4. Firasat Perempuan

2935 Words
Ini adalah hujan di bulan pertama musim hujan tahun ini. Cuacanya tampak buruk, langit gelap dan udara terasa lembab. Terdengar suara pengumuman dari pusat informasi yang menyatakan bahwa seluruh penerbangan ke Jakarta hari ini ditunda sampai cuaca membaik. Karena menurut BMKG kondisi di atas langit Jakarta dan sekitarnya sedang terjadi badai dan akan berpengaruh buruk jika memaksakan untuk terbang saat ini. “Delayed, Bu…” ujar Meghi, personal asisten Litani yang ikut menemani Litani selama proyek di Samarinda. “Iya, Meg. Dipaksain terbang nanti kalau ada apa-apa pihak maskapai dan bandara yang disalahkan.” “Ya, itu. Tapi lumayan lama kayaknya, Bu. Bisa dua sampai tiga jam.” “Oh, ya? Lama juga ya. Tapi lihat cuaca di luar emang agak ngeri sih buat melakukan penerbangan.” Hari ini adalah hari terakhir Litani mendampingi proyek pembangunan Distorsi Hotel di Samarinda. Tidak terasa sudah tiga puluh hari dia berada di salah satu kota besar yang ada di Kalimantan itu. Harusnya dia kembali ke Jakarta kemarin, tapi karena ada beberapa sudut penting yang kurang rapi dia menunda kepulangannya sampai pihak konstruksi membuat sesuai dengan yang telah digambar Litani dalam desainnya. Jadilah dia pulang ke Jakarta hari ini. Sebenarnya dia ingin ikut penerbangan pertama. Namun karena semua tiket penerbangan dari beberapa maskapai yang beroperasi di bandara Samarinda sudah full booked untuk penerbangan pertama hari, Litani harus puas mendapatkan tiket dengan penerbangan agak siang. Tidak mengapa yang penting dia sudah bisa ada di Jakarta maksimal sampai sore ini. “Ibu mau makan siang apa?” tanya Meghi menawarkan pada atasannya itu. “Yang ringan-ringan aja, Meg. Saya takut kalau makan makanan berat di pesawat nanti sakit perut.” “Kan, ada tolietnya, Bu.” “Meskipun begitu, rasanya kurang gimana gitu ya kalau buang hajat di pesawat,” jawab Litani sambil tertawa geli pada ucapannya sendiri. “Jadi Bu Litani mau dipesanin apa?” “Roti atau donut aja boleh. Kopi jangan lupa, ya. Mata nggak kuat melek, nih.” “Siap, Bu.” Kemudian Meghi bangkit berdiri dari samping Litani dan melangkah menuju foodcourt yang berada di dalam areal bandara. Setelah mengantri sebentar Meghi kembali dengan membawa pesanan Litani. Bertepatan dengan itu Litani menerima nada notifikasi khusus di ponselnya. Meghi sudah berada di samping Litani dan bisa melihat deretan nama yang tertera di ponselnya. “Mas Pacar?” Litani tanpa sadar menyingkirkan ponselnya. Dia tersenyum penuh arti pada Meghi. Setelah mengucap terima kasih atas makanan dan minuman yang dibawakan oleh Meghi, Litani memutuskan menjauh dari gadis itu untuk menerima panggilan telepon di ponselnya. Sambil memegang ponsel, Litani melihat ke langit, beberapa tetes hujan turun membasahi kaca besar di samping tubuhnya saat ini. “Hallo, Sayang?” sapa Litani setelah melihat ke sekelilingnya sebelum menerima panggilan telepon itu. “Kamu masih di bandara?” tanya Kaivan yang menghubungi Litani lebih dulu. “Iya, delayed. Ada badai di langit kota Jakarta dan sekitarnya.” “Iya, di sini juga hujan deras sejak jam sebelas tadi. Petir sama angin kayak saut-sautan gitu. Ngeri parah.” “Oh, ya, pantes delayed. Kamu udah makan?” tanya Litani menutup pembahasan soal cuaca dan suasana langit siang ini dari tempat masing-masing. “Sudah. Kamu sendiri udah makan, Lita Sayang?” Kaivan balik bertanya. Semburat merah muda keluar dari pipi Litani mendengar Kaivan menyebut sapaan kesayangannya itu dengan penuh kelembutan. “Sarapan aja. Makan siang gampang deh. Ini aku ganjel pakai roti dan kopi,” jawab Litani sambil memegang salah satu pipinya. “Oh… Kamu langsung pulang ke rumah dari bandara?” “Tentu saja, Sayang. Memangnya aku mau ke mana lagi?” “Kali aja mau langsung ke supermarket belanja-belanja bahan masakan untuk masakin sesuatu buat aku.” “Bilang aja pengen dimasakin,” canda Litani. “Maksudnya gitu,” ujar Kaivan tertawa