Permintaan Aneh Akbar

1410 Words
Faisal POV menikah dengan Madona membuatku bahagia. Aku selain karena dia ini sangat cantik, Madona juga memiliki tubuh yang bohay, tidak se kecil ayana. Madona ini tinggi dan bohay. Pokoknya empuk kalau aku peluk dia. selain itu madona juga sangat wangi dan menyenangkan saat saat aku ingin bercanda dengannya. Benar benar tidak membosankan. Berbeda sekali dengan Ayana yang kurus, dekil, dan juga terlalu kaku. "Mas, farfum aku sudah habis. Kapan kamu mau beliin aku parfum mas?" dia merengek padaku. "parfum?" Aku agak aneh mendengarnya, karena menurutku parfum itu enggak terlalu penting kan? setelah menikah yang dibutuhkan hanya besar dan lauk pauk kan? parfum itu digunakan hanyan untuk orang orang yang sedang berpacaran dan kasmaran kan? itu sih, setahuku. "Iya, parfum. Masa kamu enggak tahu. Emang istri kamu yang kucel itu enggak pernah minta uang beli parfum atau skin care ya?" tentu saja ayana pernah meminta. Namun aku enggak pernah memberikannya. Untuk apa sih, parfum atau skin care. Toh, ayana tetap cantik meski tanpa harus pakai alat alat itu, eh. "Dia enggak pernah minta." ujarku. "Kalau gitu, kamu harus bedakan antara aku dan ayana dong, mas. Aku ini perempuan karir. Aku berada di kantor. Aku harus menggunakan parfum, skin care dan juga baju yang bagus. Jangan sama kan aku dengan perempuan rumahan seperti istrimu itu." Iya, mungkin akun harus lebih memperhatikan Madona. Karena perempuan itu jelas berbeda dengan Ayana. Madona ini seorang karyawan perkantoran yang pakaiannya jelas lebih rapi dan lebih modis dari pada seorang perempuan dasteran kan? "iya, iya. Kamu jangan khawatir. Aku akan membelikan kamu parfum. Kamu jangan kahwatir, ya." Entah kenapa berbicara berdua dengan Madona, ingatan ku malah ke arah istriku. Aku tidak tahu di mana keberadaannya. Bagaimana jika dia benar benar hamil anak ku. Dan bagaimana jika dia kelaparan karena enggak memiliki uang. "Sayang, kamu memikirkan apa? ayo kita berangkat sekarang ke mal. Di sana banyak sekali parfum yang wangi. Aku mau membeli sebanyak mungkin, agar tubuhku terus wangi." Akhirnya kami beruda ke mal, Madona membawaku ke toko parfum yang ada di dalam mal itu. Dia duduk di kursi bar, dan memilih parfum yang dia mau. "Aku mau yang ini tiga ya mas." rengeknya. Aku melihat satu botol parfum itu harganya lumayan juga. Kalau dia ambil tiga, maka uang ku bisa tekor bulan ini. Belum lagi aku harus memberikan uang pada ibuku bulan ini. Kalau aku terus memenuhi semua keinginannya madona, maka mungkin ibuku tidak akan kebagian uang dariku. "Yang ... satunya saja, ya. Jangan banyak banyak!" bujuk ku padanya. Namun Madona cemberut dan tidak mau berbicara dengan ku bahkan sampai kami tiba di rumah, Madona tetap tidak mau bicara dengan ku. "kamu kenapa sih?" tanya ku padanya. "Kamu pikir sendiri lah. AKu sudah memasukan tiga parfum itu ke dalam tasku, lalu aku terpaksa harus mengeluarkannya dengan rasa malu, hanya karena harus mengikutin perintah kamu. Kamu tahu enggak sih, aku sebelum menikah sama kamu, mau apapun pasti aku dapatkan." Ku hela napas ini. padahal kami masih saja seminggu menikah, tapi masalah diantara kami sudah ada, dan membuatku sakit kepala. Tidak! sebenarnya ini bukanlah sebuah masalah. Harusnya Madona tidak mempermasalahkan hal ini. Namun entah kenapa prilakunya sangat keras sekali. "Besok besok kan kita bisa beli lagi. Lagian kan kamu pakai parfum itu enggak akan langsung habis kan? masa iya, kamu pake parfum langsung habis dalam sehari kaya minum, enggak kan?" "ya, bukan gitu juga. Aku tuh malu! parfum itu sudah aku masukan ke dalam tas ku. Kamu malah seenaknya mengeluarkan pafum itu dari dalam tas ku. Kamu kere dan bikin malu saja!" madona pergi meninggalkan ku ke dalam kamar. dan aku hanya terdiam duduk di sofa dengan hatiku yang terasa begitu dongkol. Semakin hari sikap Madona ini semakin keterlaluan. Dari mulai ingin membeli baju baru, makan di kafe setiap minggu, atau mengajak anaknya berjala jalan di mal. Pokoknya semua yang ia pinta itu sungguh membuat keuangan ku semakin menipis. Aku bahkan sampai bingung harus bagaimana menangani perempuan ini. Tapi aku memang mencintainya, aku ingin membuatnya bahagia. "Mana uang bulanan ibu?" Ah, aku baru saja mau bilang kalau bulan ini aku enggak akan memberikan ibu jatah, karena uangku sudah menipis. Madona minta ini itu, dan aku kehabisan uang. "Bu ... ada yang ingin aku sampaikan ke ibu," Aku bicara hati hati karena takut sekali menyakitinya. Ibu terlihat cemberut dan menghela napas dalam. "Apa itu? kamu ko enggak biasa kaya gini." ujar ibu. "begini, bu. Bulan ini aku enggak bisa memberikan ibu jatah, karena banyak sekali pengeluaran kami." Ibu terdiam. terlihat jelas kekecewaan di dalam sorot kedua matanya. "Terus ibu makan apa kalau kamu enggak memberikan ibu uang. Kamu tahu kan kalau ibu enggak kerja. Ibu enggak punya penghasilan." Aku tahu itu. Tapi bulan ini, aku memang telah kehabisan uang. Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya padanya. Namun aku tidak tega dengan keadaan ibu. Aku juga harus selalu membahagiakan Madona. Akhirnya aku mulai berani mengambil sedikit uang perusahaan, dan memanipulasi catatan keuangan. "Ini dari mana sayang. Katanya kamu enggak ngasih ibu uang dulu?" ibu telihat senang dengan uang yang aku berikan padanya. Maafkan aku bu ... itu adalah uang perusahaan yang aku pakai agar aku bisa memberikan ibu jatah, juga agar aku tetap bisa membahagiakan Madona. "Ibu terima saja. Pokoknya ibu jangan banyak pikiran karena aku akan selalu ada buat ibu." "terima kasih, sayang. Kamu memang anak yang hebat." Aku kembai ke rumah dan mendapati Madona sedang melihat lihat katalog pakaian online. "mas lihat, ini dress nya bagus banget kan?" Aku terdiam karena merasa bahwa dia memang hanya memikirkan baju saja. padahal kebutuhan yang lain banyak sekali. Aku mulai keteteran dan kehilangan akal karenanya. "Mas .... ko diem terus sih! aku tuh besok mau ikutan pesta sama anak anak kantor. Masa aku enggak pake baju yang baru sih, mas." "mau pesta kan cuma sehari doang, masa iya harus pake dress baru?" keluhku. Dia mulai ngambek lagi, dan mulai cemberut lagi. "Ya biasanya juga aku kaya gitu ko. Aku bakal beli dress baru sebelum aku pergi ke pesta. Tapi kalau menurut mu aku ini berlebihan ya ... kamu berarti yang enggak tahu style ku. Aku ini bukan perempuan murah yang bisa kamu beli hanya dengan uang ratusan. seharusnya kamu ngaca, kalau kamu enggak bisa ngehidupin aku, kamu enggak pelrlu nikah sama aku." Aku mematung mendengar apa yang ia katakan. Dadaku terasa sesak dan berat sekali. "Tapi kalau kamu terus boros seperi itu, kita enggak akan punya tabungan kan?" "Buat apa tabungan? hidup itu hanya sekali. kita harus selalu bahagia setiap hari, setiap waktu. Nabung hanya akan membuat kebahagiaan mu tertunda, kalau kamu mau tau." Aku kembali termanngu dengan apa yang ia katakan. Sungguh beda jauh jika dibandingkan dengan Ayana. Dia dulu mengajak ku menabung untuk masa depan. Dia dulu mengajak ku menabung untuk umroh bersama. "Hidup memang sekali. tapi kebutuhan kita banyak, dan berkali kali selama kita belum mati." "Ah, kamu jangan kolot kaya gitu lah! pak ustad pernah bilang, kalau suami loyal pada istrinya maka uangnya akan banyak terus." Dia menyindirku, dan aku hanya menghela napas dalam. Ayana POV Aku tidak merasa mual saat ini. Namun ngidam makanan tentu saja selalu ada. Kadang aku ingin makan rujak, es krim atau pun buah yang lewat di mobil bak. Tapi keuangan ku saat ini sedang seret. Sisa uang yang dipinjamkan Nilam hanya empat ratus lagi. Itu juga aku pakai untuk membayar kontrakan setengahnya, 300 ribu. Jadi sisa uang ku hanya seratus ribu lagi. Aku harus hemat, karena gajihan ku masih lama. Beruntungnya aku selalu dapat jatah makan dari resto. Sehingga untuk makan malam dan siang, aku enggak perlu memikirkan itu. Hanya saja, untuk sarapan, kadang aku hanya minum air putih saja, dan menahan rasa laparku sampai pukul siang. Pintu terbuka menghadirkan Pak AKbar. "Dia ko jadi sering ke sini ya?" Bisik Zydan padaku. Aku hanya menoleh dan tidak berkomentar. "Pak Akbar memang kadang mampir ke sini, tapi enggak se sering ini. Mungkin enggak sih ada seseorang yang dia suka di sini?" Aku terdiam karena memang enggak tahu soal itu. "Mmm .... kamu layani gih," Zydan menyuruhku dan aku menatapnya bingung. "Ko aku?" "Karena aku punya maslaah sama dia, dulu aku pernah secara enggak sengaja nyiram dia." ujarnya. Aku yang merasa kasihan melihat ekspresi takutnya itu pun terpaksa beranjak dan menghampiri Pak Akbar. laki laki itu tersenyum padaku. "Kamu betah di sini?" tanya, padahal aku sudah menyiapkan catatan untuk mencatat semua pesanannya. "Iya, pak, alhamdulilah. Jadi bapak mau pesan apa?" "Mmmm ... saya mau pesan daging asap. Tapi bisa kah saya makan sama kamu?" "maksud bapak?" "Saya makan siang bersama kamu di sini!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD