Litani kembali ke kantor dengan perasaan dongkol. Dia bisa saja bersikap dramatis dengan mengamuk di depan Helena ketika karyanya dihina seperti itu. Namun hal itu tidak dia lakukan karena sikap profesionalisme yang dimilikinya sudah tertanam sejak kecil. Dia bukan tipikal orang yang suka mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Litani penasaran siapa yang dihubungi oleh Helena tadi ketika kembali dari ruang VIP restoran setelah pergi begitu saja dari ruangan itu.
Setelah meletakkan tas di ruangannya, Litani memutuskan pindah ke rooftop hendak mencari tempat yang nyaman untuk melampiaskan segala amarahnya hari ini. Sesampainya di rooftop Litani berteriak sejadi-jadinya di atas puncak gedung 20 lantai itu. Setelah pintu rooftop bisa dipastikan tidak akan ada siapa pun yang mendengar teriakannya di atas sini. Karena suara teriakannya terbawa oleh angin yang kebetulan cukup kencang siang ini. Tak lama kemudian beberapa karyawan naik ke rooftop. Ada yang sekadar menikmati kopi, merokok sambil mengobrol santai untuk menghilangkan penat sejenak. Mereka yang menemukan Litani berada di rooftop menatapnya diam-diam sambil saling berbisik dan bertanya soal keberadaan Litani di tempat ini.
“Lanjut aja ngerokok dan ngopinya. Saya nggak akan laporan ke bos cuma gara-gara mergokin kalian santai-santai di jam kerja,” ujar Litani merasa beberapa pasang mata tengah mengawasinya.
Mereka tidak dapat menahan diri untuk berkata dengan emosi. “Gue denger lo yang dapat job buat ngehandle acara fashion show Helena Kusworo? Desainer fashion papan atas yang sekarang kelihatannya cukup dekat dengan Pak Kaivan itu,” tegur salah salah satu karyawan yang usia dan kariernya di NAKA sepantaran dengan Litani.
Litani bersikap rendah hati dan pendiam seperti biasanya. Sambil tersenyum dia berkata, “Iya, kenapa? Lo mau gue alihin tender itu?” tanya Litani malas kemudian meneguk minuman soda bebas gula yang tersisa setengah kaleng.
“Gue akui lo cukup berani menerima tender itu. Helena Kusworo perfect and details abis orangnya. Dan dia terkenal pengeluh. Sekali lo kelihatan mines di matanya, maka perusahaan konstruksi di seantero Jakarta ini akan tahu kalau lo arsitek yang nggak punya kapasitas apa pun.” Arsitek yang kini tengah berbicara dengan Litani sedikit khawatir.
“Selain anak salah satu old money, gue dengar backing-nya juga kuat,” celetuk yang lainnya.
“Oh, ya? Gue kira orang kaya sudah nggak butuh backing vokal lagi karena backing vokal yang sebenarnya adalah harta, tahta dan kekuasaannya. To the point aja, siapa backing Helena maksud lo itu?”
“Gue juga nggak begitu tahu pasti. Tapi ada yang bilang Helena ada hubungannya dengan keluarga Naratama,” ujar senior arsitek itu berbisik lirih ketika menyebutkan nama Keluarga Naratama.
Mendengar bahwa Helena ada hubungannya dengan keluarga Naratama, semua orang yang ikut menjadi pendengar obrolan antara Litani dan senior arsitek NAKA yang lain menunjukkan wajah cukup takut.
Keluarga dengan latar belakang misterius dan kuat itu, bahkan ketika membicarakannya di belakang mereka, semua orang harus bersikap hati-hati agar tidak menimbulkan masalah yang tidak diinginkan bagi diri mereka sendiri.
Didorong rasa ingin tahu, seseorang bertanya dengan suara rendah, “Pak Kaivan yang ada di belakang Helena?”
“Pasti yang lebih kuat dari Pak Kaivan karena Pak Kaivan sendiri seperti nggak berkutik di depan Helena. Gue pernah ikut meeting mereka sekali. Nggak nyangka wanita yang memiliki paras lembut seperti tokoh-tokoh dalam cerita-cerita kartun Disney itu memiliki mulut setajam silet. Kalah Maleficent. Gue yakin perempuan kayak Helena bukan tipenya Pak Kaivan.”
Di mata masyarakat, perilaku keluarga Naratama sangat rendah hati dan terkenal sebagai pengikut katolik yang taat beribadat. Hampir seluruh anggota keluarga diselimuti tabir misteri dan sangat sedikit berita tentang keluarga itu di dunia luar. Mereka semua memikirkan siapa yang bisa menjadi paling dekat dengan Helena saat ini.
“Menurut lo siapa? Ya, kali pimpinan ngurusin perkara receh kayak begini,” celetuk salah satu junior arsitek yang ikut nimbrung.
“Keluarga Naratama itu ada beberapa generasi. Dan Pak Kaivan itu generasi keempat. Sampai sekarang ada generasi ketiga yang nggak diketahui keberadaannya. Katanya orang itu sangat kompeten dan digadang-gadang akan jadi pimpinan NAMA Group selanjutnya. Katanya pihak direksi dan pemegang saham lebih percaya masa depan NAMA Group berada di tangan dia, Tapi nggak pernah ada berita soal anak kedua dari pendiri NAMA Group itu. Jadi ya, kemungkinan yang berada di belakang Helena dan perusahaan keluarga hanya dua orang, kalau nggak Pak Kaivan ya pamannya itu. Ya, nggak, Lit?”
“Apaan? Mana gue tahu. Gue bukan pemerhati keluarga Naratama. Gue cuma kebetulan beruntung bisa bekerja di salah satu anak perusahaan NAMA Group.”
“Rumor yang beredar lo punya hubungan lebih. Bukannya elo yang dimaksud media sebagai salah satu anggota keluarga Naratama yang nggak diakui?”
“Lawak banget lo. Dahlah, gue mau balik kerja lagi. Ngerokoknya jangan lama-lama gue butuh draft RAB tender baru lo. Jangan bikin gue lembur malam ini,” ujar Litani mengingatkan sebelum meninggalkan rooftop.
Ketika dirinya mulai dikait-kaitkan dengan keluarga Naratama, Litani tidak bisa menahan diri. Dia bangkit dari bangku panjang, berjalan pergi dan berhenti mendengarkan gosip orang-orang di kantor. Ketika perjalanan kembali ke ruangannya Litani sempat memikirkan kembali salah satu ucapan senior arsitek tadi, soal Helena bukanlah tipe Kaivan. Tentu saja karena Litani tahu Kaivan lebih suka pada perempuan yang penurut, tidak membangkang dan mudah dikendalikan di bawahnya, seperti Litani. Sementara Helena karakter yang ada di dalam diri perempuan itu pasti tidak disukai oleh Kaivan. Jika sampai ada rumor soal hubungan mereka, Litani yakin pasti ada pihak yang menggerakkan media untuk memberitakan soal kedekatan keduanya. Dan Litani yakin ada sesuatu hal besar di balik kedekatan Kaivan dan Helena.
Sebenarnya Litani malas membicarakan hal-hal yang sifatnya hanya gosip atau berita yang belum jelas kebenarannya. Namun ketika semua orang mulai membicarakan soal Helena rasanya jika tidak ada yang ikut membicarakan tentang Helena di kantor NAKA akan ditakdirkan menjadi terintimidasi dan dicap sebagai pembelot karena dianggap membela orang yang tidak disukai oleh orang-orang seantero NAKA. Hukum alam yang berlaku di kantor ini memang seperti itu. Litani korbannya. Tapi Litani pintar dia memiliki prinsip yang boleh mengintimidasinya hanyalah anggota keluarga Naratama. Dia tidak mau ada orang yang bisa menginjak-nginjak harga dirinya, sekalipun itu Helena.