terbahak setelahnya. “Ya, udah. Nanti begitu nyampe Jakarta aku mampir supermarket belanja bahan-bahan masakan kesukaan kamu.” “So sweet. Makasih ya,” ujar Kaivan dengan mesra. “Sama-sama, Sayang.” Lalu panggilan telepon diakhiri secara sepihak oleh Litani. Meskipun hujan badai bila Kaivan yang meminta dimasakkan sesuatu, Litani pasti akan berangkat ke supermarket untuk membeli bahan-bahan untuk membuat makanan yang diinginkan oleh Kaivan saat itu. Litani memang pandai memasak. Ketika dia belajar, jika Kaivan sedang dihukum tidak dapat jatah makan malam tambahan oleh ibunya karena tidak bisa mengerjakan soal-soal latihan maka Litani adalah pelariannya. Litani pasti akan dengan senang hati membagi makanannya untuk Kaivan yang memang tidak bisa makan sekali setiap kali waktu makan. Kaivan selalu menyukai dan memuji masakan Litani. Apa pun yang dimasak Litani pasti akan cocok di lidahnya. Meski itu adalah memasak makanan yang paling tidak disukai oleh Kaivan. Semua olahan kentang. Waktu yang mereka habiskan bersama sangat lama, bukan satu atau dua tahun, sehingga Litani punya feeling yang tepat pada Kaivan jika laki-laki itu melakukan sesuatu. Seperti yang terjadi selama satu bulan terakhir. Sekuat apa pun Kaivan menyembunyikan hal-hal yang tidak boleh diketahui oleh Litani, akan bisa dirasakan oleh gadis itu. Sebenarnya Kaivan adalah laki-laki yang baik dan penuh perhatian. Kaivan tidak pernah membiarkan Litani kehujanan. Jika jam pulang sekolah dalam keadaan hujan, Kaivan pasti akan datang menjemputnya tanpa perlu Litani menghubunginya. Bila tangannya terluka ketika sayuran saat masak, maka Kaivan akan panik dan segera mencari cara untuk mengobati luka di tangan Litani. Hal-hal sederhana seperti itu yang membuat Litani jatuh hati pada Kaivan. Sikap Kaivan banyak mengalami perubahan semenjak mereka berdua sama-sama beranjak dewasa. Kaivan tumbuh menjadi sosok laki-laki yang terlalu ambisius menurut Litani. Terlalu keras dalam menggapai sesuatu. Apalagi sejak Kaivan harus melalui proses perekrutan layaknya calon karyawan baru di perusahaan keluarganya sendiri. Tujuan orang tuanya sebenarnya baik, untuk mendidik Kaivan menjadi laki-laki mandiri. Namun tanggapan Kaivan salah karena menganggap hal itu tidak layak untuknya sebagai cucu laki-laki satu-satu keluarga Naratama dan dikabarkan sebagai calon pewaris harta dan kekayaan NAMA Group. Sentuhan Meghi di tangannya mengembalikan ingatan Litani dari masa lalu yang indah bersama Kaivan. Masa di mana yang dipikirkan keduanya hanyalah bagaimana caranya besok bisa menyambut hari dengan penuh senyuman. Tidak seperti sekarang yang mereka pikirkan hanyalah harta dan pekerjaan. “Waktunya boarding, Bu,” ujar Meghi. Litani bangkit dari bangku ruang tunggu bandara. Mengikuti langkah Meghi yang sedang mendorong troli berisi koper-koper dan barang-barang bawaan mereka yang lain. Pikirannya sedang tidak menentu saat ini. Dia sering terjebak pada lamunan-lamunan singkat tapi butuh orang lain untuk membuatnya sadar kalau dirinya sedang berada di tempat yang tidak tepat untuk melamun. Pesawat mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Litani sedikit kecewa karena Kaivan membatalkan janjinya untuk menjemput di bandara dan hanya mengirim mobil jemputan untuk Litani. Litani hanya mendesah pelan setelah menerima balasan pesan singkat dari Kaivan. Litani tidak langsung pulang ke rumah mendiang orang tua angkatnya. Dia mampir supermarket untuk membeli bahan-bahan keperluan untuk memasak masakan favorit Kaivan. Di luar hujan masih turun dengan derasnya. Namun Litani memaksakan diri untuk mampir ke supermarket. Langkah ringannya membawa ke spot favoritnya, rak berisi sayuran segar dan jarang ditemui di pasar tradisional. Setelah memilih beberapa macam sayur, buah, daging, ayam potong, ikan segar dan bumbu-bumbu dapur yang dibutuhkan, Litani memutuskan segera mendorong troli belanjanya menuju kasir untuk membayar semua