Calista dan Adam sampai di rumah orang tua Adam, dan mereka disambut dengan hangat oleh Yuni, ibu kandung Adam dan Gino. Yuni terlihat sangat senang saat bertemu dengan Calista. Dia bahkan langsung mengajak Calista untuk masuk ke rumah bersamanya, sedangkan anak sulungnya dia abaikan. Namun Adam sudah tak aneh. Eksistensi dia dan Gino di mata sang ibu akan kalah kalau ada Calista. Entah kenapa Yuni sangat menyayangi Calista, melebihi sayang pada anak sendiri sepertinya. Namun Adam memaklumi, karena ibunya tidak memiliki anak perempuan dan mendambakan anak perempuan sejak lama.
"Mama sudah masak banyak khusus untuk calon menantu Mama yang cantik ini." Yuni berkata membuat Calista tersenyum malu-malu.
"Terima kasih banyak, Tante." Calista berucap dengan senyuman manisnya. Yuni langsung cemberut saat mendengar itu.
"Jangan panggil Tante. Mama saja," ucap Yuni. Calista tersenyum kecil mendengar itu. Setiap kali dia menyebut Yuni dengan sebutan Tante, pasti akan langsung diprotes.
"Baik, Mama." Calista membalas. Yuni tersenyum lebar mendengar itu. Dia lalu kembali menarik Calista menuju ruang makan dan menyuruh Calista untuk duduk. Di meja makan sudah terhidang berbagai menu yang semuanya terlihat mengguggah selera.
"Mama sudah menghubungi Gino dan berharap dia bisa ikut makan siang bersama kita di sini. Tapi dia bilang hari ini sangat sibuk karena banyak jadwal operasi." Yuni berkata seraya menyerahkan piring dan sendok pada Calista.
"Benarkah? Aku mencoba menghubunginya sejak pagi tapi panggilanku tak ada yang di jawab. Pesanku juga tidak di balas satu pun," ucap Calista. Alis Yuni bertaut tajam mendengar itu.
"Benarkah? Kok dia tega sih? Seharusnya dia bisa menyempatkan diri mengabarimu walau sesibuk apapun," protes Yuni, tak suka dengan sikap yang diambil anaknya.
"Tak apa, Ma. Mungkin sangat sibuk," balas Calista disertai dengan senyuman. Calista berusaha terlihat biasa saja di depan Yuni dan Adam, walau hatinya agak sedih juga. Gino bisa menjawab panggilan ibunya, tapi kenapa tidak bisa menjawab panggilannya? Bahkan membalas pesan pun tidak.
"Nanti kalau dia pulang Mama akan omeli dia. Mama gak mau ya kamu sedih karena tak dikabari sedetik pun olehnya. Sudah hal lumrah kan kalau perempuan itu perlu dikabari dan ditanya kabar juga," ujar Yuni. Calista tersenyum dan mengangguk, setuju dengan ucapan Yuni barusan. Ini adalah salah satu hal yang membuat hubungan Calista dan Gino sangat awet. Perlakuan Yuni yang sangat baik membuat Calista enggan lepas dari Gino. Kesempatan mendapatkan calon mertua yang baik tidak datang dua kali.
"Papa kemana, Ma?" Adam bertanya. Dia baru bersuara setelah Yuni dan Calista selesai bicara.
"Papamu ke rumah Pak RT. Ada urusan kecil," jawab Yuni. Dia lalu mengambilkan nasi untuk Adam dan juga Calista. Setelah itu Yuni duduk di samping Calista.
"Mama tak sabar deh menjadikan kamu menantu Mama." Yuni berucap dengan senyum yang sangat lebar. Dia terlihat bahagia sekali dengan kehadiran Calista di rumahnya.
"Doakan saja semoga rencana aku dan Gino terlaksana, Ma." Calista membalas dengan senyuman. Yuni mengangguk dan menyuruh Calista juga Adam untuk segera menyantap makanan sebelum semuanya dingin.
"Ma, besok aku dan Pak Adam akan berangkat ke Singapura karena urusan pekerjaan. Boleh minta tolong sampaikan kabar ini pada Gino? Aku mungkin akan sibuk berkemas nanti malam." Calista berkata pada Yuni. Entah kenapa, Calista merasa ada sesuatu yang janggal dengan sikap Gino yang beberapa bulan terakhir sulit sekali dihubungi. Jangankan untuk bertemu, bicara lewat telepon atau sekedar video call pun Gino selalu berkata tak ada waktu.
"Ke Singapura? Kok mendadak?" tanya Yuni heran.
"Nggak mendadak kok. Memang sudah dijadwalkan sejak minggu kemarin, Ma." Calista menjawab. Adam hanya diam saja dan menjadi pendengar. Masalah pekerjaan, Calista tahu segalanya. Jadi Adam tak perlu bersuara karena sudah ada Calista yang mewakilinya untuk menjawab.
"Baiklah. Nanti Mama sampaikan pada Gino kalau dia pulang. Karena sekarang dia sudah jarang pulang ke sini dan lebih sering menginap di rumah sakit," ujar Yuni. Calista terdiam lagi mendengar itu. Sesibuk itukah Gino sekarang? Sampai-sampai untuk tidur pun memilih menginap di rumah sakit?
Entah kenapa, perasaan Calista tentang Gino yang sulit dihubungi terasa semakin janggal. Orang-orang bilang, feeling seorang perempuan itu biasanya selalu tepat. Apakah memang benar ada sesuatu yang mungkin tidak Calista ketahui tentang Gino sekarang?
***
Hari sudah malam dan Calista kini berada di kamarnya sendiri. Dia sedang berkemas untuk keberangkatannya besok ke Singapura bersama dengan Adam.
Selama berkemas, sesekali Calista mengecek ponselnya, berharap Gino mengabari walau hanya lewat pesan saja. Namun nihil, tak ada panggilan atau pun pesan dari Gino. Bahkan pesan yang dia kirim sejak siang tadi pun masih belum terbaca. Sesibuk itukah Gino sampai tak sempat hanya untuk membaca pesan darinya?
Calista menghela nafas pelan seraya duduk di pinggir ranjang. Tangannya menggenggam ponsel dengan erat dengan mata menatap kosong ke arah dinding. Hubungannya dengan Gino dimulai sejak awal masuk kuliah dan bertahan sampai sekarang. Tak pernah ada kata putus di antara mereka dan hubungan mereka selalu baik-baik saja selama ini. Namun beberapa bulan terakhir, kurang lebih empat bulan ke belakang, Calista mulai merasakan perubahan sikap Gino.
Gino yang biasanya rajin mengabari mulai jarang memberikan kabar. Di telepon susah, pesan yang dikirim pun jarang di balas. Sekalinya di balas, singkat sekali dan butuh waktu yang lama juga.
Calista selama ini selalu berusaha tetap berpikir positif walau khawatir dan takut juga. Hubungan yang berjalan bertahun-tahun rentan sekali membuat jenuh yang menjalani. Calista takut Gino mengalami fase tersebut hingga mencari kesenangan yang lain. Namun saat Calista merasa curiga, Gino selalu datang mengabari dan meminta maaf atas kesibukannya. Popularitas dan jam terbang yang tinggi mendukung alasan yang selalu diberikan oleh Gino.
Lalu, salahkah kalau sekarang Calista merasa curiga pada pacarnya sendiri?
Saat sedang merenungi hubungannya, Calista dikejutkan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Dia menengok, dan ternyata kakak iparnya lah yang membuka pintu.
"Cal, kamu gak lagi sibuk kan?" Kakak ipar Calista bertanya seraya masuk ke dalam kamar Calista.
"Enggak, Kak. Aku baru saja selesai berkemas. Kakak belum pulang?" Calista bertanya seraya menatap kakak iparnya tersebut yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
"Kami menginap malam ini. Mama kangen tidur bareng cucunya." Calista tersenyum mendengar itu. Ya, Calista merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Calista memiliki seorang kakak laki-laki yang usianya selisih lima tahun dengannya. Kakak laki-lakinya yang bernama Alvin sudah menikah dengan seorang wanita bernama Tasya dan mereka juga sudah memiliki satu anak laki-laki berusia empat tahun.
"Mama bilang besok kamu berangkat ke Singapura dengan kakak Gino. Benar kah?" Tasya bertanya karena penasaran. Dan rasa penasarannya terjawab saat Calista mengangguk tanpa beban.
"Cie, jalan-jalan bareng bos." Tasya menggoda Calista, membuat Calista mendesis pelan.
"Apaan sih, Kak. Pak Adam kan kakaknya Gino." Calista berucap dengan sebal.
"Ya, bisa aja kan ada sesuatu gitu. Soalnya kamu malah lebih sering menghabiskan waktu dengan kakaknya Gino dari pada dengan Gino sendiri," ujar Tasya. Ucapannya memang benar dan masuk akal, namun jelas Calista menyanggah karena hubungannya dengan Adam tak lebih dari sekedar bos dan sekretaris saja.
"Hubunganmu dengan Gino bagaimana sekarang?" Tasya bertanya lagi seraya menatap Calista dengan lekat. Hubungan mereka sebagai ipar memang sangat baik. Selain menjadi ipar, kadang mereka juga menjadi teman curhat.
"Kurang baik sebenarnya, Kak. Aku merasa, akhir-akhir ini Gino berubah. Aku tahu dia sibuk, tapi dia memang berubah. Dia terlihat sulit sekali walau hanya untuk mengabari atau membalas pesanku." Akhirnya Calista memberanikan diri bercerita pada kakak iparnya tentang keadaan hubungannya dengan Gino sekarang.
"Mungkin dia punya selingkuhan. Makanya jadi jarang beri kabar," celetuk Tasya. Calista membelalak kaget mendengar itu.
"Kak!"
"Maaf, maaf. Tapi, bisa saja kan?" Tasya bertanya dengan sebelah alis terangkat. Calista menghela nafas pelan mendengar itu.
"Dia kerja di rumah sakit, dan kamu kerja di perusahaan. Intensitas pertemuan kalian sangat sedikit karena sama-sama sibuk. Seperti kamu yang lebih sering bersama dengan kakaknya Gino karena satu kantor, Gino juga menghabiskan waktu lebih sering dengan rekan kerjanya di rumah sakit. Komunikasi yang buruk antara kalian memberikan celah untuk masuknya orang ketiga ke dalam hubungan." Tasya berkata dengan bijak. Sementara Calista hanya diam saja mendengar itu. Entah kenapa dia tak percaya kalau saja Gino berkhianat darinya.
"Seharusnya komunikasi kalian semakin intens untuk membahas rencana pernikahan. Bukan malah semakin jarang," lanjut Tasya. Calista enggan percaya, namun yang dikatakan kakak iparnya itu memang benar.
"Saranku, sebaiknya kamu cari tahu sendiri. Apakah Gino memang sesibuk itu atau ada yang dia sembunyikan darimu. Kadang, hubungan lama tak menjamin berjodoh juga, Cal." Tasya menasehati. Calista hanya diam mendengar itu. Ya, yang dikatakan Tasya ada benarnya. Mungkin setelah urusan di Singapura selesai Calista akan menjalankan saran Tasya untuk mencari tahu yang sebenarnya di balik kata sibuk yang selalu Gino jadikan alasan selama ini.