Saat ini objek penelitian Litani adalah Helena. Hanya subjek survei saja. Dan orang-orang kaya seperti Helena tidak perlu dikhawatirkan akan bersaing dengannya dalam memperebutkan hati Kaivan. Litani hanya ingin tahu sudah sejauh mana Kaivan berniat berpaling darinya. Benarkah karena benar-benar tertarik pada Helena? Atau ada sebuah rahasia yang ditutup-tutupi oleh Kaivan darinya.
Beberapa hari kemudian NAKA mendapat sebuah undangan makan malam yang diadakan sebuah event organizer dari kurir pengantar paket. Amplop itu tidak memiliki alamat pengirim dan ditujukan untuk General Manager NAKA. Litani tidak ingat pernah menjalin kerja sama dengan EO tersebut. Kaivan sendiri tadi pagi pergi ke Palembang untuk meninjau proyek pembangunan sebuah pusat perbelanjaan di salah satu kota besar di Pulau Sumatera itu. Litani kemudian menghubungi Kaivan untuk membicarakan soal undangan itu.
“Kamu saja ya, yang datang ke acara itu mewakili aku. Aku sudah membicarakannya dengan direktur. Katanya kamu arsitek yang paling tepat menjadi perwakilan NAKA. Siapa tahu di momen itu NAKA semakin dikenal. Biasanya makan malam seperti itu dihadiri oleh perusahaan-perusahaan properti besar. Kamu coba dekati mereka dan tawarkan kerja sama yang menarik.”
“Tapi aku nggak mungkin datang sendiri. Boleh aku ajak Meghi?”
“Lebih baik kamu datang sendiri, Lita. Supaya nanti lebih enak ngobrolnya seandainya ada sesuatu yang sifatnya rahasia. Lagian kalau kamu mengajak Meghi, akan menimbulkan kecemburuan sosial nantinya.”
Litani mengangguk setuju pada pendapat Kaivan. “Aku pikir-pikir lagi kalau gitu,” jawab Litani. “Kamu sampai kapan di Palembang?”
“Mungkin tiga atau empat hari ke depan. Aku baru berangkat tadi siang dan kamu sekarang sudah bertanya soal kepulanganku? Apa sudah begitu merindukanku?” goda Kaivan.
“Nggak ada salahnya kan, merindukan pacar sendiri?”
Kaivan tertawa renyah. “Nggak salah kok. I miss you too, Lita. Semoga pekerjaan di sini bisa segera diselesaikan. Jadi aku nggak perlu lama-lama ninggalin kamu.”
“I hope soon. Kamu hati-hati di jalan ya. Aku mau siap-siap pulang.”
“Oke, you too. Aku mencintaimu, Lita.”
“Aku juga, Van.”
Sambungan telepon diakhiri oleh Litani. Dia tidak lantas bersiap untuk pulang. Tatapannya kembali pada undangan yang hanya sebesar amplop itu. Dia meraih kembali undangan tersebut. Membaca kembali keterangan yang ada di undangan itu. Awalnya Litani enggan datang ke acara misterius seperti itu. Namun hatinya tergerak untuk tetap datang ke acara itu karena kebetulan di hari H acara dia tidak memiliki jadwal apa pun setelah pulang dari kantor. Yang dikatakan oleh Kaivan juga ada benarnya. Kesempatan ini sangat langka. Litani pernah dengar soal makan malam tertutup yang hanya diadakan satu tahun sekali itu. Akan banyak dihadiri oleh tokoh-tokoh besar dan berpengaruh dari berbagai jenis kalangan bisnis juga di sana. Termasuk anggota keluarga Naratama tentunya. Sudah cukup lama dia tidak bertemu anggota keluarga angkatnya itu. Mereka pasti terkejut melihat kehadiran Litani di acara bergengsi itu.
~~~
Melalui orang kepercayaan Pak Wira Rafel berhasil mendapatkan undangan pertunangan mantan kekasihnya yang tertutup untuk umum. Undangan yang kini ada di tangannya itu sangat tidak meyakinkan kalau itu sebuah undangan pertunangan anak seorang konglomerat lama. Tidak ada nama calon mempelai di undangan itu. Hanya sebuah undangan makan malam yang diadakan oleh sebuah event organizer terbesar yang biasa membuat acara-acara bergengsi di ibukota.
“Pak Wira yakin ini undangan pertunangan Helena?” tanya Rafel tidak yakin sambil membolak balik undangan di tangannya.
“Iya, itu undangan pertunangan berkedok undangan makan malam. Dalam acara makan malam itu nanti akan diadakan pengumuman pertunangan Helena.”
“Dengan siapa?”
“Tidak ada yang tahu.”
“Sepayah itu orang kepercayaanmu mengumpulkan informasi?”
“Undangan itu hanya ditujukan untuk perusahaan-perusahaan besar saja. Kalau orang kepercayaan saya payah, bagaimana dia bisa mendapatkan undangan yang sifatnya unlimited itu?”
Rafel tertawa. “Jangan terlalu serius. Nanti Pak Wira cepat tua,” candanya.
“Maaf, tapi saya memang sudah tua.”
Keduanya lalu tertawa bersama. Seolah ada magnet yang menarik pandangan Rafel ke arah jendela membuatnya refleks menoleh dan pandangannya tertuju ke bawah. Tepatnya ke arah pintu masuk butik Helena. Rafel meminta Pak Wira untuk datang mendekat ke arahnya.
“Ada seorang laki-laki berperawakan seperti saya memasuki butik Helena. Bisa Pak Wira cari tahu siapa laki-laki itu?” ujar Rafel bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari arah jendela.
“Mungkin seorang pelanggan,” jawab Pak Wira enteng. “Atau bodyguard.”
“Selama saya di sini tidak ada laki-laki yang datang sendiri ke butik fashion khusus wanita itu. Kalaupun ada laki-laki yang datang, mereka tidak sendiri. Rata-rata bersama perempuan. Kalau perempuan datang sendiri sudah wajar. Bodyguard saya rasa juga bukan.”
“Sekarang?” tanya Pak Wira.
“Tahun depan, Pak,” jawab Rafel jengkel.
“Baiklah. Jangan terlalu serius, nanti kamu cepat tua, Rafel.”
Rafel menoleh lalu melempar pandangan kesal pada Pak Wira. Tanpa banyak cakap Pak Wira buru-buru meninggalkan Rafel dan keluar kamar untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rafel padanya.
Sementara itu Rafel masih terus menatap ke arah butik Helena. Perasaannya tidak menentu. Ingin rasanya dia turun sendiri dan menghampiri butik mantan kekasihnya itu untuk mencari tahu siapa laki-laki yang datang sendiri ke butik itu. Rafel menunggu dengan gelisah selama hampir setengah jam. Pak Wira belum kembali dan laki-laki tadi belum juga keluar dari butik itu.
Ponselnya berdenting beberapa kali, menandakan beberapa chat masuk secara beruntun, laki-laki yang tadi masuk ke butik Helen keluar dari butik. Sial, Rafel tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu. Karena sebuah mobil box tiba-tiba lewat di depan butik. Setelah mobil box berlalu, laki-laki itu sudah tidak tampak.
Dengan langkah jengkel Rafel mendekat ke arah meja yang terletak di tengah-tengah kamar. Dia meraih ponsel di meja lalu duduk di pinggiran ranjang. Beberapa foto dikirim oleh Pak Wira. Foto laki-laki yang masuk ke butik Helena dan menarik perhatian Rafel. Karena hanya bermodalkan kamera ponsel Rafel tidak bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki yang memakai topi dan sunglasses.
Pak Wira: “Saya tidak terlalu yakin. Tapi saya merasa familier pada laki-laki di foto-foto itu.”
Rafel Andamas: “Menurutmu siapa?”
Pak Wira: “Kalau kamu benar-benar penasaran lebih baik datang saja ke acara makan malam itu.”
~~~
^vee^