belanjaannya. Di samping kasir ada lemari es berisi berbagai jenis minuman ringan dalam berbagai kemasan. Litani mengambil beberapa kaleng minuman soda bebas gula. Tiba-tiba seperti ada magnet yang menarik pandangan matanya dari arah lemari es. Dia melihat ada perempuan sedang merangkul lengan laki-laki di sampingnya. Jarak mereka cukup jauh jadi Litani tidak yakin kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang sama dengan yang sedang ada di dalam pikirannya. “Aku benar-benar kangen sama Kaivan. Sampe-sampe mengira laki-laki itu kekasihku,” gumam Litani kemudian tersenyum sendiri. Dia segera mengenyahkan pikirannya yang dipenuhi oleh bayang-bayang sosok Kaivan. Sesampainya di rumah Litani meminta salah satu pekerja di rumah untuk membereskan semua belanjaannya sementara dia berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai agar bisa memasak dengan bebas tanpa perlu takut mengotori bajunya. “Nggak istirahat dulu, Non?” tanya ART bernama Mila itu sambil menerima kantong belanjaan dari tangan Litani. “Nanti aja sekalian tidur. Aku mandi dulu ya. Minta tolong kupasin bawang-bawang ya, Bik. Sama iga sapi itu tolong dibersihin dan dimasak. Kalau yang lain masukin kotak-kotak kayak biasanya aja,” ujar Litani kemudian melangkah menuju kamarnya. Dulunya rumah ini memiliki banyak sekali pekerja dengan masing-masing tugasnya. Namun semenjak kedua orang tua angkat Litani meninggal dunia, semua fasilitas apa pun yang ada di rumah ini ditarik oleh Haidar. Litani hanya boleh menempati rumah ini sampai menikah saja sesuai dengan isi surat wasiat Hikmah Naratama tanpa bantuan sepeserpun untuk biaya perawatan rumah ini. Akhirnya karena harus membiayai perawatan rumah yang membutuhkan biaya tidak sedikit hanya dengan mengandalkan gajinya saja, Litani hanya mampu mempekerjakan satu ART dan satu tukang kebun yang dianggapnya paling setia dan bisa dipercaya oleh Litani. Sudah pukul delapan malam, sup iga buatan Litani sudah siap, tulang dan dagingnya renyah dan lezat. Namun sampai detik ini Kaivan belum datang. Sampai hidangan yang telah tersaji di meja makan dingin Kaivan bahkan tidak memberi kabar jadi datang atau tidak pada Litani. Hujan hanya berhenti turun beberapa menit. Lalu kini kembali deras seperti saat Litani menginjakkan kakinya di Jakarta. Litani meminta Mila supaya beristirahat saja. Dia sendiri yang akan memanaskan makanan di microwave jika Kaivan sudah datang nanti. Dia sendiri memutuskan menunggu Kaivan di kamar saja. Sekitar pukul sembilan malam terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Litani terkejut mendengar ketukan itu kemudian melihat jam di layar ponselnya. Dia segera bangkit dari kasurnya untuk melihat siapa yang datang. “Ya, Bik?” tanya Litani dengan suara parau. “Ada Den Kaivan di bawah, Non.” “Oke, tolong bilangin aku ganti baju dulu.” “Baik, Non.” Litani mengganti bajunya secara singkat. Untungnya tadi dia sudah sempat menyiapkan pakaian yang akan digunakan untuk menyambut Kaivan sebelum ketiduran sambil memegang ponsel. Jadi sekarang dia tidak perlu repot-repot berdiri di depan lemari pakaiannya untuk memilih baju lagi. “Vaaan!” seru Litani kemudian menghambur ke pelukan Kaivan yang kini berdiri di samping jendela besar rumah yang notabene rumah kakek dan neneknya sambil memandang tetesan hujan yang jatuh di sela kaca. “Hey,” jawab Kaivan dengan nada bicara yang terlalu datar untuk seorang kekasih yang sudah tidak saling bertatap muka secara langsung selama 30 hari. “I miss you so much,” ujar Litani memeluk erat pinggang Kaivan tanpa memedulikan perubahan nada bicara Kaivan yang terdengar biasa saja melihat dirinya. “Me too,” jawab Kaivan lalu mengusap punggung Litani. Dia kemudian lebih dulu mengurai pelukan Litani dan tersenyum tipis ketika melihat wajah Litani. “Malam banget datangnya? Tadi katanya jam tujuh udah bisa sampai sini?” tanya Litani dengan wajah pura-pura cemberut. “Iya ada klien penting datang ke kantor. Mau ditinggal juga nggak enak. Kali aja bisa datengin tender gede.” “Ya, sih. Kamu tunggu sini ya. Aku panasin masakannya dulu supaya kamu bisa makan. Ten minutes!” ujar Litani kemudian berbalik badan dari hadapan Kaivan. “Nggak usah, Lita. Aku udah makan tadi di kantor. Sama klien. Nggak enak mau nolak.” “Gitu ya? Padahal aku masak sup iga favorit kamu.” Kali ini wajah Litani benar-benar sedih. “Mau gimana lagi. Sup iganya aku bawa pulang aja.” “Beneran mau? Dimakan loh, ya? Takutnya kamu lupa trus ketinggalan di mobil sampai besok baru inget kalau ada makanan buatanku di dalam mobilmu.” “Nggak lupa. Kamu ingetin aja nanti kalau aku udah sampai rumah.” “Ya sudah, kalau gitu biar aku minta Bik Mila bikinin teh buat kamu.” “Nggak usah, Lita. Tadi aku juga udah nolak waktu ditawarin sama Bik Mila. Lagian aku cuma bentar aja di sini. Udah malem ini.” “Ya, ampun… Aku tuh kangen banget sama kamu, Van. Emangnya kamu nggak kangen ya sama aku? Buru-buru banget pulangnya,” protesnya. “Bukan buru-buru, Lita. Tapi memang kondisinya nggak memungkinkan buat aku berlama-lama di sini. Mana hujan deras. Aku takut aja menimbulkan masalah kalau ada yang lihat laki-laki masuk rumah yang hanya dihuni perempuan single malam-malam tanpa ikat apa pun.” Akhirnya Litani tidak mendebat lagi keputusan Kaivan. Laki-laki itu hanya bertahan di rumah ini tidak lebih dari setengah jam. Kaivan hanya bercerita singkat soal memenangkan sebuah tender besar. Setelah berada di lingkungan bisnis Litani merasa Kaivan terlalu menggebu-gebu dan kurang tepat dalam memilih tender. Bahkan seolah-olah semua tender ingin diambil oleh NAKA tanpa memedulikan esensi dari sebuah desain bangunan. Kaivan sering mengubah dan mengganti material yang digunakan dalam membangun sebuah proyek bangunan yang sedang dikerjakan oleh NAKA, dimana bahan material yang digunakan untuk konstruksi bangunan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh klien seperti yang tertera di kontrak kesepakatan. Tak hanya itu saja demi memperkecil pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan Kaivan menghalalkan berbagai macam cara yang tidak benar, salah satunya mengubah konstruksi yang telah susah payah diciptakan oleh departemen arsitektur menjadi lebih sederhana tapi tidak aman terutama untuk bangunan yang memiliki ketinggian lebih dari dua lantai. Hanya segelintir orang yang tahu perbuatan Kaivan, salah satunya Litani. Namun Kaivan marah besar setiap kali Litani mencoba mengingatkan kekasihnya itu untuk berhenti. “Aku akan benar-benar sibuk akhir-akhir ini,” ujar Kaivan sesaat sebelum berpamitan pulang. “Aku sudah menjanjikan kenaikan laba lebih dari 50% dari tahun sebelumnya pada Papi. Sementara bulan di tahun ini hanya tinggal tiga bulan lagi menuju pergantian tahun.” “Kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri, Van. Dalam bisnis untung rugi itu soal biasa. Nggak melulu harus untung dan naik terus setiap tahunnya.” “Kamu itu nggak ngerti maksud aku ya? Aku gini juga demi apa? Aku ingin menunjukkan pada pihak management kalau aku layak menjadi direktur utama Naratama Karya. Posisiku dalam daftar ahli waris NAMA Group sedang dipertaruhkan, Lita. Dewan direksi sedang merapatkan ulang untuk memilihku sebagai direktur utama NAKA kalau akhir tahun ini laba perusahaan nggak naik lebih dari 50% dari tahun sebelumnya. Aku dengar dewan direksi juga sedang mencari keberadaan pamanku yang seharusnya dialah yang menjadi pemimpin selanjutnya dari NAMA Group. Hampir sebagian besar anggota dewan direksi membicarakan pamanku yang katanya sangat kompeten itu. Harusnya sebagai kekasih kamu dukung aku. Bukannya ngasih nasehat yang seperti itu.” Litani mendesah pasrah. Dia tidak lagi mendebat. Karena pasti akan berakhir pertengkaran seperti yang sudah-sudah. Dia sendiri juga tidak mengerti soal alur ahli waris dalam NAMA Group. Tidak jelas siapa yang pada akhirnya akan mewarisi hak dan