnya sampai disana. Mereka datang bagai lintah terus mencari muka, sampai sekarang." Andatio meminum jusnya hingga habis, memperlihatkan isi gelasnya padaku.
Aku tersenyum menatap hal itu, "jadi, dia memang perempuan yang hebat?"
"Hahaha, tidak mudah mendapatkan hatinya. Dia tidak pernah memandangku sebagaimana perempuan lain, kalau perempuan lain pasti menyukaiku karena aku mempunyai banyak uang tapi dia? Dia memerlukan orang yang bersedia mendukungnya, bukan memotong impiannya setelah menikah."
"Kami terus baik-baik saja, sampai dia meninggal karena penyakitnya. Lexion merasa kecewa dan kesepian jadinya terus memberontak bahkan sampai memilih tinggal di markas itu. Tapi sejak masuk SMA sikapnya berubah, dia jadi sering pulang bahkan sesekali minta uang. Setelah saya selidiki ternyata ltu karena kamu, demi kamu."
"Maka dari itu, saya sungguh berterimakasih padamu. Saya tau kejadiannya bagaimana, Lexion hanya perlu di sadarkan oleh bukti nyata agar tidak menaruh benci lagi padamu. Pemilik mata itu baik, dia selalu menjagamu dengan baik."
Andatio berdiri, akupun ikut berdiri.
"Saya tidak memintamu cepat pulih, tapi teruslah menjadi apa yang kamu mau karena perempuan akan semakin hebat ketika keinginannya di dukung bukan malah di patahkan oleh segala aturan rumah tangga yang terdengar klasik. Saya mengatakan ini karena telah mengalaminya sendiri, melihat istri saya berkembang."
Dia menepuk pundakku beberapa kali barulah pergi, kutatap punggungnya yang semakin jauh. Aku beralih menatap foto ibunya Lexion yang sengaja Andatio berikan untukku. Pakaian yang Tante Zarsa pakai sama sepertiku bedanya dia memakai jaket dan tertawa begitu lepas.
Dia perempuan penuh dengan kesederhanaan, perempuan kaya bukanlah perempuan yang dikelilingi dengan uang tapi perempuan kaya yang sebenarnya adalah perempuan yang penuh dengan impian bahkan ketika sudah berumah tangga sekalipun.
"Makanan sudah siap." seruan senang Benfa membuat lamunanku tersadar, aku segera berlalu ke kamar menyimpan foto Tante Zarsa ditempat aman barulah ke dapur melihat makanan apa yang tersedia disana.
Kututup mulutku cepat karena kaget setelah melihat banyaknya makanan yang tersedia dimeja,"ini semua Kena yang masak?" tanyaku dengan suara berbisik.
"Bukan tapi mamanya Kena, diakan ada disana menemani putrinya menunggu hari lahiran." jawab Benfa, dia sudah sibuk menyendok nasi.
"Tapi kenapa harus sebanyak ini?"
"Kenapa harus sebanyak ini? Aku juga engga tau kenapa harus sebanyak ini padahal disini kita cuman berdua. Aku sudah bilang sama Arfan engga perlu bawa makanan kita bisa pesan tapi dianya engga mau. Ayo makan, jangan kelamaan bengong."
Kutarik kursi dan duduk, menyendok nasi sebanyak yang bisa kumakan. Beralih mengambil lauk barulah makan. Masakannya enak, hampir sama rasanya dengan masakan warung yang pernah aku makan bersama Lexion dulu.
Dua puluh menit kemudian kami berdua sudah selesai makan, yang berkurang hanya sedikit sekali. Benfa memintaku istirahat yang langsung kuturuti karena memang kepalaku agak sedikit pening, memilih menuju kamar dan berbaring.
Apa yang harus kulakukan pagi ini? Masih pukul 9 lewat malahan, masa iya aku harus tidur terus sampai sore? Kegiatan macam apa itu?
***
"Ibu hanya perlu minum obat yang rutin dan usahakan obatnya di habiskan bukan hanya diminum satu kali. Kalau masih ada keluhan ibu bisa pulang kemari lagi minggu depan di hari yang sama, jangan dirahasiakan ya sakitnya kasihan badan ibu." ujarnya disertai sibuk mencatat resep obat di kertas kecil.
"Apa engga bisa setengah aja, Dokter? Kan biasanya kalau obatnya cocok baru minum dua kapsul eh udah sembuh."
Arfan tertawa pelan mendengar tawaran itu, "Ibu, kalau mau sembuh ya harus total jangan setengah-setengah. Tolong ya walinya diperhatikan jadwal minum obatnya, silahkan ditebus di apotik." Arfan menyerahkan hasil catatannya.
"Terimakasih Dokter." ujar orang di samping ibu itu, keduanya bersalaman barulah keluar.
Calon ayah itu bernapas lega setelah pasien terakhirnya keluar, ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri rasanya sangat melelahkan. Jadwal praktiknya yang dibuka siang hingga sore akhirnya selesai juga, matanya melirik jam tepat jam 5 sore, untunglah.
Membuka jas dokternya lalu menggantungnya dibalik lemari di pojok ruangan, membuka kacamatanya lalu memijat pangkal hidungnya yang lelah sekali. Setelahnya barulah memakai kacamatanya kembali, meraih ponsel yang sudah berjam-jam tidak ia pedulikan.
Ada banyak pesan yang masuk termasuk istri cantiknya, tentu saja pesan itulah yang pertama kali Arfan buka.
Love.
Pulangnya jam berapa? Atau sampai malam?
Dengan cepat Arfan membalas pesannya memberitahu akan pulang sebentar lagi tapi harus mampir dulu ditempat adiknya. Arfan tertawa melihat balasan istrinya yang selalu saja mengerti apa yang dia jelaskan.
Arfan.
Ini sudah mau pulang, tapi aku mau mampir dulu ke apartemen Herlena melihat perkembangannya soalnya pagi tadi engga sempat. Bisa kan?
Love.
Bisa, hati-hati sayang dan calon ayah.
Ia segera membereskan barang-barangnya, barulah membawa tas jinjingnya keluar ruangan bertemu dengan asistennya yang ternyata belum pulang padahal sebelum pasien terakhir tadi masuk, Arfan sudah meminta asistennya pulang.
Asistennya ini sudah menikah malahan sudah mempunyai anak berumur setahun lebih makanya Arfan memintanya pulang cepat tapi ternyata tetap menunggunya pulang lebih duluan.
"Masih di sini? Kan saya sudah minta pulang tadi?" herannya.
"Inikan sudah pekerjaan saya, Dokter. Selamat beristirahat Dokter, suami saya juga sudah dalam perjalanan kemari menjemput saya."
"Hm yaudah, selamat beristirahat juga." barulah Arfan melanjutkan langkahnya benar-benar keluar, sesekali tersenyum menyapa beberapa suster ataupun Dokter kenalannya.
Masuk kedalam mobil dan akan pergi menuju apartemen adiknya, butuh waktu 23 menit sampai akhirnya mobilnya bisa terparkir dengan baik di hadapan gedung apartemen yang sangat tinggi.
Arfan meraih kue yang sempat ia singgah beli di jalan tadi, lalu berjalan menuju lantai tempat apartemen adiknya berada. Tersenyum senang karena merasa adiknya perlahan membaik sekarang.
Sayangnya senyum Arfan hanya berlangsung lama saat menemukan Keylan dan juga perempuan bercadar di sampingnya yang sedang menggendong anak kecil. Arfan yang tadinya berusaha mengabaikan dengan meneruskan langkahnya te-urungkan, Keylan menyapanya.
"Selamat sore Dokter, senang bertemu anda disini."
Arfan sedikit mundur beberapa langkah, "selamat sore juga Adik ipar dan juga istrinya. Suatu perkembangan pesat karena kini adikku bisa berbagi suami ternyata." ujarnya dengan pelan, bukannya tersinggung Keylan malah tertawa.
"Kudengar dari Herlina, Qeila sedang tidak baik-baik saja. Saya turut prihatin juga sampaikan salam terimakasih saya padanya karena dialah saya bisa menggendong anak saya sekarang, terimakasih."
Sekilas, Arfan melihat madu adiknya yang tidak balik menatapnya sama sekali hanya terus menunduk menatap kebawah. Arfan beralih menatap Keylan, seolah mengerti dia membuka suara.
"Tanpa sepengetahuan Ayah mertua, Herlina sedang menjalani proses penyembuhan bersama seseorang kurasa Herlina berhasil menemukan tambatan hatinya. Setelah diperiksa lebih detail lagi, masih ada 5% kemungkinan dia bisa memilki anak tapi bukan denganku." Keylan tersenyum senang.
"Kami hanya menunggu bom waktu yang nantinya menjadi alasan kami berpisah, aku akan melanjutkan kehidupanku bersama Delina dan juga anak-anakku dan Herlina akan memulai kehidupan barunya bersama orang yang membuatnya jatuh Cinta dan bisa memikirkan masa depan."
Arfan mengerutkan keningnya bingung tidak mengerti apa yang sedang Keylan bahas.
"Kedua orangtuaku awalnya menentang keras kehadiran Delina karena aku membawanya bertemu mereka, tapi setelah tinggal sebulan dengan mereka akhirnya Delina bisa menerimanya. Kudengar Qeila akan mengungkapkan pada publik mengenai sandiwara kami, maka dari itu kami siap menerimanya." Keylan sedikit menunduk barulah pamit.
Arfan mematung ditempatnya, tidak menyangka telah melewatkan banyak hal. Adiknya bukan hanya satu tapi ada dua orang, tapi Arfan lebih memprioritaskan Herlena yang terbuang dari pada Herlina yang penuh dengan kasih sayang.
Ia kembali melanjutkan langkahnya, masih kurang percaya adiknya yang satu telah berubah seluar biasa itu. Ia kira Herlina akan terus berada dibawah bayang-bayang Detan dan Ameera tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak.
Arfan mengetuk pintu apartemen yang disambut dengan wajah lelah Benfa, mempersilahkannya masuk dan mengambil kue yang Arfan bawa. Benfa hanya berlalu saja setelah mengatakan,
"Kamu ke kamar Adikmu aja, liat sendiri."
Dengan wajah senang Arfan yang memang belum tau apapun berjalan kearah kamar, ternyata pintunya tidak terkunci sama sekali. Senyumnya menghilang melihat kamar adiknya yang berantakan.
"Apa yang ter-"
"Itu lebih baik, Ar. Daripada dia terus tersenyum layaknya orang gila seolah dia baik-baik saja padahal aslinya dia terluka. Paginya memang aman-aman aja, senyum terus malah. Tapi pas siang dia mengurung diri, melempar semua barang hingga sekarang. Aku membiarkannya, mungkin Qeila masih memakai mukena sehabis shalat ashar tadi."