Sepiring buah-buahan menemaniku membaca koran pagi ini, nama Detan Jespara beserta istrinya terpampang nyata dihalaman depan. Suasana pagi yang begitu menghibur, dan juga suara televisi yang menyiarkan berita lama, belasan tahun lalu.
Kusimpan garpu diatas piring, melipat koran lalu menyimpannya diatas meja. Menatap langit pagi yang begitu cantik. Beberapa orang dibawah sana sibuk dengan dunianya sendiri, begitupun denganku.
Masuk kedalam kamar kembali, berdecak kesal melihat satu orang yang masih tidur dengan lelapnya diatas ranjangku, hanya rambutnya saja yang terlihat. Padahal ini apartemen milikku tapi orang itu dengan seenaknya menguasai ranjangku, kelewatan.
Aku keluar kamar, suara dentingan spatula bertemu dengan wajan terdengar begitu jelas. Sesampainya didapur menemukan punggung perempuan dengan rambut cepolnya, sibuk memasak.
"Sudah bangun? Tapi kayaknya memang sudah sejak tadi. Kalau Benfa bagaimana? Masih tidur? Padahal semalam dia bilang mau bangun pagi untuk ke rumah sakit tapi malah terlambat bangun," Kena menatapku sebentar lalu kembali mengaduk masakannya.
Sudah dua hari sejak kejadian itu, jemari kananku juga sudah membaik. Pipiku sudah membaik seperti semula hanya ujung bibirku yang masih terasa perih setiap kali memakan sesuatu.
Suara kompor dimatikan membuat kesadaranku kembali, Kena membawa sepiring udang tepung ditangannya menatanya diatas meja bergabung dengan hasil masakannya yang lain, tidak salah Dokter Arfan begitu betah makan dirumah.
"Kamu yang habis potong buah-buahan?" tanyanya, kini berdiri disampingku.
"Iya, kenapa? Salah?" ia tertawa, meninggalkanku sendirian diruang makan mungkin ingin pergi membangunkan Benfa yang masih terlelap diatas ranjangku.
Sejak dibawa pulang oleh Lexion kemari itupun harus berdebat panjang, kedua orang ini dengan senang hati menemaniku di apartemen tidak mau pergi padahal aku sudah mengusirnya berkali-kali, katanya ingin menjagaku dengan baik.
Yang kusuka dari masakannya Kena adalah selalu identik dengan masakan rumahan, sesuai keinginanku.
"Masa sudah jam segini?" suara Benfa terdengar, berlalu didepanku begitu saja menarik kursi lalu duduk. "Kenapa tidak membangunkanku sejak tadi?" lanjutnya lagi, aku hanya mengerjapkan mataku beberapa kali melihat protesnya.
Bukannya besyukur Kena mau kesana membangunkannya, Benfa malah mengeluh karena terlambat dibangunkan. Sebagian manusia memang begitu, suka sekali protes sedang bersyukur dia lupakan.
Aku ikut duduk tapi tidak bersebelahan dengan Benfa melainkan berhadapan dengannya, mengambil nasi beserta lauknya.
"Suamimu mau kesini, Ken?" pertanyaan pertama Benfa pada Kena, Kena yang sedang memgaduk s**u hamilnya menoleh ke meja makan.
"Katanya semalam mau kesini, tapi engga tau jadi apa engga. Dia masih sibuk sih setelah kemarin pulang mendadak ke Bandung membuat rumah Detan berantakan. Suamiku memang hebat, jago."
Benfa tertawa mendengar betapa bangganya Kena pada Arfan, kemarin katanya saat aku masih dalam kondisi lemah Arfan pulang ke Bandung membawa beberapa penjaga milik Lexion bersamanya.
Arfan meminta penjaga itu mengacak-acak rumah milik Detan Jespara, tidak memperdulikan pelayan yang berusaha membatalkan niatnya. Aku hanya fokus makan, Membiarkan dua perempuan ini terus berbincang.
"Detan itu ya, udahlah aku bingung mau ngebandingin dia dengan apa soalnya engga ada. Tingkat kejahatannya yang paling tinggi, masa sama anak sendiri kayak gitu," Suara Kena lagi, dengan heboh duduk di dekat Benfa tidak memperdulikan perutnya sama sekali.
Oh iya.
Kemarin saat pertama kali bertemu Kena setelah liburan singkat itu, ibu hamil ini langsung memelukku menangis sembari terus menerus mengatai Detan dengan segala umpatannya. Ia baru berhenti menangis setelah aku memintanya berhenti, bilang padanya untuk berhenti mengumpat.
"Kudengar juga gitu sih," atensiku kembali, Benfa baru saja membenarkan apa yang Kena katakan. Memangnya apa yang tadi Kena katakan? Aku tidak mendengarnya?
"Benar rugi besar loh, apalagi kalau tidak salah Delion penanam saham terbesar di perusahaannya juga menarik diri. Detan sampai sekarang masih diam," Kena berbicara lagi, tangannya mencomot satu perkedel memakannya begitu saja.
Aku meminum airku hingga habis, hanya makan sedikit bukan karena diet atau makanannya tidak enak hanya saja bibirku masih terasa perih. Meninggalkan meja makan untungnya mereka berdua tidak bertanya ini itu.
Masih dibiarkan libur,Lexion meminta padaku bahkan memohon agar aku meliburkan diri dari bekerja terlebih dahulu sampai peresmian nantinya, empat hari lagi.
Masuk kembali kedalam kamar, menata ranjang agar rapi. Setelahnya aku mengambil piring tempat buah-buahan tadi, menyimpannya didalam kamar tepatnya diatas meja, nanti akan kubawa ke dapur.
Duduk didepan meja rias untuk membersihkan wajahku dulu setelahnya baru mandi, agar lebih segar. Suara televisi yang terus menerus menemaniku sejak tadi, kulirik wajah anak-anak yang kini ditampilkan, tanganku yang tadinya ingin mengambil kapas terhenti, itu adalah aku.
'Ini adalah wajah anak Detan Jespara dan Ameera Jespara yang dulunya di kabarkan menghilang, tapi sekarang berita terbaru datang. Anak kecil nan cantik sayangnya buta itu dikabarkan tidak menghilang melainkan sengaja dibuang oleh keluarganya sendiri, Ameera Jespara.'
Foto-foto masa kecilku diperlihatkan, lebih banyak bersama seorang perempuan muda cantik.
'Naesa Hekasa, istri dari Bian Hekasa atau bisa kita katakan adik ipar dari Detan Jespara dulunya selalu membawa Herlena kecil bersamanya. Membawanya berjalan-jalan bahkan membangun rumah berkebutuhan khusus agar sang keponakan mempunyai teman yang banyak.'
Suara penyiar terdengar begitu jelas, foto-foto masa kecilku masih mereka ulang seolah ingin memperjelas dan memperlihatkan kepada semua orang.
'Pertanyaannya adalah mengapa Ameera Jespara membuang Putri secantik ini? Putri yang katanya sangat berbakat di bidang piano. Dimanakah Herlena Jespara sekarang? Apakah masih Hidup ataukah sudah meninggal?'
Tanganku terulur meraba pipiku sendiri terdapat airmata disana, aku tertawa kecil.
"Mengapa aku menangis?" tanyaku pada diri sendiri, menghapus airmataku dengan cepat. Melanjutkan acaraku yang tertunda tadi, menuang cairan pembersih pada kapas dengan tangan gemetar.
"Ayo Qeila, itu hanyalah masa kecil yang tidak penting. Lagian sekarang kamu sudah bahagia, kamu sudah mempunyai kehidupan yang sangat layak, mereka juga taunya kamu terbuang kan? Namamu bukan itu lagi, oke?" tegasku pada diri sendiri, mulai menyapukan kapas pada wajahku.
Gerakanku terhenti saat wawancara lawas diperlihatkan di layar televisi.
'Saya, Ameera Jespara. Ingin mengabarkan jika salah satu Putri kami bernama Herlena Jespara sedang menghilang dan sudah sejak lama. Kalau ada yang menemukannya kami harap segera memberikan kabarnya, terimakasih.'
Aku tertawa, menyimpan kapas ditanganku begitu saja, berdiri tapi baru beberapa langkah kini menjatuhkan badanku di sisi ranjang. Aku menangis dalam diam, mengapa seorang ibu harus melahirkan anaknya kalau hanya untuk dibuang?
'Kami sudah berulang kali menyambangi rumah utama Jespara tetapi pagarnya tidak pernah terbuka. Kami akan selalu memberikan informasi terbaru, terimakasih.'
Berita tergantikan lagi dengan berita lain bukan lagi tentangku, suara tangisanku masih menggema di dalam kamar. Rasanya menyesakkan sekali, dadaku seakan terhantam batu begitu keras, kenapa? Inikah tujuannya?
"Qei, pinjamkan sa-, astaga! Ada apa?" aku tidak menjawabnya, hanya terus menerus menangis melepaskan sesak yang ada didadaku.
"Aku kan bilangnya jangan nonton TV dulu, Qei." suara TV yang tadinya menggema menghilang, Benfa mematikannya.
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain? Memangnya kenapa kalau seseorang buta?" tanyaku pada Benfa, dia terlihat lelah. Berdiri keluar kamar meninggalkanku sendirian.
Tak lama kemudian kembali masuk, "maaf, Qei. Aku harus melakukan ini demi kesehatanmu." kurasakan Benfa menyuntikkan sesuatu padaku, semenit setelahnya kurasakan mataku berat sekali.
Ya, Benfa membiusku lagi. Seperti yang biasanya ia lakukan agar aku tidak lepas kendali.
***
Benfa menyimpan alat suntiknya di meja rias,mengangkat Qeila agar berbaring diatas ranjang. "Kamu jangan kayak gini terus, Qei." bisiknya lirih, mendongak berusaha menahan tangisnya. Jika ia lemah lalu siapa yang akan menyemangati dan menjaga Qeila? Kena bukannya tidak bisa dipercaya tetapi sepupu iparnya itu sedang hamil, malahan butuh penjagaan juga.
Merasa Qeila sudah istirahat dengan baik, Benfa mengambil alat suntiknya keluar dari kamar. Membuang alat itu di tempat s****h lalu ikut duduk di samping Kena, perempuan hamil itu sedang menonton film.
"Kambuh lagi ya?" tanyanya melihat Benfa yang terlihat lelah.
"Hmm." balasan itu tak membuat Kena bertanya lagi, menikmati film yang sedang terputar.
"Padahal aku harus masuk tapi melihat kondisi Qeila kayak tadi membuatku tak bisa meninggalkannya. Aku bukannya tidak mempercayaimu hanya saja ak-"
"Aku paham, tidak perlu jelaskan." potong Kena disertai senyumannya, menatap Benfa sebentar sebelum kembali sibuk menonton.
"Kena." panggil Benfa.
Kena menoleh, "kenapa?" tanyanya.
"Kenapa harus ada kesedihan dan terluka kalau nyatanya kita masih bisa bahagia dengan cara lain? Kenapa harus terus menangisi kondisi itu padahal kita bisa menganggapnya angin lalu. Apakah memang sudah hukum alam?"
Perempuan hamil itu menyimpan keripik yang sejak tadi ia genggam, mengelus perutnya, "bukan hukum alam, Benfa. Tapi gimana ya, engga tau kamu paham atau tidak mengingat selama ini kamu tidak pernah mengalami hal rumit." Kena memiringkan badannya menghadap sepenuhnya pada Benfa.
"Kebahagiaan yang kamu maksud hanya akan ada di sumber kesedihan itu, banyak orang yang terus menerus berkabung karena banyak kehilangan kebahagiaannya. Jadinya mereka menyesal, dari sanalah pengandaian terus hadir." jawabnya, ia tertawa karena Benfa memasang wajah bingung.
"Konsepnya gini sepupu iparku, sama dia memang sakit tapi kalau engga sama dia malah lebih sakit. Melupakan dia memang jalan terbaik tapi proses melupakannya yang tidak ada, jalannya engga ada. Munafik kalau orang bisa melupakan seseorang, itu sama sekali engga ada," Benfa mengangguk paham,
"Bedanya, mereka bisa bermain dengan ekspresinya sendiri. Mereka bisa mengendalikan dirinya sendiri dari segala hal yang terjadi di masa lalu, mereka juga bisa terbiasa tanpa orang itu bukan melupakan. Kalau melupakan engga ada itu, orang kayak Qeila aja yang katanya amnesia masih bisa mengingat lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengidap amnesia?"
Kena tertawa kecil, memakan kripiknya kembali.
"Jadi, Qeila masih mengingat semua yang dulunya terjadi padanya?" ujarnya dengan berbisik, Kena mendekat memeluk Benfa dari samping.
"Kita hanya perlu berada di sampingnya, menemaninya bangkit kembali. Oke?" Kena tersenyum lagi, posisi duduknya ia perbaiki kembali fokus menonton film bergenre fantasi didepan sana.
Benfa ikut menatap TV itu tapi pikirannya sedang berperang. Ia memang sejak dulu jarang menghadapi masalah yang rumit karena kedua orangtua angkatnya selalu ada untuknya, memberinya banyak kebahagiaan.
Benfa juga seringkali mendengar cerita pasiennya tetapi saat keluarganya sendiri yang sakit malahan sulit untuk memahaminya.
"Aku mandi dulu," ujarnya, masuk kedalam tanpa menunggu respon Kena sama sekali.
Sesampainya didalam kamar memandang Qeila yang masih memejamkan matanya, lama efek obat bius itu adalah dua jam jadinya Qeila akan bangun dua jam kedepan. Melanjutkan jalannya kedalam kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil satu pakaian Qeila, asal tarik saja.
Dua puluh menit kemudian keluar dari kamar mandi dengan wajah fresh, Qeila masih tidur dengan lelap. Matanya tak sengaja menatap piring di meja, pasti Qeila malas membawanya ke dapur.
Menghidupkan hairdryer dan mengeringkan rambutnya dengan cepat, Mematikannya kembali setelah merasa cukup. Memandang Qeila sejenak sebelum mengambil piring tadi, berniat membawanya ke dapur.
Suara tawa Kena sangat jelas terdengar, Benfa tidak terlalu memperdulikan tetap lanjut ke dapur, ia menghela napas melihat tumpukan piring di wastafel jadinya ia cuci, Kena juga pasti lelah karena memasak begitu banyak menu.
Tak butuh waktu lama, wastafel kembali bersih tanpa adanya piring lagi disana. Benfa beralih memasukkan menu makanan yang tersisa kedalam lemari makanan, setelahnya baru keluar dapur duduk bersama Kena bersamaan dengan film yang berakhir.
"Suamiku sedang perjalanan kemari," beritahunya, hanya di balas Benfa dengan gumaman.
Kena juga ikut diam, mungkin sebaiknya ia mandi saja. Tanpa pamitan ia menuju kamar tamu memang sejak semalam tidur disana. Membersihkan diri sebelum suaminya datang, sebenarnya baru jalan itupun dari Bandung jadinya masih lama.
LDM memang sangat menyusahkan, tapi Kena bisa apa daripada membiarkan adik iparnya sendirian tanpa dipantau? Kena juga tidak pernah menganggap Qeila beban malahan kasihan padanya karena tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya sama sekali.
"Ken!" Kena yang tadinya siap masuk kedalam kemar mandi memutar balik badannya, membuka pintu kamar.
"Ada apa?" tanyanya setelah membuka pintu kamar.
"Aku mau keluar sebentar ke supermarket membeli beberapa cemilan juga bahan makanan. Minuman dingin juga tinggal dikit, kamu mau pesan sesuatu?"
Kena terlihat berpikir sebentar, "beli ayam dua ya, satu ikat kangkung kalau engga salah ingat sekitaran sini ada pasar itupun buka tiap hari. Kamu bisa kesana sekalian, beli bahan bakwan juga, sama bahan isian martabak telor. Kamu beli tomatnya di pasar aja, harganya oke."
Benfa menganggukkan kepalanya beberapa kali, "aku mana mungkin ingat semua itu bumil. Kamu ketik saja terus kirim nanti, oke?" Kena berdecak malas, mengusir Benfa agar segera pergi. Ia hanya tertawa, melambaikan tangannya pada Kena.
Pasar, Benfa datang.