siapa yang akan menjadi penerus kursi kepemimpinan tertinggi NAMA Group. Dulu sekali bertahun-tahun yang lalu, Litani memang pernah tahu bahwa Paman yang dimaksud oleh Kaivan tadi yang tak lain adalah kakak angkat Litani yang menghilang secara misterius serta terlihat lebih unggul dari Kaivan dalam segala bidang. Tetapi hingga kini keberadaan lelaki yang disebut ‘bocah tua’ oleh Litani itu tidak jelas. Tidak ada satupun yang tahu dimana posisinya saat ini. Masih hidup atau sudah tinggal namanya saja. Keluarga Naratama telah benar-benar melupakan anak laki-laki itu. Terakhir kali Litani melihatnya ketika laki-laki itu berusia 20 tahun, sementara Litani masih berusia 15 tahun. Dia belum terlalu begitu mengerti apa-apa saat itu akan persoalan rumit di dalam keluarga angkatnya dan alasan laki-laki itu tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali sampai detik ini. Litani tersadar dari lamunannya yang tiba-tiba saja terbayang pada sosok laki-laki berusia 20 tahun yang diberi sebutan Bocah Tua olehnya dulu karena sifat dan karakternya terlalu tua untuk usianya yang masih sangat muda, saat mendengar suara dering ponsel dari saku celana Kaivan. Litani sedikit mendekat ke arah Kaivan ketika kekasihnya itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Di layar ponsel Kaivan, ada kontak penelepon dengan nama HELENA muncul. Setelah melihat sekilas, Kaivan menerima panggilan tersebut. Aksinya cepat dan tenang. Sama sekali tidak menunjukkan gelagat panik apalagi sedang menyembunyikan sesuatu setelah menerima panggilan telepon tersebut. Dia hanya menjawab dalam gumaman kemudian mengakhiri sambungan telepon begitu saja. Dalam keadaan gamang Litani masih duduk sambil merangkul lengan Kaivan, bersikap biasa saja seolah tidak baru saja melihat hal yang mencurigakan dan bertanya santai, “Siapa yang telepon? Klien yang tadi kamu temui?” Padahal dalam hatinya ada berbagai pertanyaan yang ingin diutarakannya pada Kaivan dan hatinya berkata sesuatu yang besar pasti ada kaitannya dengan id penelepon bernama Helena itu. “Bukan. Aku pamit sekarang ya. Aku ngantuk banget. Besok ada meeting pagi.” Kaivan tiba-tiba bersuara rendah, menggosokkan dagunya di atas puncak kepala Litani. “Kamu besok cuti kan?” “Iya, aku minta libur sehari sama HRD,” jawab Litani mencoba tenang. Kaivan tersenyum sambil mengusap wajah polos Litani yang tanpa riasan sedikitpun. Sehari-hari pun Litani jarang mengenakan riasan terlalu berlebih. Dia lebih suka gaya make up no make up look. Jadi warna-warna favorit untuk make up pilihannya cenderung ke arah nude. Gadis itu balas tersenyum polos. Seperti ada benda tumpul yang menghujam jantung Kaivan melihat senyum tulus Litani. Ada rasa bersalah yang teramat besar tapi tak bisa ia sampaikan pada kekasihnya itu. Dia menundukkan kepalanya dan mencium kening Litani. “Aku mencintaimu, Lita.” Litani tersenyum bahagia. Hanya itu yang bisa diberikan untuk menanggapi ucapan Kaivan. Hatinya berkata untuk tetap tenang menghadapi isi kepalanya yang ingin keluar detik itu juga. Pernyataan Kaivan yang tiba-tiba dan id panggilan bernama Helena itu pasti ada kaitannya dengan firasat yang selama ini dirasakan oleh Litani selama berada di Samarinda. Litani hampir mengenal semua teman-teman Kaivan, baik yang dekat, kurang dekat bahkan yang tidak pernah dekat sama sekali, mengingat mereka berdua tumbuh bersama sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa. Ditambah lagi Kaivan kerap menjadikan teman-temannya dalam setiap topik pembicaraan dengan Litani. Hal itu yang membuat Litani secara tidak langsung mengenal teman-teman Kaivan sekalipun tidak pernah diperkenalkan secara langsung. Sementara nama Helena, sama sekali tidak pernah sekalipun disebut oleh Kaivan dalam setiap topik obrolan mereka. Hal itu semakin memperkuat keyakinan Litani bahwa telah terjadi sesuatu yang besar di antara keduanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD